Islam di Laos

1 comment


Muslim Laos di Tengah Rezim Komunis
Posted by Hisyam Ad dien 10:20 PM             

               Laos adalah salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang berbatasan dengan Myanmar dan Cina di sebelah barat laut, Vietnam di timur, Kamboja di selatan, dan Thailand di sebelah barat. Dari Abad ke-14 hingga abad ke-18, negara ini disebut Lan Xang atau Negeri Seribu Gajah.

               Beribu kota Vientiane, Laos dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pemerintahan komunis yang masih tersisa di dunia.  Mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Buddha Theravada. Karena itu, tak mengherankan kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia TenggaraAgama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya, seperti Thailand dan Burma (Myanmar saat ini). Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw.  Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tinggal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
              Di sini, mereka memiliki sebuah masjid dengan ukuran yang sangat besar dan menjadi kebanggaan Muslim Laos. Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk azan. Ornamen lain adalah tulisan-tulisan dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan Inggris, yang terdapat dalam masjid.
Selain kelompok Muslim Chin Haw, ada lagi kelompok Muslim lainnya di Laos, yaitu komunitas Tamil yang berasal dari selatan India. Muslim Tamil dikenal dengan nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di Malaysia dan Phuket (Thailand). Mereka masuk ke Vientiane melalui Saigon. Mereka juga memiliki sebuah masjid yang bentuknya mirip dengan masjid di Tamil.  Para jamaah Muslim India Selatan inilah yang mendominasi masjid di Vientiane. Di ibukota Laos ini, hanya terdapat dua buah masjid, yakni Masjid Al-Azhar dan Masjid Al-Jamia. Masjid ini dibangun oleh kaum pendatang dari India. Masjid ini tak pernah sepi dari jamaah. Apalagi pada perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, masjid ini selalu dipenuhi oleh jamaah. Jamaah Muslim ini kebanyakan berasal dari India, Pakistan, dan Bangladesh.  Walaupun berada di lingkungn padat dan sebagian besar penduduknya pemeluk agama Buddha, aktivitas dan kegiatan keagamaan di masjid ini berjalan normal. Bahkan, sebagian warga Vientiane sangat akrab dengan komunitas Muslim di sini. Mereka semua mengetahui ada masjid di daerah Prabang Road ini. 
                Hubungan antar agama di Vientiane juga sangat baik. Bahkan, ketika adzan berkumandang, komunitas non-Muslim di Vientiane tak merasa terganggu.  Masjid ini juga banyak dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara. Jamaah tetap di masjid ini kebanyakan warga dari negara tetangga, juga para diplomat dari negara Muslim di Vientiane, termasuk dari Malaysia, Indonesia, dan Palestina. Bangunan masjid di Vientiane juga dilengkapi dengan bangunan madrasah untuk anak-anak Muslim belajar agama Islam.  Selain di Vientiane, ada lagi komunitas Muslim lainnya di Laos. Namun, jumlahnya sangat sedikit. Umumnya, mereka lebih memilih tinggal di kota kecil di luar Vientiane. Sebagian orang menyatakan ada sebuah masjid kecil di Sayaburi, di tepi barat Mekong, tidak jauh dari Nan. Sayaburi dulu pernah dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi orang asing.
             
Pengungsi Kamboja Laos merupakan salah satu negara yang kaya dengan keberagaman etnis. Saat ini, jumlah penduduk Laos mencapai 6,2 juta jiwa. Setengah dari populasi penduduk Laos berasal dari etnis Lao atau yang dikenal masyarakat lokalnya sebagai Lao Lum. Selain mendominasi dari segi jumlah penduduk, mereka juga mendominasi pemerintahan dan komunitas masyarakat di Laos. Mereka yang berasal dari etnis ini memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk kawasan timur laut Thailand. Mereka berasal dari dataran rendah Mekong yang hidup mendominasi di Vientiane dan Luang Prabang. Secara tradisional, mereka juga mendominasi pemerintahan dan masyarakat Laos.
 Keberagaman etnis ini juga tampak pada komunitas Muslim di sana. Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer Meraah.
                Mereka melarikan diri ke negara tetangga mereka, Laos, setelah pemimpin rezim, Pol Pot, menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Kamboja Cham Muslim dari tanah Kamboja. Sebagai pengungsi, kehidupan mereka terbilang miskin. Selain itu, mereka mengalami trauma akibat pengalaman hidup di bawah tekanan rezim Khmer sejak 1975.
Semua masjid di Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi.  Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi yang diharamkan oleh Islam.  Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang tinggal di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya.
Sementara itu, sisanya berhasil bertahan dengan cara menyembunyikan identitas etnis mereka dan juga keislamannya. Dari seluruh populasi Muslim Kamboja, diperkirakan tujuh puluh persennya tewas akibat kelaparan dan pembantaian.   Kini, di Laos, diperkirakan ada sekitar 200 orang Muslim asal Kamboja. Mereka memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid Azhar atau yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja.  Masjid ini berlokasi di sebuah sudut di distrik Chantaburi yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Vientiane. Sebagai sebuah tempat ibadah, bangunan Masjid Kamboja ini memang terlihat sederhana sekali. 
                 Meski berjumlah sangat sedikit dan tergolong miskin, mereka teguh memegang agama. Umumnya, mereka adalah penganut Mahzab Syafi’i yang berbeda dengan komunitas Muslim Asia Selatan di Vientiane yang menganut Mazhab Hanafi.
Mayoritas berbisnis Saat ini, sebagian besar Muslim di Vientiane bekerja sebagai pebisnis. Mereka berusaha di bidang tekstil, ekspor-impor, atau melayani komunitas mereka sendiri dengan menjadi penjual daging atau pemilik restoran halal. Beberapa restoran yang dikelola oleh Muslim asal India terletak di kawasan Taj off Man Tha Hurat Road dan dua atau tiga restoran halal lainnya berdiri di persimpangan Jalan Phonxay dan Nong Bon Roads. Selain melayani komunitas Muslim, mereka juga menyediakan jasa katering bagi petugas kedutaan yang beragama Islam. Sisanya, para pekerja Muslim lokal di Vientiane bekerja di bagian tesktil di berbagai pasar di kota ini, seperti di Talat Sao atau pasar pagi, di persimpangan jalan Lan Xang, dan Khu Vieng.  Kelompok ini merupakan orang-orang yang percaya diri, ramah, dan giat bekerja meski mereka berbicara bahasa Inggris tidak sebanyak mereka yang berasal dari Asia Selatan. Setiap pertanyaan dalam bahasa Inggris yang tidak dimengerti akan mereka jawab dengan kalimat bo hu atau "saya tidak mengerti" dalam bahasa Laos.
            Selain bekerja di industri tekstil, banyak Muslim Laos yang bekerja sebagai penjual daging. Ini mengingat kebutuhan makanan yang sangat spesifik dari komunitas Muslim, yaitu penyembelihan secara Islam. Untuk membedakan kios daging mereka dari kios daging lain yang menjual daging babi, para penjual yang beragama Islam memasang lambang bulan sabit atau tanda dalam bahasa Arab.  Tanda ini menunjukkan, selain pemiliknya Muslim, mereka hanya menyediakan daging halal. Maklum saja, sebagai minoritas, sangat sulit bagi mereka untuk menemukan makanan yang dijamin kehalalannya. Daging yang biasa dipasarkan adalah daging babi.

Sumber: www.globalmuslim.web.id
Muslim Laos, Minoritas yang tak Tertindas 
Rep: Fitria Andayani/ Red: Chairul Akhmad
lonelyplanet.com


Peta Laos.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada pertengahan dekade 60-an, populasi Muslim di Laos hampir semuanya berasal dari Asia Selatan. Jumlahnya ketika itu diperkirakan mencapai 7.000 orang.

Namun, peperangan yang pecah di Laos, membuat mereka hijrah ke negara lain.

Meski demikian, sejumlah Muslim Tamil tetap tinggal karena mereka miskin dan tidak punya uang untuk pindah ke tempat lain. Selanjutnya, pada 1980, Muslim asal Kamboja membanjiri Laos. Sebenarnya, Muslim Kamboja telah datang ke Laos pada 50 tahun sebelumnya.  Namun, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja. Mereka pun lari ke Vientiane dan kebanyakan hidup dari menjual obat-obatan herbal yang mereka datangkan dari Kamboja.
Pertumbuhan lambat
Sayangnya, populasi Muslim di negeri ini tidak tumbuh secara signifikan. Sejumlah kendala menghadang umat Islam di Laos.  Seperti dikatakan Imam Masjid Azhar, Vientiane, Muhammad Vina bin Ahmad Imam, di Laos tak ada satu pun buku berbahasa Laos yang mendiskusikan tentang Islam. “Tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk memproduksi literatur Islam,” ujarnya. Untuk memuaskan rasa ingin tahunya tentang Islam, Muslim Laos hanya memiliki sedikit alternatif, yakni buku bacaan Islam, termasuk Alquran, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Thailand, bukan Laos. Meski bahasa Thailand cukup mirip dengan Laos, namun keadaan ini ditakutkan dapat melunturkan ketertarikan orang Laos terhadap agama Islam. Di tengah tantangan semacam itu, cukup mengangetkan bila ada orang Laos yang mengetahui tentang Islam, bahkan memutuskan untuk meninggalkan agama lamanya lalu menjadi Muslim. Kebanyakan dari mereka menjadi mualaf karena menikah dengan Muslim. 

Chek Lie, Muslimah Terakhir di Savannakhet Laos ?

 

Adityanugroho – Kamis, 5 Rabiul Akhir 1432 H / 10 Maret 2011 07:06 WIB


Laos dengan ibukotanya Viantiane atau terkadang di tulis dengan Viang Chan terletak di pinggir sungai Mekong. Sungai ini menjadi perbatasan antara Laos dengan Thailand tepat nya provinsi Udhon Tani. Sungai ini juga membentang sampai ke utara menjadi perbatasan Laos dengan Myanmar Burma dan China, ke Selatan dengan Negara Kamboja, sementara ketimur Laos berbatasan dengan Vietnam. Jadilah negara ini tak mempunyai akses langsung dengan Laut. Di Viang Chan terdapat dua buah masjid kecil. Sebuah bernama masjid Jamiah atau sering juga disebut masjid Pakistan. Masjid ini terletak hanya beberapa puluh meter dari City Central (pusat kota).
Sebuah lagi bernama masjid Al-Azhar atau orang menyebutnya masjid Kamboja. Masjid ini terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota. Masjid itu memang didirikan oleh komunitas orang–orang Kamboja Muslim yang muhajir ke Laos, didirikan tahun 1968 oleh Haji Yahya dan kawan kawan nya, beliau menjadi Imam pertama di masjid itu. Sekarang ada seorang Imam yang juga berasal dari Kamboja, Imam Vina namanya, Imam Vina dapat berbahasa Melayu. Tiga tahun yang lalu masjid Kamboja ini hanya berupa bangunan kecil yang tak terurus, halaman nya tergenang air, karena tapak bangunan masjid itu dulunya berupa sawah. Kini Masjid Kamboja telah menjadi tumpuan shalat Jumat bagi warga Muslim yang berada di Kedubes Indonesia maupun Malaysia, meskipun belum sebesar Masjid Internasional di Phnom Phen Kamboja sana.
Di Viang Chan terdapat sekitar 16 keluarga muslim asli orang Laos. “Tiga keluarga telah kembali murtad,” kata Imam Vina kepada kami saat berkunjungan akhir Desember 2010 yang lalu. Sementara warga Laos asal Kamboja yang Islam yang tinggal di sekitar Viang Chan hanya puluhan saja. Tetapi ada yang mengatakan seratusan, tak ada data pasti untuk itu.
Laos terdiri dari 16 provinsi, di beberapa provinsi ini terdapat juga beberapa keluarga Islam seperti di Luang Prabang salah satu kota terbesar setelah Viang Chan, jaraknya sekitar 500 kilometer arah ke utara.
“Di Laos terdapat sekitar 120 orang pekerja dari Indonesia yang bekerja di tambang emas Laos,” kata Dubes RI untuk Laos Haji Fahmi Pasaribu, saat kami berkunjung ke Kedutaan. Arah ke Selatan sekitar 600 kilometer dari Viang Chan terdapat sebuah provinsi bernama Savannakhet. Perjalanan kami menuju kesana, selepas dari satu kampung sekitar 50 kilometer di luar kota Viang Chan arah ke Savannakhet, kami mengunjungi saudara muslim yang baru memeluk Islam. Tiga keluarga tinggal di sana, tak ada seorang pun yang dapat mengajari mereka tentang Islam. Hanya seorang yang masih dapat melafazkan syahadat dengan benar.
Di kampung itulah kami shalat Jamak Takdim di rumah saudara muslim yang bernama Ismail. Dan seterusnya melanjutkan perjalanan ke Savannakhet.

Muslimah Terakhir asal Saigon
Tiba di Savannakhet, kami menuju rumah pak Pong, Pak Pong ini adalah orang Laos yang sudah memeluk Islam hampir limabelas tahun silam, sebagai seorang polisi yang masih aktif dia tak mau identitas ke-Islamannya diketahui halayak ramai. Hanya Dia seorang saja yang Islam di keluarga nya, bahkan isteri dan anak-anaknya masih menganut Budha. Banyak kisah menarik yang diceritakan oleh Imam Vina kepada kami tentang pak Pong ini, namun sayang karena sedang bertugas keluar kota kami tak berjumpa dengan pak Pong. Kami diterima oleh adiknya yang bernama Pok.
Tak tahu apa sebab kota ini dinamakan Savannakhet. Dialek tempatan menyebutnya Sabana Kit. Dan memang hutan perdu di sana terlihat seperti padang Sabana.
Sebagaimana informasi yang kami dapatkan dari pak Pok adik pak Pong ini, ada satu lagi keluarga muslim asal Kamboja yang tinggal tak jauh dari rumah kediaman mereka. Ke sanalah tujuan kami selanjutnya untuk bersilaturrahim.
Setiba di sebuah rumah toko (ruko) persis bersebalahan sebuah hotel yang cukup besar di Savannakhet, seorang perempuan muda sekitar 30an menerima kami, di depan rumah yang juga berfungsi sebagai tempat berniaga ini di kanan kirinya terdapat altar sembahyang bagi orang Budha lengkap dengan sesajian dan dupa yang masih menyala. Dengan senyum ramah kami dipersilahkannya masuk ke dalam rumahnya, tak lama setelah itu seorang perempuan tua sekitar 60an tergopoh-gopoh turun dari sepeda motor dan masuk menghampiri kami.
Senyumnya mengembang namun air matanya terlihat berlinang, rupanya dia sangat terharu sekali atas kedatangan kami menjambangi rumahnya. Belasan tahun setelah suaminya meninggal dunia nyaris tak seorang pun orang Islam yang datang ke rumahnya.
Chek Lie namanya. Begitu dia dipanggil perempuan tua yang tetap mengaku Islam ini adalah berasal dari Saigon Vietnam, menikah dengan pemuda asal Kamboja bernama Ali, sejak menikah 40 tahunan yang lalu mereka tinggal di Savannakhet, dikarunia dua orang anak. Seorang lelaki, dan menikah dengan wanita setempat (orang Laos) punya anak enam orang. Seorang lagi anak Chek Lie yang perempuan yang menyambut kami tadi menikah dengan lelaki setempat, tetapi beragama Budha, putri Chek Lie ini pun punya dua orang anak.
Sayangnya anak lelaki Chek Lie agak kurang ingatan akibat kecelakaan di jalan raya setelah suaminya meninggal. Sementara anak perempuannya pula telah bercerai dengan suaminya. Mungkin akibat penderitan yang terus menderanya itu, selama bertemu dengan kami tak henti henti air matanya terus mengalir.
Di rumah Chek Lie itu kami shalat magrib, di dalam rumah yang cukup besar itu pun terdapat altar tempat sembahyang yang jauh lebih besar dari altar yang di luar. Melihat kami akan shalat, cepat–cepat Chek Lie menutupi altar itu dengan kain. Yang sangat terharu sekali adalah saat azan berkumandang di rumah itu, Chek Lie dengan menyusun sepuluh jarinya seraya berdoa dan tubuhnya mengelongsor ke lantai sembari menangis.
Kami yang hadir di sana hampir semua menitikkan air mata. Bahkan Ustazd Yusuf asal Pattani yang menjadi juru bicara dan imam shalat kami menangis sesunggukan. Memohon ampun kepada Allah SWT membiarkan saudara muslim belasan tahun tanpa bimbingan apapun.

 Ikrar Ulang Syahadat

Tak ada mukena tak ada Quran tak ada sajadah. Tak ada seorang pun yang tahu tentang Islam yang dapat mengajarkan mereka. Suami yang membawanya kepada Islam 40 tahun silam telah tiada, anak lelaki satu satunya yang diharapkan menjadi tumpuan tempat berlindung kini kurang siuman, sementara menantu lelakinya pula pergi meninggalkan mereka. Dari segi materi, Chek Lie terlihat tidak kekurangan, harta peninggalan suaminya masih bercukupan. Petang itu Chek Lie ikut shalat berjamaah di belakang kami, karena kami yang datang semua lelaki. Jadi terpaksa lah Chek Lie berdiri sendirian. Saat kuajak shalat Chek Lie kebingungan, tak tahu apa yang hendak dilakukannya.
Saat berdiri untuk shalat ku bimbing Chek Lie berdiri persis di belakangku, dengan selembar kerudung putih yang terjuntai tak jauh dari kursi yang terdapat di ruang tamu itu kututupi rambut Chek Lie. Baju dan androk yang dipakainya cukup untuk menutupi aurat pengganti mukenah.
Inilah agaknya pertama kali Chek Lie shalat selama belasan tahun sepeninggal suaminya, atau memang dulu pun Chek Lie tak pernah shalat, wallahu a’lam bisawab. Tapi Chek Lie tetap dalam ke-Islaman nya, “Sampai akhir hayat aku tetap Islam!” kata Cheki Lie yang diterjemahkan oleh Ustazd Yusuf . Sebagai mana wasiat dari sang Suami sebelum meninggal dunia. Tetapi yang sangat merunsingkan hati Chek Lie adalah siapa agaknya yang akan mengebumikannya, bila ianya kelak dipanggil yang Maha Kuasa.
Malam itu selepas makan malam di rumah Chek Lie, Chek Lie mengucapkan ulang dua kalimat syahadat dibimbing oleh Ustazd Yusuf. Syahadat ini pun diikuti putri Chek Lie dan kedua cucunya yang sudah berumur 9 dan 10 tahun. Pak Pok adik Pak Pong yang terus menemani kami pun malam itu mendapat hidayah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Saat kutanya apa harapan Chek Lie di hari tuanya seperti saat ini. Harapan Chek Lie kiranya ada Dai yang datang kesana, mengajarkan mereka tentang Islam dan Chek Lie pun bermimpi ada sebuah mushalla hendaknya bediri tegak di bumi Savannakhet.
Selepas dari Rumah Chek Lie kami menuju sebuah rumah keluarga muslim asal Pakistan, kami diantar oleh Chek Lie keruma itu. Kami ketahui keberadaan keluarga asal Pakistan ini saat di pasar, mereka menjual pakaian. Sayang nya kami tak dapat langsung berjumpa, karena malam hari sebagaimana dijanjikan tuan rumah tak ada di tempat. Meskipun siang nya kami sudah janjian akan berjumpa, mungkin agaknya terlalu lama kami di rumah Chek Lie. Itulah sedikit gambaran tentang Muslim di Savannakhet, Savannakhet adalah salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Mukdahan Thailand.
Imbalo Iman Sakti
imbalobatam@yahoo.co.id

Masjid Azhar, Vientiane - Laos 

Masjid Kamboja ::: Masjid Azhar Vientiane, Laos. Atau biasa disebut sebagai Masjid Kamboja Merujuk kepada muslim Champa dari Kamboja yang membangun Masjid ini.

Masjid Azhar di Vientiane, merupakan salah satu dari dua masjid yang ada di Republik Demokratik Rakyat Laos, setelah Masjid Jami Vientiane. Masjid ini lebih dikenal dengan nama masjid Kamboja, karena memang dibangun oleh muslim etnis Champa dari Kamboja yang hijrah ke Laos meninggalkan kampung halaman mereka di Kamboja pada era tahun 1975-1979 untuk menyelamatkan diri dari kekejaman rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot.

Berdiri di distrik Chantabouly, yang merupakan jantung kawasan indah dan bersejarah kota Vientiane, ibukota Laos. Masjid ini menjadi tumpuan bagi komunitas muslim di distrik tersebut yang memang mayoritas adalah muslim Champa, mereka terdiri dari sekitar 300 jemaah dari 70 keluarga muslim. Saat ini masjid Azhar bersama masjid Jami Vientiane menjadi salah satu tujuan wisata Rohani bagi muslim mancanegara yang berkunjung ke Laos.

Lokasi dan Alamat Masjid Azhar, Vientiane

Masjid Azhar,
Banphon Sawattay, Chantabouly District, P.O Box 5062
Vientiane, People Democratic Republic of Laos
            Telepon : +856 2022 636666

Muslim Champa dan Masjid Kamboja di Laos

Perjalanan sejarah muslim Kamboja di Laos memang cukup panjang. Etnis Champa yang kini menjadi bagian dari Laos ini merupakan kaum Muhajirin dari Kamboja yang masuk ke Laos, Seiring dengan runtuhnya kerajaan Islam Champa yang berkuasa di bagian selatan dan tengah Vietnam, akibat kekalahan mereka melawan serbuan Kerajaan Vietnam dari dinasti  Nguyen di penghujung abad ke 17 hingga ahirnya dibubarkan pada paruh pertama abad ke-19, sebagian dari muslim Champa mengungsi ke Kamboja, Thailand, Malaysia  hingga ke
Pulau Hainan(China).

Kerajaan Champa telah berdiri di bagian tengah dan selatan kawasan yang kini kita kenal sebagai Negara Vietnam sejak tahun 192 masehi sebagai sebuah kerajaan Hindu. Islam baru masuk dan mengubah kerajaan tersebut menjadi sebuah kerajaan Islam di abad ke 9 Masehi dan berkembang pesat hingga abad ke 10 masehi. Kerajaan Champa mulai diserang oleh Kerajaan Dai Vet(Cikal Bakal Vietnam) di abad ke 15 masehi.


Azhar ::: meskipun sebenarnya nama masjid ini tertulis dalam aksara Arab di atas serambi utama nya sebagai masjid Al-Azhar, namun penulisan namanya dalam hurup latin di gerbangnya hanya ditulis Masjid Azhar, tanpa kata Al.
Tahun 1471M Kerajaan Dai Vet yang beribukota di Hanoi menyerbu wilayah utara kerajaan Champa dan berhasil menguasai Ibukota negara di Vijaya. Menyusul kemudian tahun 1697 wilayah Champa di Panduranga juga di caplok oleh Dai Viet, sampai kemudian sisa sisa wilayah negara Champa tak bersisa di tahun 1832M.

Arus pengungsi muslim Champa ke berbagai negara tetangganya tak terbendung, termasuk ke Kamboja yang merupakan negara terdekatnya. Di Kamboja mereka diterima dengan baik, beberapa dari mereka merupakan bekas para petinggi di kerajaan Champa dan mendapatkan tempat cukup terhormat di kerajaan Kamboja. Namun perjalanan sejarah memaksa muslim Champa di Kamboja mengungsi untuk kedua kalinya manakala rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot melakukan pembantaian massal terhadap rakyat Kamboja termasuk muslim disana di tahun 1975 hingga tahun 1979.


Arus pengungsi muslim Champa dari Kamboja ini tiba di Laos pada tahun 1975, mereka diterima dengan baik dan kemudian menetap dan menjadi bagian dari Laos. Sebagian besar mereka menetap di kawasan pemukiman kelas para pekerja di Chantabouli, disebelah barat laut pusat kota Vientien. Ditahun 1976 atau setahun setelah mereka tiba di Laos, Muslim Champa dari Kamboja ini mendirikan sebuah masjid kecil bernama Masjid Azhar atau lebih terkenal dengan sebutan Masjid Kamboja dengan imamnya, Imam Musa Abu Bakar, tokoh tertua muslim Champa di Laos.
           Saat ini komunitas Muslim Champa di Vientiane ada sekitar 70 keluarga. Sebagian dari mereka merupakan para pekerja dan pedagang obat obatan herbal tradisional yang mereka datangkan dari Kamboja. Kebanyakan dari Muslim Champa dari Kamboja ini menetap di tak jauh dari kawasan pecinanan di pusat kota Vientiane, tempat berdirinya Masjid Azhar yang mereka bangun.

Bangunan Masjid yang kini berdiri adalah hasil pembangunan dan dibuka secara resmi pada tanggal 10 Oktober 1982. Bangunan masjidnya berukuran sekitar 300 meter persegi menjadi pusat peribadatan komunal bagi muslim setempat baik muslim maupun muslimah. Masjid ini juga dilengkapi dengan ruang serbaguna, ruang kelas sebagai ruang belajar bagi sekitar 50 an anak anak untuk belajar agama Islam dan Al-Qur’an, dapur dan ruang kantor. Jemaah tetap masjid ini diperkirakan sekitar 270 orang dari sekitar 70 keluarga.

Lembaga lembaga Islam dari Malaysia cukup aktif mendukung program program muslim Laos, seperti yang terjadi pada hari Jum’at tanggal 4 November 2011 lalu, Yayasan Salam Malaysia, berkontribusi dengan menyumbang Laptop, DVD player, Iqra multimedia and Buku buku Islam ke Masjid Azhar ini.

Referensi

wikimapia.org – Vientiane-Jamie-Masque
google.com – Jamia Masjid Vientiane Laos
kbrivientiane.org –embassy of the republik of indonesia vientien-Laos
nu.or.id – masjid vientiane siap jamu atlet muslim


Sejarah Islam di Laos
Oleh Deliana Abdul Muthalib

Sampai abad 21 Islam merupakan suatu kekuatan politik yang patut diperhitungkan di Asia tenggara ia merupakan agama kerajaan brunei darusalam. Agama resmi federasi malaysia sebanyak 55%  pemeluk dari seluruh jumlah penduduk Malaysia, di Indonesia jumlah pemeluk agama Islam mencapai 90%, di Myammar agama Islam dipeluk oleh kelompok minoritas burang lebih sebanyak 3,9% dari jumlah penduduk myammar secara keseluruhan, thailand sebanyak 4%, di Philipina pemeluk Islam berjumlah 9%, sedangkan di singapura penduduk dengan beragama Islam berjumlah sebanyak 16% dari jumlah penduduk Islam secara keseluruhan.
Komunitas Muslim di Laos merupakan minoritas kecil di negara mayoritas buddha dan mencakup sekitar 0,01 % dari populasi. Komunitas Muslim dapat dijumpai di ibu kota Laos yaitu vientiane, yang juga memiliki Mesjid jami’. Populasi Muslim sebagian besar bergerak di perdagangan dan mengelola toko daging. Sebuah komunitas kecil Muslim cham dari Kamboja yang lolos dari khmer juga ditemukan, Muslim hidup terutama diperkotaan. Populasi muslim sebagian esar bergerak diperdagangan dan mengelola toko daging. Sebuah komunitas kecil muslim cham dan dari kamboja yang lolos dari khmer merah juga ditemukan, muslimnya hidup terutama diperkotaan. Sulit memang menemukan Muslim di Laos. Namun, bukannya tidak ada. Laos memang dikenal sebagai negara di Asia Tenggara yang populasi Muslimnya paling sedikit. Saat ini, Muslim yang tinggal di wilayah bekas jajahan Prancis itu tak sampai 800 orang. Sejarah mencatat islam masuk ke laos sekitar abad ke-18 adalah orang-orang dari tamil, selatan india yang pertama kali membawa islam ke Laos.
Kebanyakan Muslim tamil adalah laki-laki yang bekerja sebagai penjaga dan buruh, ada pula yang berdagang, yakni menjual kosmetik yang mereka impor dari cina, Vietnam dan Thailand. Sebagian besar dari mereka tinggal di vientiane, ibu kota Laos. Mereka juga menyebar dan tinggal di 3 kota besar Laos lainnya, yakni luang prabang, pakse dan savannakhet. Islam juga di bawa masuk oleh muslim dari pakistan. Banyak dari mereka yang bekerja untuk pasukan inggris di tempatkan di myammar selama perang dunia pertama. Lokasi myanmar yang berdekatan dengan laos membuat muslim pakistan yang kerap di panggil pakhtun mudah menyebarkan islam di laos.
Muslim pakhtum adalah kelompok etnis Muslim yang cukup besar di Laos . kebanyakan dari mereka telah menjadi penduduk laos dan menikahi perempuan laos. Sebagian laki-laki pakhtum bekerja sebagai pegawai negeri dan polisi. Sejumlah lainnya memiliki toko pakaian atau lahan pertanian. Presiden asosiasi muslim laos, Muhammad rafiq alias sofi seng sone, menyatakan hubungan muslim dengan pemerintah laos sangat baik. “tidak ada masalah terkait hubungan antar agama, masyarakat laos pada umumnya sangat ramah dan perhatian dan kami merasa sangat beruntung bisa hidup disini” ujarnya. Penerimaan itulah yang membuat muslim di laos dapat dengan mudah membangun mesjid untuk beribadah.
  Laos dikenal sebagai salah satu Negara dengan sistem pemerintahan komunis yang tersisa di dunia dengan mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Budha Theravada. Tak heran kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia Tenggara.
Agama Islam pertama kali masuk ke Laos melalui para pedagang Cina dari Yunnan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya seperti Thailand dan Birma. Oleh masyarakat Laos dan Thailand,  para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw. Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah  beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tingal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan. Di sini, mereka memiliki masjid besar kebanggaan. Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk adzan.
Ornamen lain adalah tulisan-tulisan di dalam masjid ini ditulis dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan Inggris. Selain kelompok Muslim Chin Haw, ada lagi kehadiran kelompok Muslim lainnya di Laos yaitu komunitas Tamil dari selatan India. Muslim Tamil dikenal dengan nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di Malaysia dan Phuket. Mereka masuk Vientiane melalui Saigon yang masjidnya memiliki kemiripan dengan masjid mereka di Tamil. Para jamaah Muslim India Selatan inilah yang mendominasi masjid di Vientiane. Meski demikian, masjid ini juga banyak dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara. Jamaah tetap di masjid ini termasuk para diplomat dari negara Muslim di Vientiane, termasuk dari Malaysia, Indonesia, dan Palestina.
Laos merupakan salah satu negara yang kaya dengan keberagaman etnis. Setengah populasinya yang mencapai empat setengah juta orang berasal dari etnis Lao atau yang dikenal masyarakat lokalnya sebagai Lao Lum. Selain mendominasi dari segi jumlah penduduk, mereka juga mendominasi pemerintahan dan komunitas masyarakatnya. Mereka yang berasal dari etnis ini memiliki kedekatan kekerabatan dengan penduduk kawasan timur laut Thailand. Mereka berasal dari dataran rendah Mekong yang hidup mendominasi di Vientiane dan Luang Prabang. Secara tradisional, mereka juga mendominasi pemerintahan dan masyarakat Laos.
Saat ini, sebagian besar Muslim di Vientiane merupakan pembisnis. Mereka berjaya di bidang tekstil, ekspor-impor, atau melayani komunitas mereka sendiri dengan menjadi penjual daging atau pemilik restoran halal. Beberapa restoran di kawasan Taj off Man Tha Hurat Road, dan dua atau tiga restoran halal lainnya berdiri di persimpangan jalan Phonxay dan Nong Bon Roads. Selain melayani komunitas Muslim, mereka juga menyediakan jasa ketring bagi petugas kedutaan yang beragama Islam. Sisanya, para pekerja Muslim lokal di Vientiane bekerja di bagian tesktil di berbagai pasar di kota ini, seperti di Talat Sao atau pasar pagi, di persimpangan jalan Lan Xang, dan Khu Vieng. Selain di Vientiane, ada lagi komunitas Muslim lainnya di Laos. Namun mereka berjumlah lebih sedikit dan memutuskan tinggal di kota kecil di luar Vientiane. Sebagian orang menyatakan ada sebuah masjid kecil di Sayaburi, di tepi barat Mekong tidak jauh dari Nan. Sayaburi dulu pernah dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi orang asing. Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer berkuasa. Mereka melarikan diri ke Negara tetangga mereka (Laos), setelah pemimpin rezim Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan masal etnis Kamboja Cham Muslim dari tanah Kamboja. Sebagai pengungsi, kehidupan mereka terbilang miskin.
Selain itu mereka mengalami trauma akibat pengalaman hidup di bawah tekanan Khmer sejak 1975. Semua Masjid di Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang untuk beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi. Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mata imam masjid Kamboja di Vientiane, Musa Abu Bakar, berlinang air mata ketika menceritakan kematian seluruh anggota keluarganya dari kelaparan. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi, yang diharamkan oleh Islam. Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya. Sementara sisanya berhasil bertahan dengan cara menyembunyikan identitas etnis mereka dan juga keislamannya.
Dari suluruh populasi Muslim Kamboja, diperkirakan tujuh puluh persennya tewas akibat kelaparan dan pembantaian.  Kini di Laos diperkirakan ada sekitar 200 orang Muslim Kamboja. Mereka memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid Azhar atau yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini berlokasi di sebuah sudut di distrik Chantaburi  Vientiane. Meski berjumlah sangat sedikit dan tergolong miskin, mereka teguh memegang agama. Umumnya, mereka adalah penganut mahzab Syafii, berbeda dengan komunitas Muslim Asia Selatan di Vientiane yang menganut mazhab Hanafi.
Muslim Chin Haw juga memiliki Masjid sendiri di Laos. Masjid tersebut terletak di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk azan. Mudah Membangun Masjid.Meski hanya kelompok minoritas, umat Islam di Laos tidak menjadi sasar an diskriminasi. Presiden Asosiasi Muslim Laos, Muhammad Rafiq alias Sofi Seng Sone, menyatakan hubungan Muslim dengan pemerintah Laos sangat baik. 
“Tidak ada masalah terkait hubungan antaragama. Masyarakat Laos pada umumnya sangat ramah dan perhatian. Dan, kami merasa sangat beruntung bisa hidup di sini,” ujarnya.  Penerimaan itulah yang membuat Muslim Laos dapat dengan mudah membangun Mesjid untuk beribadah. Muslim asal kamboja misalnya, memiliki Mesjid sendiri yang bernama Mesjid Azhar. Masyarakat lokal mengenalnya dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini berlokasi di sebuah sudut di Distrik Chantaburi yang berjarak sekitar empat kilometer dari pusat Kota Vientiane. Meskipun dibangun oleh Muslim Kamboja, namun masjid ini juga banyak dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara. Jamaah tetap di masjid ini kebanyakan warga dari negara tetangga, juga para diplomat dari negara Muslim di Vientiane, seperti dari Malaysia, Indonesia, dan Palestina. 
Bangunan masjid ini cukup sederhana, namun dilengkapi dengan madrasah untuk anak-anak Muslim belajar agama Islam. Keberadaan masjid ini di Vientiane tidak diprotes oleh masyarakat sekitar. “Bahkan, ketika azan berkumandang, komunitas non-Muslim di Vientiane tak merasa terganggu,” kata Rafiq.
Di Laos, ada sekitar seribu muslim, orang campa dan orang china pada 1978. Banyak orang campa minta berimigrasi ke malaysia.

Daftar Pustaka
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Januari 2014), hal 259.
Marshall G,S Hogdson,  the Venture Islam, (Chicago : Uversity of Chicago Press 1974).
M.G. Ricklefs, Bruce Lckhart, Albert Lau, Portia Rayes, Maitri Awung, Thwin, Sejarah Asia Tenggara : dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer, (Depok : Komunitas Bambu, Mei 2013), hal 217-218
Grolier, Negara dan Bangsa Asia. (Jakarta: Widyadara, 1988), hal 123Saifullah,  Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hal 24
Kettani Ali, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: 2005, Raja Grafindo Persada)
.

1 comment :