Islam di Bhutan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Afriza Hanifa
Raja
Bhutan
Sebanyak
62 persen populasi Muslim dunia atau lebih dari 972 juta jiwa, hidup di Asia
Pasifik. Setengah dari jumlah tersebut hidup di Asia Selatan. Populasi ini terus meningkat hingga sekitar
30 persen tiap sensus per dua dekade. Dari sekian ratus juta Muslimin di Asia
Selatan tersebut, sebagian di antaranya tinggal di Buthan.
Negara
di ujung timur Pegunungan Himalaya ini menjadi rumah bagi sekitar 7.000
Muslimin. Sebagai minoritas, mereka masih mencari pengakuan di tengah mayoritas
agama sekaligus paham resmi negara, Buddha. Secara perhitungan kasar persentase
demografi, pemeluk agama di Bhutan mencapai 75 persen Buddha dan 25 persen
Hindu. Islam, tak lebih dari satu persen. Tapi, jumlah mereka tidaklah
terbilang sedikit. Angkanya pun terus meningkat.
Menurut PEW Research Forum, pada 1990 terdapat sekitar 6.000 Muslimin di Bhutan. Kemudian, pada 2010 meningkat menjadi 7.000 jiwa. Pada 2030, diprediksi akan meningkat menjadi 9.000 jiwa.
Menurut PEW Research Forum, pada 1990 terdapat sekitar 6.000 Muslimin di Bhutan. Kemudian, pada 2010 meningkat menjadi 7.000 jiwa. Pada 2030, diprediksi akan meningkat menjadi 9.000 jiwa.
Sedangkan,
menurut The Muslim Societies in Asia and the Pacific (MSAP), jumlah
Muslimin Bhutan sekitar satu persen dari total populasi negara. Adapun
menurut CIA FactBook, jumlahnya tak mencapai satu persen dari
populasi negara. Saat ini, total populasi negara seluas 47. 500 kilometer
persegi tersebut sekitar dua juta jiwa. Jika berjalan-jalan ke Bhutan, selain
pemandangan Himalaya yang indah, akan didapati kebudayaan masyarakat yang
kental dengan ajaran Buddha. Kuil banyak berdiri di negara berlambang bendera
naga tersebut.
Tak
sedikit merupakan kuil yang usianya sangat tua. Negara monarki tersebut
menjadikan agama Buddha sebagai agama resmi. Tak heran jika kemudian anak-anak
sekolah suatu hari mengenakan pakaian layaknya bhikkhu. Bhutan memang tak lepas dari Buddha, baik
sejarah maupun kebudayaan. Tapi, Islam datang di tengah-tengah mereka seiring
perkembangan di Asia Selatan. Apalagi, posisi Bhutan yang yang diapit dua
negara besar, Cina dan India, di mana jalur perdagangan banyak terjadi di kedua
negara tersebut.
Kesultanan Islam pun banyak berdiri di
sana, salah satu yang terbesar, yakni Dinasti Mughal. Hanya saja, Buthan
terluput dari wilayah emperium besar Islam pada abad ke- 16 tersebut. Mughal
di masa lalu hanya menduduki kawasan yang sekarang ini menjadi negara India,
Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal. Alhasil, Bhutan
bukanlah negara di mana dakwah Islam berkembang. Sehingga, populasi Muslim di
sana tak sebanyak negara Asia Selatan lain.
Meski Islam telah lama dikenal masyarakat Asia Selatan, menurut US
Library of Congress, komunitas Muslim Bhutan baru mulai terlihat eksis pada
1989. Angkanya sangat kecil dan tak banyak mendapatkan hak kebebasan
beragama.
Sebagai negara yang menjadikan Buddha
sebagai agama resmi negara, Bhutan tak banyak menerapkan kebebasan beragama
bagi rakyatnya, tapi semakin hari negara tersebut makin menerapkan asas
demokrasi. Kebebasan beagama mulai
diterapkan pada pemeluk Hindu yang minoritas, tapi kemudian mendapatkan de
facto kebebasan beragama. Adapun Muslimin, masih berjuang mendapatkan hak
tersebut. Meski Islam tak diakui, bukan berarti Islam dilarang. Muslimin hidup
sebagaimana rakyat Bhutan pada umumnya. Mereka memiliki hak sebagai warga
negara serta memiliki hak untuk bekerja.
Hanya satu hal yang tak diizinkan, yakni
menyebarkan agama atau dakwah Islam. Oleh karenanya, jumlah Muslimin tak
berkembang pesat di sana. Komunitas Muslim pun hanya hidup di kalangan mereka
saja. Tapi, mereka dapat hidup nyaman di sana. Muslimin Bhutan hidup sebagai
minoritas, tapi mereka dapat menjalankan ibadah dengan baik. Terdapat sebuah
masjid yang menaungi mereka menjadi tempat ibadah dan sebagai sarana
berkumpul. Adapun fasilitas Muslim
lain, seperti sekolah ataupun organisasi, tak jelas dikabarkan. Dalam hal
pangan halal pun tak ada yang dapat mengonfirmasi kehalalannya. Badan
sertifikasi halal pun tak jelas apakah dimiliki Muslimin setempat. Tapi, hal tersebut bukanlah masalah.
Mengingat sebagai negara yang mayoritas Buddha, Buthan memang memiliki lebih
banyak ragam pangan vegetarian.
Kaum Muslimin tak kesulitan menemukan makanan halal. Muslimin
pun tak kesulitan dalam menemukan pangan halal. Bahkan, menurut tour
Muslim crescent rating, Bhutan
memiliki banyak sekali ragam pangan vegetarian yang terkenal lezat. Hingga kini, Muslimin Bhutan masih mencari
hak kebebasan beragama. Kendati jumlah mereka sedikit, mereka ada dan
beraktivitas seperti Muslimin lain yang hidup di negara minoritas Islam.
Keinginan mendapat hak kebebasan beragama pun makin menghasilkan titik
terang dengan adanya komitmen kerajaan untuk menerapkan demokrasi.
Tapi, media Barat yang mencitrakan Islam dengan buruk pun tak luput didengar masyarakat Bhutan. Akibatnya, masyarakat terbawa pemahaman Islam ala Barat yang melekatkan Muslimin dengan terorisme. Media banyak menghasut masyarakat dunia, termasuk Bhutan. Kendati demikian, masyarakat Bhutan tak pernah terlibat bentrok dengan Muslimin. Antarumat beragama, hidup harmonis menjalin kerukunan dan toleransi. Untuk menampung ribuan Muslimin Bhutan terdapat sebuah masjid berdiri, guna memberikan layanan ibadah. Inilah satu-satunya masjid yang dimiliki Muslim Bhutan. Masjid Jaigaon atau Joygaon, demikian namanya. Jaigaon merupakan nama sebuah kota kecil di Bengal Barat India. Lokasinya berada di perbatasan Bhutan. Di situlah gerbang Buthan berdiri yang membatasi negara tersebut dengan India. Kendati nama masjid mengacu pada kota di India, Masjid Jaigaon berlokasi di Kota Phuentsholing, tetangga Kota Jaiagon. Kota di Bhutan Selatan tersebut merupakan salah satu pintu masuk Bhutan dari jalur India.
Tapi, media Barat yang mencitrakan Islam dengan buruk pun tak luput didengar masyarakat Bhutan. Akibatnya, masyarakat terbawa pemahaman Islam ala Barat yang melekatkan Muslimin dengan terorisme. Media banyak menghasut masyarakat dunia, termasuk Bhutan. Kendati demikian, masyarakat Bhutan tak pernah terlibat bentrok dengan Muslimin. Antarumat beragama, hidup harmonis menjalin kerukunan dan toleransi. Untuk menampung ribuan Muslimin Bhutan terdapat sebuah masjid berdiri, guna memberikan layanan ibadah. Inilah satu-satunya masjid yang dimiliki Muslim Bhutan. Masjid Jaigaon atau Joygaon, demikian namanya. Jaigaon merupakan nama sebuah kota kecil di Bengal Barat India. Lokasinya berada di perbatasan Bhutan. Di situlah gerbang Buthan berdiri yang membatasi negara tersebut dengan India. Kendati nama masjid mengacu pada kota di India, Masjid Jaigaon berlokasi di Kota Phuentsholing, tetangga Kota Jaiagon. Kota di Bhutan Selatan tersebut merupakan salah satu pintu masuk Bhutan dari jalur India.
Karena sebagai administrasi antarnegara, perekonomian di sana
maju pesat. Bank Bhutan pun berada di kota tersebut. Karena, sebagai lalu
lintas perdagangan dan kebudayaan. Phuentsholing banyak menyerap kebudayaan dari
India. Pun demikian dengan budaya Islam. Di kota tersebutlah satu-satunya
masjid bagi Muslimin Bhutan berdiri. Tak
banyak kabar tentang masjid tersebut. Bagaimana bentuk dan gaya arsitekturnya
pun tak pernah dipublikasikan. Adapun tahun pembangunan masjid tersebut
diberitakan baru berdiri pada 2008. Dengan adanya masjid tersebut, Muslimin
Bhutan pun mendapat ruang bebas untuk menjalankan ibadah mereka.
Pembersihan etnis
tersembunyi di balik wajah gembira Bhutan
Jul 1,2013 14:00 IST Dengan Apoorva Dutt
Setelah itu bernama negara paling bahagia di Asia, dan paling bahagia keenam di dunia dalam survei berdasarkan indeks Gross National Happiness pada tahun 2006, Bhutan telah melihat lonjakan merek dari dot diketahui antara Cina dan India untuk tujuan wisata yang menjanjikan kedamaian, cinta dan kebahagiaan - cita-cita yang sama India lakukan di tahun tujuh puluhan untuk hippies bingung.
Setelah itu bernama negara paling bahagia di Asia, dan paling bahagia keenam di dunia dalam survei berdasarkan indeks Gross National Happiness pada tahun 2006, Bhutan telah melihat lonjakan merek dari dot diketahui antara Cina dan India untuk tujuan wisata yang menjanjikan kedamaian, cinta dan kebahagiaan - cita-cita yang sama India lakukan di tahun tujuh puluhan untuk hippies bingung.
Dari 300 pengunjung pada tahun 1974, pariwisata telah melonjak dan
pada tahun 2011, 64.000 orang mengunjungi Bhutan. "Di sini di anak
benua India, dibanjiri korupsi, perjuangan etnis, buta huruf, polusi,
kemiskinan, dan benturan peradaban, Bhutan pasifisme, paternalisme, dan
egalitarianisme berdiri terpisah," rave Orville Schell di artikelnya yang
berjudul 'Gross National Happiness'.
Bhutan adalah yang paling sering dibandingkan dengan sepenuhnya fiksi
Shangri La, sejauh bahwa situs pariwisata resmi negara disebut "Selamat
Datang di Shangri La Bhutan". (Shangri La digambarkan dalam novel
Inggris 1933 sebagai lembah misterius di Cina yang cepat diselesaikan dalam
imajinasi populer sebagai surga di bumi.) Laporan wisata bercahaya telah
mengabaikan isu-isu identitas nasional yang telah retak hak asasi manusia di
negara itu selama 20 tahun terakhir.
Transisi Bhutan dari menjadi monarki absolut menjadi monarki konstitusional
dengan pemilu pertama pada tahun 2007 dipertanyakan. Pemerintah berwenang
pembentukan hanya dua partai politik, keduanya erat bersekutu dengan
raja. Bahkan lebih dilematis, banyak dari Nepal etnis yang tersisa di
negara itu, yang merupakan 40% dari populasi, tidak diberikan status warga
negara dan karena itu tidak dapat memilih.
Untuk penduduk Nepal Bhutan, kerajaan adalah tempat dekat dengan surga di
bumi. Sejak tahun 1990-an, mereka telah dianiaya dengan kejam dan
penderitaan mereka hampir tidak dikenal. Pada tahun 1991 dan 1992, lebih
dari 80.000 Nepal - bagian dari kelompok etnis Lhotshampa yang telah tinggal di
Bhutan sejak 1800 - yang direbut dan pindah ke kamp-kamp pengungsi di
Nepal. Mereka tidak diizinkan masuk ke Bhutan sejak itu. Bhutan
menolak bertanggung jawab, bukannya memilih untuk fokus pada mempromosikan
negara pada indeks Gross National Happiness nya.
Selama 15 tahun terakhir, Populasi pengungsi telah meningkat menjadi
100.000 dan UNHCR (badan pengungsi PBB) mengalihkan fokusnya dari
pemulangan ke relokasi pengungsi ke negara ketiga seperti Amerika
Serikat. USA sendiri telah menerima 60.000 pengungsi dan pada tahun 2007,
kedutaan AS di Bhutan menyuarakan keprihatinannya bahwa Maois bisa mengatur
kecewa etnis Nepal, khususnya di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Nepal.
Peristiwa ini adalah puncak dari dekade kerawanan atas apa yang dilihat
sebagai invasi demografi oleh Lhotshampa pada Drukpa, orang-orang Bhutan
utara. "Bhutan melihat keberadaannya sebagai bangsa terancam,"
tulis Kinley Dorji , editor dari Kuensel, surat kabar berbahasa Inggris
Bhutan. Pihak berwenang Bhutan dihapus jaminan kewarganegaraan, dipaksa
Buddhisme kode budaya dan agama di Hindu dan minoritas Kristen dan digunakan
baik kekerasan fisik dan intimidasi untuk mengusir orang-orang milik kelompok
etnis Nepal.
Vidyapati Mishra adalah redaktur pelaksana dari Bhutan News
Service. Mishra adalah seorang jurnalis Bhutan yang tinggal di Nepal,
menunggu pemukiman kembali. Dalam akun terbaru dari kekejaman terhadap
Lhotshampa di awal tahun sembilan puluhan, Mishra telah menulis tentang dan
pengusiran keluarganya dari Bhutan di New York Times . "Ayah
saya ditahan selama 91 hari di sel dank kecil," ingat
Mishra. "Mereka menekan dia dengan log berat, ditusuk jari-jarinya
dengan jarum, melayaninya urin bukan air ... mereka dibakar cabai kering dalam
sel untuk membuat bernapas tak tertahankan. Dia setuju akhirnya
menandatangani apa yang disebut bentuk migrasi sukarela dan diberi seminggu
untuk meninggalkan negara keluarga kami telah dihuni selama empat generasi.
"
Laporan serupa dengan Mishra, kekerasan, pelecehan dan migrasi paksa dapat
ditemukan di sini,di sini dan di sini . Mereka telah dicatat
baik oleh pengungsi Lhotshampa serta Amnesty International. Pemerintah
Bhutan hari ini tidak menyangkal Eksodus, tetapi menegaskan itu
"sukarela", benar-benar menyangkal beberapa account pelanggaran hak
asasi manusia yang telah ditempatkan pada catatan.
Bhutan memiliki banyak terjadi untuk itu sebagai negara yang sebagian besar
damai dan bersih, tapi mengangkat negara ke tingkat mitologi jelas memiliki
efek berbahaya sekarang karena itu menghapus kebutuhan untuk
akuntabilitas. "Besarnya eksodus ini, salah satu yang terbesar di
dunia dengan proporsi, mengingat populasi kecil negara, telah diabaikan oleh
komunitas internasional yang baik acuh tak acuh atau terpedaya oleh gambar yang
disponsori pemerintah Bhutan sebagai tenang Buddha Shangri-La,
"menunjukkan Mishra dalam editorialnya. Jika kita berpikir lebih dalam
tentang kesetaraan dan hak asasi manusia di Bhutan, Shangri La akan melakukan
apa yang dimaksudkan sebagai mitos.
Pertama Published On: Jul 1, 2013 14:00 IST/ Firstpost.blogspot.com
Sekilas tentang Islam di Tanah Naga Petir
Rep: ani
nursalikah/ Red: Damanhuri Zuhri
Puncak
Pegunungan Himalaya
REPUBLIKA.CO.ID,
Tersembunyi jauh di Pegunungan Himalaya, Bhutan merupakan kerajaan kecil yang
diapit negara besar Cina dan India.
Di utara,
wilayahnya berbatasan dengan Cina. Sedangkan, di selatan, timur, dan barat,
berbatasan dengan India.
Bhutan, dalam bahasa Bhutan, Druk Yul, artinya Tanah Sang Naga Petir. Naga berwarna putih mewujud jelas dalam bendera Bhutan. Kerajaan ini mulai membuka diri kepada dunia luar pada 1970-an. Karena luasnya yang tidak besar, populasi Muslim di Bhutan sangat sedikit. Negara ini hanya mempunyai luas wilayah sekitar 38 ribu kilometer persegi. Menurut CIA Factbook, Muslim hanya satu persen dari populasi di Bhutan. Pada 2009, Pusat Riset Pew memperkirakan jumlah yang sama, yakni 7.000 Muslim dengan populasi sekitar 1,8 juta jiwa.
Bhutan, dalam bahasa Bhutan, Druk Yul, artinya Tanah Sang Naga Petir. Naga berwarna putih mewujud jelas dalam bendera Bhutan. Kerajaan ini mulai membuka diri kepada dunia luar pada 1970-an. Karena luasnya yang tidak besar, populasi Muslim di Bhutan sangat sedikit. Negara ini hanya mempunyai luas wilayah sekitar 38 ribu kilometer persegi. Menurut CIA Factbook, Muslim hanya satu persen dari populasi di Bhutan. Pada 2009, Pusat Riset Pew memperkirakan jumlah yang sama, yakni 7.000 Muslim dengan populasi sekitar 1,8 juta jiwa.
Bhutan
adalah satu-satunya negara di dunia yang mengakui Buddha Mahayana sebagai agama
resmi. Pemerintah tidak memiliki data resmi jumlah Muslim karena agama lain selain
Buddha dan Hindu dilarang. Pemberitaan media barat yang gencar mengenai Muslim
yang terlibat terorisme mau tak mau memengaruhi persepsi warga Bhutan mengenai
Islam. Dalam pemberitaan itu, pelakunya
kerap diberi label Islamist rebel atau Islamist bad guy.
Akibatnya, warga Bhutan cenderung memandang negatif Islam dan pemeluknya. Asal muasal rakyat Bhutan berasal dari Nepal,
Burma Utara, timur laut India, dan Tibet. Mayoritas penduduknya memeluk agama
Buddha. Agama yang tergolong minoritas adalah Islam, Hindu, dan Kristen.
Pada 2008, komunitas Ahmadiyah di Bhutan
mendirikan Masjid. Inilah masjid satu-satunya yang dimiliki Muslim Bhutan.
Sesuai namanya, Masjid Jaigaon atau Joygaon terletak di sebuah kota kecil di
Bengal, Barat India. Lokasinya berada di perbatasan Bhutan dengan India. Tidak
banyak informasi tersedia mengenai masjid ini. Bagaimana bentuk dan
arsitekturnya pun tidak pernah dipublikasikan. Sebagai negara yang berada di
wilayah pegunungan, Bhutan mempunyai pemandangan gunung, bukit, dan lembah yang
menakjubkan. Ekologi dan hewan-hewan liar masih terjaga dengan baik. Sayangnya,
pemerintah membatasi kunjungan wisata. Para wisatawan yang ingin berkunjung
harus ikut paket wisata. Disarankan tidak mengunjungi Bhutan sebagai backpacker
atau wisatawan perorangan. Ketersediaan makanan halal sangat jarang. Agar aman,
seorang Muslim yang akan berkunjung ke Bhutan sebaiknya menghindari mengonsumsi
daging. Bisa juga bertanya pada masyarakat lokal mengenai tempat menemukan
makanan halal. Tapi, Bhutan memiliki banyak jenis masakan vegetarian yang
terkenal kelezatannya.
12 Fakta Menarik Bhutan
Fakta
menarik Bhutan - Bhutan adalah sebuah negara kecil di Asia Selatan yang
berbentuk Kerajaan dan dikenal dengan Negeri Naga Guntur. Wilayahnya terhimpit
antara India dan Republik Rakyat Tiongkok. Nama lokal negara ini adalah Druk
Yul, artinya "Negara Naga". Gambar nagapun didapati di benderanya.
Karena keindahannya, egara ini dijuluki Shangri-La terkhir. Berikut ini adalah
fakta unik dan menarik tentang Bhutan dan fotonya.
1.Nama
aslinya Druk Yul
Nama lokal
negara ini adalah Druk Yul, artinya "Negara Naga". Gambar nagapun
didapati di benderanya.
2.Nama
Bhutan berasal dari Bahasa Sanskerta
'Bhutan'
mungkin diturunkan dari kata Sanskerta 'Bhu-Uttan ?’ yang berarti 'Tanah
Tinggi'. Dalam teori lain Sanskertanisasi, 'Bhots-ant ???-????' berarti 'ujung
Tibet' atau 'selatan Tibet'. Namun beberapa orang Bhutan menyebut negeri mereka
'Druk Yul' dan penduduknya 'Drukpa'. Nama Dzongkha (dan Tibet) untuk negeri ini
ialah 'Druk Yul' (Tanah Naga Guntur).
3.Bahasanya
merupakan rumpun Bahasa Tibet
Bahasa
nasional adalah Dzongkha, salah satu dari 53 bahasa dalam keluarga bahasa
Tibet. Tulisannya, disebut Chhokey ("Bahasa Dharma"), identik dengan
tulisan Tibet. Pemerintah mengelompokkan 19 bahasa-bahasa terkait di sana
sebagai dialek bahasa Dzongkha. Lepcha diucapkan di barat Bhutan; Tshangla,
kerabat dekat Dzongkha, diucapkan meluas di bagian timur. Khengkha diucapkan di
tengah Bhutan. bahasa Nepal diucapkan meluas di selatan. Di sekolah bahasa
Inggris ialah media instruksi dan Dzongkha diajarkan sebagai bahasa resmi.
Ethnologue mendaftarkan 24 bahasa yang kini diucapkan di Bhutan, semuanya dari
keluarga Tibet-Burma, kecuali Nepal, sebuah bahasa Indo-Arya. Bahasa-bahasa di
Bhutan tetap tak terciri dengan baik, dan beberapa buah belum tercatat dalam
tatabahasa akademis. Bahasa Inggris juga punya kedudukan resmi kini.
4.Mempunyai
mata uang yang namanya cukup aneh
Ngultrum
adalah mata uang Bhutan. Ngltrum telah menjadi mata uang dari Bhutan sejak
tahun 1974. Ngultrum dibagi menjadi 100 chhertum. Nilainya disetarakan dengan
Rupee India.
5.Mayoritas
agamanya adalah Buddha
Walaupun
Bhutan adalah salah satu negara Asia Selatan, agama mayoritasnya bukanlah
Hindu, melainkan Buddha Tibet.
6.Negara
Paling Bahagia di Dunia meskipun sangat miskin
Bhutan
disebut sebagai Shangrilla di kaki gunung Himalaya yang 97% rakyatnya
menganggap diri mereka sangat berbahagia.Bukannya kebahagiaan yang berasal dari
pemuasan nafsu dunia fana, melainkan berasal dari iman dan konsep
tahu-cukup.Orang Bhutan beranggapan kemiskinan yang sesungguhnya adalah apabila
tak mampu beramal kepada orang lain, mereka sudah sangat puas asalkan memiliki
sawah dan rumah.
Dikarenakan
mereka adalah umat Budha, maka mereka tidak membunuh makhluk berjiwa, itulah
sebabnya mereka mengimpor daging dari India. Namun demikian di atas meja makan
jarang terlihat makanan jenis daging, melainkan makan sayur-sayuran atau produk
dari susu sudah membuat mereka puas.
Pengalaman
kebahagiaan Bhutan berasal dari Jigme Singye Wangchuck IV, sang mantan raja
yang tidak mendahulukan perkembangan ekonomi melainkan mendirikan sebuah negara
yang berbahagia sebagai amanah jabatannya, dengan kesetaraan, kepedulian dan
konsep ekologi menyulap Bhutan menjadi negara besar dalam hal kebahagiaan.
Pada 2005,
Bhutan menjadi fokus berbagai media besar seantero dunia, Model Bhutan
ciptaannya, teori Gross National Happiness (GNH) yang ia usulkan memperoleh
perhatian seksama masyarakat internasional dan menjadi tema pelajaran ilmu
ekonomi yang digandrungi para pakar dan institut penelitian sebagian negara
seperti AS, Jepang dan lain-lain. Konsep baru dalam pandangan negara maju pada
abad-21 ini, di Bhutan diam-diam telah dijalankan selama hampir 30 tahun
lamanya.
Yang disebut
Model Bhutan ialah mementingkan perkembangan yang seimbang antara materi dan
spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap
kebudayaan tradisional diletakkan di atas perkembangan ekonomi, standar untuk
pengukuran perkembangan ialah Gross National Happiness (GNH).
7.Negaranya
diatas Pegunungan Himalaya
Jika kita
melihat Bhutan di peta, maka akan terlihat kalau seluruh Bhutan berada di
dataran yang cukup tinggi.
8.Hanya 8
pilot yang menguasai Bandar Udaranya
Seperti
dikutip VIVAnews.com dari laman dailymail.co.uk, karena proses pendaratan yang
berbahaya di bandara ini, hanya 8 pilot di dunia yang lolos kualifikasi. Hingga
Juli 2011, tercatat hanya ada satu maskapai penerbangan yang diperkenankan
menggunakan fasilitas ini yaitu Druk Air. Panjang lintasan bandara ini
diketahui hanya 6.500 kaki. Hal ini membuat Bandara Paro merupakan salah salah
bandara terpendek di atas laut. Pesawat yang akan mendarat di wilayah ini harus
berupaya sekuat tenaga melewati puluhan rumah yang tersebar di sisi gunung
dengan ketinggian atap cukup menjulang.Hembusan angin yang kencang sepanjang
bukit, seringkali menyebabkan turbulensi pada badan pesawat. Para penumpang
yang pernah memiliki pengalaman melintasi bandara ini menjulukinya sebagai
pendaratan paling mengerikan.
9.Banyak
benteng dan kuil yang masih terjaga arsitekturnya
Banyak
sekali benteng-benteng arsitekturnya sangat indah yang masih berdiri.
Benteng-benteng ini disebut Dzong dalam bahasa setempat. Foto-foto dari banyak
Dzong ini ada dibawah.
10.Pemimpin
yang sangat sadar dan rendah diri
Pemerintahan
yang dijalankan dengan kekuasaan monarki absolut berakhir ketika konstitusi
baru dan pemilihan perdana menteri dilaksanakan. Raja Jigme Singye Wangchuck
yang memimpin sejak tahun 1972 mengumumkan menggelar pemilu tahun 2008,
sekaligus turun tahta. Pengumuman disampaikan dihadapan 8.000 penggembala hewan
yak, biksu, petani, dan siswa pedesaan pada 18 Desember 2005. Pengumuman
disebarkan melalui harian Kuensel. Sebelumnya, raja memperkenalkan rancangan
konstitusi dan menyatakan pensiun pada usia 65 tahun. Atas ide ini, sebagian
rakyat tidak sependapat karena kuatir terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), namun pada tahun 2006 sang raja mengundurkan diri dan
digantikan oleh puterandanya.
11.Sejarah
Bhutan yang hilang
Sejarah awal
Bhutan tidak jelas, karena sebagian besar catatan telah musnah setelah
kebakaran di Punakha, ibukota kuno pada 1827. Dari abad ke-10, perkembangan
politik Bhutan amat dipengaruhi oleh sejarah religiusnya. Berbagai anak sekte
Buddha muncul yang dilindungi oleh berbagai maharaja Mongol dan Tibet. Setelah
runtuhnya bangsa Mongol pada abad ke-14, anak-anak sekte itu bersaing satu sama
lain demi supremasi dalam bentang politik dan agama, akhirnya menimbulkan
naiknya anak sekte Drukpa di akhir abad ke-16.
Hingga abad
ke-17, Bhutan ada sebagai fiefdom yang saling berperang hingga dipersatukan
oleh lama Tibet dan pemimpin militer Shabdrung Ngawang Namgyal. Untuk
mempertahankan negerinya dari penggarongan yang sebentar-sebentar dilakukan
bangsa Tibet, Namgyal membangun sebuah jaringan dzong (benteng) tak terkalahkan,
dan mengumumkan kode hukum yang membantu membawa raja-raja setempat di bawah
kendali terpusat. Banyak dari dzong itu yang masih ada. Setelah kematian
Namgyal pada 1651, Bhutan jatuh dalam suasana anarkis. Mengambil keuntungan
dari kekacauan itu, orang Tibet menyerang Bhutan pada 1710, dan kembali pada
1730 dengan bantuan orang Mongol. Kedua serang itu berhasil digagalkan, dan
gencatan senjata ditandatangani pada 1759.
12.Ekonomi
Bhutan
Meski
menjadi salah satu yang terkecil di dunia, ekonomi Bhutan telah berkembang
pesat sekitar 8% pada 2005 dan 14% pada 2006. Per Maret 2006, pendapatan per
kapita Bhutan adalah US$1.321 yang membuatnya tertinggi di Asia Selatan.
Standar hidup Bhutan berkembang dan merupakan salah satu yang terbaik di Asia
Selatan.
Ekonomi
Bhutan adalah salah satu yang terkecil dan kurang berkembang di dunia, yang
berbasis pertanian, kehutanan, dan penjualan PLTA ke India. Pertanian
menyediakan mata pencaharian buat lebih dari 80% penduduk. Praktek agraria
sebagian besar terdiri atas pertanian subsisten dan peternakan hewan. Kerajinan
tangan, khususnya menjahit dan produksi seni keagamaan untuk altar rumah
merupakan industri kecil milik rakyat dan sumber sekian pendapatan. Pemandangan
yang berbeda dari pegunungan berbukit yang kasar membuat pembangunan jalan dan
infrastruktur lainnya sulit dan mahal. Ini, dan tiadanya akses ke laut,
menyebabkan Bhutan tidak pernah bisa dapat untung dari perdagangan yang
signifikan dari produknya. Kini Bhutan currently tak memiliki jalur kereta api,
meski Indian Railways merencanakan menghubungan Bhutan selatan dengan
jaringannya yang luas di bawah persetujuan yang ditandatangani pada Januari
2005.[2] Jalur perdagangan masa lalu antara peguunungan Himalaya, yang
menghubungkan India ke Tibet, telah ditutup sejak pengambilalihan militer atas
Tibet pada 1959 (meski kegiatan penyelundupan tetap membawa barang-barang RRT
ke Bhutan).
Sumber: Yerindo.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
nuce info gan
ReplyDelete