Islam di Laos
Muslim Laos di Tengah Rezim
Komunis
Posted by
Hisyam Ad dien 10:20 PM
Laos adalah salah satu negara di kawasan Asia
Tenggara yang berbatasan dengan Myanmar dan Cina di sebelah barat laut, Vietnam
di timur, Kamboja di selatan, dan Thailand di sebelah barat. Dari Abad ke-14
hingga abad ke-18, negara ini disebut Lan Xang atau Negeri Seribu Gajah.
Beribu kota Vientiane, Laos dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pemerintahan komunis yang masih tersisa di dunia. Mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Buddha Theravada. Karena itu, tak mengherankan kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia TenggaraAgama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya, seperti Thailand dan Burma (Myanmar saat ini). Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw. Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tinggal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
Beribu kota Vientiane, Laos dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pemerintahan komunis yang masih tersisa di dunia. Mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Buddha Theravada. Karena itu, tak mengherankan kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia TenggaraAgama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya, seperti Thailand dan Burma (Myanmar saat ini). Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw. Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tinggal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
Di sini, mereka memiliki sebuah
masjid dengan ukuran yang sangat besar dan menjadi kebanggaan Muslim Laos.
Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid
ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya
Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk azan. Ornamen lain
adalah tulisan-tulisan dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan
Inggris, yang terdapat dalam masjid.
Selain
kelompok Muslim Chin Haw, ada lagi kelompok Muslim lainnya di Laos, yaitu
komunitas Tamil yang berasal dari selatan India. Muslim Tamil dikenal dengan
nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di Malaysia dan Phuket (Thailand).
Mereka masuk ke Vientiane melalui Saigon. Mereka juga memiliki sebuah masjid
yang bentuknya mirip dengan masjid di Tamil.
Para jamaah Muslim India Selatan inilah yang mendominasi masjid di
Vientiane. Di ibukota Laos ini, hanya terdapat dua buah masjid, yakni Masjid
Al-Azhar dan Masjid Al-Jamia. Masjid ini dibangun oleh kaum pendatang dari
India. Masjid ini tak pernah sepi dari jamaah. Apalagi pada perayaan Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha, masjid ini selalu dipenuhi oleh jamaah. Jamaah Muslim
ini kebanyakan berasal dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Walaupun berada di lingkungn padat dan
sebagian besar penduduknya pemeluk agama Buddha, aktivitas dan kegiatan
keagamaan di masjid ini berjalan normal. Bahkan, sebagian warga Vientiane
sangat akrab dengan komunitas Muslim di sini. Mereka semua mengetahui ada
masjid di daerah Prabang Road ini.
Hubungan antar agama di
Vientiane juga sangat baik. Bahkan, ketika adzan berkumandang, komunitas
non-Muslim di Vientiane tak merasa terganggu.
Masjid ini juga banyak dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara.
Jamaah tetap di masjid ini kebanyakan warga dari negara tetangga, juga para
diplomat dari negara Muslim di Vientiane, termasuk dari Malaysia, Indonesia,
dan Palestina. Bangunan masjid di Vientiane juga dilengkapi dengan bangunan
madrasah untuk anak-anak Muslim belajar agama Islam. Selain di Vientiane, ada lagi komunitas
Muslim lainnya di Laos. Namun, jumlahnya sangat sedikit. Umumnya, mereka lebih
memilih tinggal di kota kecil di luar Vientiane. Sebagian orang menyatakan ada
sebuah masjid kecil di Sayaburi, di tepi barat Mekong, tidak jauh dari Nan.
Sayaburi dulu pernah dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi orang asing.
Pengungsi Kamboja Laos merupakan salah satu negara
yang kaya dengan keberagaman etnis. Saat ini, jumlah penduduk Laos mencapai 6,2
juta jiwa. Setengah dari populasi penduduk Laos berasal dari etnis Lao atau
yang dikenal masyarakat lokalnya sebagai Lao Lum. Selain mendominasi dari segi
jumlah penduduk, mereka juga mendominasi pemerintahan dan komunitas masyarakat
di Laos. Mereka yang berasal dari etnis ini memiliki hubungan kekerabatan
dengan penduduk kawasan timur laut Thailand. Mereka berasal dari dataran rendah
Mekong yang hidup mendominasi di Vientiane dan Luang Prabang. Secara
tradisional, mereka juga mendominasi pemerintahan dan masyarakat Laos.
Keberagaman etnis ini juga tampak pada komunitas Muslim di sana. Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer Meraah.
Keberagaman etnis ini juga tampak pada komunitas Muslim di sana. Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer Meraah.
Mereka melarikan diri ke negara
tetangga mereka, Laos, setelah pemimpin rezim, Pol Pot, menyerukan gerakan
pembersihan massal etnis Kamboja Cham Muslim dari tanah Kamboja. Sebagai
pengungsi, kehidupan mereka terbilang miskin. Selain itu, mereka mengalami
trauma akibat pengalaman hidup di bawah tekanan rezim Khmer sejak 1975.
Semua masjid di Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi. Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi yang diharamkan oleh Islam. Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang tinggal di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya.
Semua masjid di Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi. Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi yang diharamkan oleh Islam. Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang tinggal di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya.
Sementara
itu, sisanya berhasil bertahan dengan cara menyembunyikan identitas etnis
mereka dan juga keislamannya. Dari seluruh populasi Muslim Kamboja,
diperkirakan tujuh puluh persennya tewas akibat kelaparan dan pembantaian. Kini, di Laos, diperkirakan ada sekitar 200
orang Muslim asal Kamboja. Mereka memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid
Azhar atau yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini berlokasi di sebuah sudut di
distrik Chantaburi yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Vientiane.
Sebagai sebuah tempat ibadah, bangunan Masjid Kamboja ini memang terlihat
sederhana sekali.
Meski berjumlah sangat sedikit
dan tergolong miskin, mereka teguh memegang agama. Umumnya, mereka adalah
penganut Mahzab Syafi’i yang berbeda dengan komunitas Muslim Asia Selatan di
Vientiane yang menganut Mazhab Hanafi.
Mayoritas
berbisnis Saat ini,
sebagian besar Muslim di Vientiane bekerja sebagai pebisnis. Mereka berusaha di
bidang tekstil, ekspor-impor, atau melayani komunitas mereka sendiri dengan
menjadi penjual daging atau pemilik restoran halal. Beberapa restoran yang
dikelola oleh Muslim asal India terletak di kawasan Taj off Man Tha Hurat Road
dan dua atau tiga restoran halal lainnya berdiri di persimpangan Jalan Phonxay
dan Nong Bon Roads. Selain melayani komunitas Muslim, mereka juga menyediakan
jasa katering bagi petugas kedutaan yang beragama Islam. Sisanya, para pekerja
Muslim lokal di Vientiane bekerja di bagian tesktil di berbagai pasar di kota
ini, seperti di Talat Sao atau pasar pagi, di persimpangan jalan Lan Xang, dan
Khu Vieng. Kelompok ini merupakan
orang-orang yang percaya diri, ramah, dan giat bekerja meski mereka berbicara
bahasa Inggris tidak sebanyak mereka yang berasal dari Asia Selatan. Setiap
pertanyaan dalam bahasa Inggris yang tidak dimengerti akan mereka jawab dengan
kalimat bo hu atau "saya tidak mengerti" dalam bahasa Laos.
Selain bekerja di industri tekstil,
banyak Muslim Laos yang bekerja sebagai penjual daging. Ini mengingat kebutuhan
makanan yang sangat spesifik dari komunitas Muslim, yaitu penyembelihan secara
Islam. Untuk membedakan kios daging mereka dari kios daging lain yang menjual
daging babi, para penjual yang beragama Islam memasang lambang bulan sabit atau
tanda dalam bahasa Arab. Tanda ini
menunjukkan, selain pemiliknya Muslim, mereka hanya menyediakan daging halal.
Maklum saja, sebagai minoritas, sangat sulit bagi mereka untuk menemukan
makanan yang dijamin kehalalannya. Daging yang biasa dipasarkan adalah daging
babi.
Sumber:
www.globalmuslim.web.id
Muslim Laos, Minoritas yang tak Tertindas
Rep: Fitria
Andayani/ Red: Chairul Akhmad
lonelyplanet.com
Peta Laos.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada pertengahan dekade 60-an,
populasi Muslim di Laos hampir semuanya berasal dari Asia Selatan. Jumlahnya
ketika itu diperkirakan mencapai 7.000 orang.
Namun, peperangan yang pecah di Laos, membuat mereka hijrah ke negara lain.
Meski demikian, sejumlah Muslim Tamil tetap tinggal karena mereka miskin dan tidak punya uang untuk pindah ke tempat lain. Selanjutnya, pada 1980, Muslim asal Kamboja membanjiri Laos. Sebenarnya, Muslim Kamboja telah datang ke Laos pada 50 tahun sebelumnya. Namun, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja. Mereka pun lari ke Vientiane dan kebanyakan hidup dari menjual obat-obatan herbal yang mereka datangkan dari Kamboja.
Namun, peperangan yang pecah di Laos, membuat mereka hijrah ke negara lain.
Meski demikian, sejumlah Muslim Tamil tetap tinggal karena mereka miskin dan tidak punya uang untuk pindah ke tempat lain. Selanjutnya, pada 1980, Muslim asal Kamboja membanjiri Laos. Sebenarnya, Muslim Kamboja telah datang ke Laos pada 50 tahun sebelumnya. Namun, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja. Mereka pun lari ke Vientiane dan kebanyakan hidup dari menjual obat-obatan herbal yang mereka datangkan dari Kamboja.
Pertumbuhan lambat
Sayangnya, populasi Muslim di negeri ini tidak tumbuh
secara signifikan. Sejumlah kendala menghadang umat Islam di Laos. Seperti dikatakan Imam Masjid Azhar,
Vientiane, Muhammad Vina bin Ahmad Imam, di Laos tak ada satu pun buku
berbahasa Laos yang mendiskusikan tentang Islam. “Tidak ada seorang pun yang
berinisiatif untuk memproduksi literatur Islam,” ujarnya. Untuk memuaskan rasa
ingin tahunya tentang Islam, Muslim Laos hanya memiliki sedikit alternatif,
yakni buku bacaan Islam, termasuk Alquran, yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Thailand, bukan Laos. Meski bahasa Thailand cukup mirip dengan Laos, namun keadaan
ini ditakutkan dapat melunturkan ketertarikan orang Laos terhadap agama Islam. Di
tengah tantangan semacam itu, cukup mengangetkan bila ada orang Laos yang
mengetahui tentang Islam, bahkan memutuskan untuk meninggalkan agama lamanya
lalu menjadi Muslim. Kebanyakan dari mereka menjadi mualaf karena menikah
dengan Muslim.
Chek Lie, Muslimah Terakhir di Savannakhet Laos ?
Adityanugroho
– Kamis, 5 Rabiul Akhir 1432 H / 10 Maret 2011 07:06 WIB
Laos dengan ibukotanya Viantiane atau terkadang di
tulis dengan Viang Chan terletak di pinggir sungai Mekong. Sungai ini menjadi
perbatasan antara Laos dengan Thailand tepat nya provinsi Udhon Tani. Sungai
ini juga membentang sampai ke utara menjadi perbatasan Laos dengan Myanmar
Burma dan China, ke Selatan dengan Negara Kamboja, sementara ketimur Laos
berbatasan dengan Vietnam. Jadilah negara ini tak mempunyai akses langsung
dengan Laut. Di Viang Chan terdapat dua buah masjid kecil. Sebuah bernama
masjid Jamiah atau sering juga disebut masjid Pakistan. Masjid ini terletak
hanya beberapa puluh meter dari City Central (pusat kota).
Sebuah lagi bernama masjid Al-Azhar atau orang
menyebutnya masjid Kamboja. Masjid ini terletak sekitar 4 kilometer dari pusat
kota. Masjid itu memang didirikan oleh komunitas orang–orang Kamboja Muslim
yang muhajir ke Laos, didirikan tahun 1968 oleh Haji Yahya dan kawan
kawan nya, beliau menjadi Imam pertama di masjid itu. Sekarang ada seorang Imam
yang juga berasal dari Kamboja, Imam Vina namanya, Imam Vina dapat berbahasa
Melayu. Tiga tahun yang lalu masjid Kamboja ini hanya berupa bangunan kecil
yang tak terurus, halaman nya tergenang air, karena tapak bangunan masjid itu
dulunya berupa sawah. Kini Masjid Kamboja telah menjadi tumpuan shalat Jumat
bagi warga Muslim yang berada di Kedubes Indonesia maupun Malaysia, meskipun
belum sebesar Masjid Internasional di Phnom Phen Kamboja sana.
Di Viang Chan terdapat sekitar 16 keluarga muslim asli
orang Laos. “Tiga keluarga telah kembali murtad,” kata Imam Vina kepada kami
saat berkunjungan akhir Desember 2010 yang lalu. Sementara warga Laos asal
Kamboja yang Islam yang tinggal di sekitar Viang Chan hanya puluhan saja.
Tetapi ada yang mengatakan seratusan, tak ada data pasti untuk itu.
Laos terdiri dari 16 provinsi, di beberapa provinsi
ini terdapat juga beberapa keluarga Islam seperti di Luang Prabang salah satu
kota terbesar setelah Viang Chan, jaraknya sekitar 500 kilometer arah ke utara.
“Di Laos terdapat sekitar 120 orang pekerja dari
Indonesia yang bekerja di tambang emas Laos,” kata Dubes RI untuk Laos Haji
Fahmi Pasaribu, saat kami berkunjung ke Kedutaan. Arah ke Selatan sekitar 600
kilometer dari Viang Chan terdapat sebuah provinsi bernama Savannakhet.
Perjalanan kami menuju kesana, selepas dari satu kampung sekitar 50 kilometer
di luar kota Viang Chan arah ke Savannakhet, kami mengunjungi saudara muslim
yang baru memeluk Islam. Tiga keluarga tinggal di sana, tak ada seorang pun
yang dapat mengajari mereka tentang Islam. Hanya seorang yang masih dapat
melafazkan syahadat dengan benar.
Di kampung itulah kami shalat Jamak Takdim di
rumah saudara muslim yang bernama Ismail. Dan seterusnya melanjutkan perjalanan
ke Savannakhet.
Muslimah Terakhir asal Saigon
Tiba di Savannakhet, kami menuju rumah pak Pong, Pak
Pong ini adalah orang Laos yang sudah memeluk Islam hampir limabelas tahun
silam, sebagai seorang polisi yang masih aktif dia tak mau identitas
ke-Islamannya diketahui halayak ramai. Hanya Dia seorang saja yang Islam di
keluarga nya, bahkan isteri dan anak-anaknya masih menganut Budha. Banyak kisah
menarik yang diceritakan oleh Imam Vina kepada kami tentang pak Pong ini, namun
sayang karena sedang bertugas keluar kota kami tak berjumpa dengan pak Pong.
Kami diterima oleh adiknya yang bernama Pok.
Tak tahu apa sebab kota ini dinamakan Savannakhet.
Dialek tempatan menyebutnya Sabana Kit. Dan memang hutan perdu di sana terlihat
seperti padang Sabana.
Sebagaimana informasi yang kami dapatkan dari pak Pok
adik pak Pong ini, ada satu lagi keluarga muslim asal Kamboja yang tinggal tak
jauh dari rumah kediaman mereka. Ke sanalah tujuan kami selanjutnya untuk
bersilaturrahim.
Setiba di sebuah rumah toko (ruko) persis bersebalahan
sebuah hotel yang cukup besar di Savannakhet, seorang perempuan muda sekitar
30an menerima kami, di depan rumah yang juga berfungsi sebagai tempat berniaga
ini di kanan kirinya terdapat altar sembahyang bagi orang Budha lengkap dengan
sesajian dan dupa yang masih menyala. Dengan senyum ramah kami dipersilahkannya
masuk ke dalam rumahnya, tak lama setelah itu seorang perempuan tua sekitar
60an tergopoh-gopoh turun dari sepeda motor dan masuk menghampiri kami.
Senyumnya mengembang namun air matanya terlihat
berlinang, rupanya dia sangat terharu sekali atas kedatangan kami menjambangi
rumahnya. Belasan tahun setelah suaminya meninggal dunia nyaris tak seorang pun
orang Islam yang datang ke rumahnya.
Chek Lie namanya. Begitu dia dipanggil perempuan tua
yang tetap mengaku Islam ini adalah berasal dari Saigon Vietnam, menikah dengan
pemuda asal Kamboja bernama Ali, sejak menikah 40 tahunan yang lalu mereka
tinggal di Savannakhet, dikarunia dua orang anak. Seorang lelaki, dan menikah
dengan wanita setempat (orang Laos) punya anak enam orang. Seorang lagi anak
Chek Lie yang perempuan yang menyambut kami tadi menikah dengan lelaki setempat,
tetapi beragama Budha, putri Chek Lie ini pun punya dua orang anak.
Sayangnya anak lelaki Chek Lie agak kurang ingatan
akibat kecelakaan di jalan raya setelah suaminya meninggal. Sementara anak
perempuannya pula telah bercerai dengan suaminya. Mungkin akibat penderitan
yang terus menderanya itu, selama bertemu dengan kami tak henti henti air
matanya terus mengalir.
Di rumah Chek Lie itu kami shalat magrib, di dalam
rumah yang cukup besar itu pun terdapat altar tempat sembahyang yang jauh lebih
besar dari altar yang di luar. Melihat kami akan shalat, cepat–cepat Chek Lie
menutupi altar itu dengan kain. Yang sangat terharu sekali adalah saat azan
berkumandang di rumah itu, Chek Lie dengan menyusun sepuluh jarinya seraya
berdoa dan tubuhnya mengelongsor ke lantai sembari menangis.
Kami yang hadir di sana hampir semua menitikkan air
mata. Bahkan Ustazd Yusuf asal Pattani yang menjadi juru bicara dan imam shalat
kami menangis sesunggukan. Memohon ampun kepada Allah SWT membiarkan saudara
muslim belasan tahun tanpa bimbingan apapun.
Ikrar Ulang Syahadat
Tak ada mukena tak ada Quran tak ada sajadah. Tak ada
seorang pun yang tahu tentang Islam yang dapat mengajarkan mereka. Suami yang
membawanya kepada Islam 40 tahun silam telah tiada, anak lelaki satu satunya
yang diharapkan menjadi tumpuan tempat berlindung kini kurang siuman, sementara
menantu lelakinya pula pergi meninggalkan mereka. Dari segi materi, Chek Lie
terlihat tidak kekurangan, harta peninggalan suaminya masih bercukupan. Petang
itu Chek Lie ikut shalat berjamaah di belakang kami, karena kami yang datang
semua lelaki. Jadi terpaksa lah Chek Lie berdiri sendirian. Saat kuajak shalat
Chek Lie kebingungan, tak tahu apa yang hendak dilakukannya.
Saat berdiri untuk shalat ku bimbing Chek Lie berdiri
persis di belakangku, dengan selembar kerudung putih yang terjuntai tak jauh
dari kursi yang terdapat di ruang tamu itu kututupi rambut Chek Lie. Baju dan
androk yang dipakainya cukup untuk menutupi aurat pengganti mukenah.
Inilah agaknya pertama kali Chek Lie shalat selama
belasan tahun sepeninggal suaminya, atau memang dulu pun Chek Lie tak pernah
shalat, wallahu a’lam bisawab. Tapi Chek Lie tetap dalam ke-Islaman nya,
“Sampai akhir hayat aku tetap Islam!” kata Cheki Lie yang diterjemahkan oleh
Ustazd Yusuf . Sebagai mana wasiat dari sang Suami sebelum meninggal dunia.
Tetapi yang sangat merunsingkan hati Chek Lie adalah siapa agaknya yang akan
mengebumikannya, bila ianya kelak dipanggil yang Maha Kuasa.
Malam itu selepas makan malam di rumah Chek Lie, Chek
Lie mengucapkan ulang dua kalimat syahadat dibimbing oleh Ustazd Yusuf.
Syahadat ini pun diikuti putri Chek Lie dan kedua cucunya yang sudah berumur 9
dan 10 tahun. Pak Pok adik Pak Pong yang terus menemani kami pun malam itu
mendapat hidayah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Saat kutanya apa harapan Chek Lie di hari tuanya
seperti saat ini. Harapan Chek Lie kiranya ada Dai yang datang kesana,
mengajarkan mereka tentang Islam dan Chek Lie pun bermimpi ada sebuah mushalla
hendaknya bediri tegak di bumi Savannakhet.
Selepas dari Rumah Chek Lie kami menuju sebuah rumah
keluarga muslim asal Pakistan, kami diantar oleh Chek Lie keruma itu. Kami
ketahui keberadaan keluarga asal Pakistan ini saat di pasar, mereka menjual
pakaian. Sayang nya kami tak dapat langsung berjumpa, karena malam hari
sebagaimana dijanjikan tuan rumah tak ada di tempat. Meskipun siang nya kami
sudah janjian akan berjumpa, mungkin agaknya terlalu lama kami di rumah Chek
Lie. Itulah sedikit gambaran tentang Muslim di Savannakhet, Savannakhet adalah
salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Mukdahan Thailand.
Imbalo Iman
Sakti
imbalobatam@yahoo.co.id
imbalobatam@yahoo.co.id
Masjid Azhar, Vientiane - Laos
Masjid
Kamboja ::: Masjid Azhar Vientiane, Laos. Atau biasa disebut sebagai Masjid
Kamboja Merujuk kepada muslim Champa dari Kamboja yang membangun Masjid ini.
|
Masjid Azhar
di Vientiane, merupakan salah satu dari dua masjid yang ada di Republik
Demokratik Rakyat Laos, setelah Masjid Jami Vientiane. Masjid ini lebih dikenal
dengan nama masjid Kamboja, karena memang dibangun oleh muslim etnis Champa
dari Kamboja yang hijrah ke Laos meninggalkan kampung halaman mereka di Kamboja
pada era tahun 1975-1979 untuk menyelamatkan diri dari kekejaman rezim Khmer
Merah pimpinan Pol Pot.
Berdiri di
distrik Chantabouly, yang merupakan jantung kawasan indah dan bersejarah kota
Vientiane, ibukota Laos. Masjid ini menjadi tumpuan bagi komunitas muslim di
distrik tersebut yang memang mayoritas adalah muslim Champa, mereka terdiri
dari sekitar 300 jemaah dari 70 keluarga muslim. Saat ini masjid Azhar bersama
masjid Jami Vientiane menjadi salah satu tujuan wisata Rohani bagi muslim
mancanegara yang berkunjung ke Laos.
Lokasi dan Alamat Masjid Azhar, Vientiane
Masjid
Azhar,
Banphon
Sawattay, Chantabouly District, P.O Box 5062
Vientiane,
People Democratic Republic of Laos
Telepon : +856 2022 636666
Muslim Champa dan Masjid Kamboja di Laos
Perjalanan
sejarah muslim Kamboja di Laos memang cukup panjang. Etnis Champa yang kini
menjadi bagian dari Laos ini merupakan kaum Muhajirin dari Kamboja yang masuk
ke Laos, Seiring dengan runtuhnya kerajaan Islam Champa yang berkuasa di bagian
selatan dan tengah Vietnam, akibat kekalahan mereka melawan serbuan Kerajaan
Vietnam dari dinasti Nguyen di
penghujung abad ke 17 hingga ahirnya dibubarkan pada paruh pertama abad ke-19,
sebagian dari muslim Champa mengungsi ke Kamboja, Thailand, Malaysia hingga ke
Pulau Hainan(China).
Kerajaan
Champa telah berdiri di bagian tengah dan selatan kawasan yang kini kita kenal
sebagai Negara Vietnam sejak tahun 192 masehi sebagai sebuah kerajaan Hindu.
Islam baru masuk dan mengubah kerajaan tersebut menjadi sebuah kerajaan Islam
di abad ke 9 Masehi dan berkembang pesat hingga abad ke 10 masehi. Kerajaan
Champa mulai diserang oleh Kerajaan Dai Vet(Cikal Bakal Vietnam) di abad ke 15
masehi.
Azhar :::
meskipun sebenarnya nama masjid ini tertulis dalam aksara Arab di atas
serambi utama nya sebagai masjid Al-Azhar, namun penulisan namanya dalam
hurup latin di gerbangnya hanya ditulis Masjid Azhar, tanpa kata Al.
|
Tahun 1471M
Kerajaan Dai Vet yang beribukota di Hanoi menyerbu wilayah utara kerajaan
Champa dan berhasil menguasai Ibukota negara di Vijaya. Menyusul kemudian tahun
1697 wilayah Champa di Panduranga juga di caplok oleh Dai Viet, sampai kemudian
sisa sisa wilayah negara Champa tak bersisa di tahun 1832M.
Arus
pengungsi muslim Champa ke berbagai negara tetangganya tak terbendung, termasuk
ke Kamboja yang merupakan negara terdekatnya. Di Kamboja mereka diterima dengan
baik, beberapa dari mereka merupakan bekas para petinggi di kerajaan Champa dan
mendapatkan tempat cukup terhormat di kerajaan Kamboja. Namun perjalanan
sejarah memaksa muslim Champa di Kamboja mengungsi untuk kedua kalinya manakala
rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot melakukan pembantaian massal terhadap rakyat
Kamboja termasuk muslim disana di tahun 1975 hingga tahun 1979.
Arus
pengungsi muslim Champa dari Kamboja ini tiba di Laos pada tahun 1975, mereka
diterima dengan baik dan kemudian menetap dan menjadi bagian dari Laos.
Sebagian besar mereka menetap di kawasan pemukiman kelas para pekerja di
Chantabouli, disebelah barat laut pusat kota Vientien. Ditahun 1976 atau
setahun setelah mereka tiba di Laos, Muslim Champa dari Kamboja ini mendirikan
sebuah masjid kecil bernama Masjid Azhar atau lebih terkenal dengan sebutan
Masjid Kamboja dengan imamnya, Imam Musa Abu Bakar, tokoh tertua muslim Champa
di Laos.
Saat ini komunitas Muslim Champa di Vientiane
ada sekitar 70 keluarga. Sebagian dari mereka merupakan para pekerja dan
pedagang obat obatan herbal tradisional yang mereka datangkan dari Kamboja.
Kebanyakan dari Muslim Champa dari Kamboja ini menetap di tak jauh dari kawasan
pecinanan di pusat kota Vientiane, tempat berdirinya Masjid Azhar yang mereka
bangun.
Bangunan
Masjid yang kini berdiri adalah hasil pembangunan dan dibuka secara resmi pada
tanggal 10 Oktober 1982. Bangunan masjidnya berukuran sekitar 300 meter persegi
menjadi pusat peribadatan komunal bagi muslim setempat baik muslim maupun
muslimah. Masjid ini juga dilengkapi dengan ruang serbaguna, ruang kelas
sebagai ruang belajar bagi sekitar 50 an anak anak untuk belajar agama Islam
dan Al-Qur’an, dapur dan ruang kantor. Jemaah tetap masjid ini diperkirakan
sekitar 270 orang dari sekitar 70 keluarga.
Lembaga
lembaga Islam dari Malaysia cukup aktif mendukung program program muslim Laos,
seperti yang terjadi pada hari Jum’at tanggal 4 November 2011 lalu, Yayasan
Salam Malaysia, berkontribusi dengan menyumbang Laptop, DVD player, Iqra
multimedia and Buku buku Islam ke Masjid Azhar ini.
Referensi
wikimapia.org
– Vientiane-Jamie-Masque
google.com –
Jamia Masjid Vientiane Laos
kbrivientiane.org
–embassy of the republik of indonesia vientien-Laos
nu.or.id –
masjid vientiane siap jamu atlet muslim
Sejarah Islam di Laos
Oleh Deliana
Abdul Muthalib
Sampai abad 21 Islam merupakan suatu
kekuatan politik yang patut diperhitungkan di Asia tenggara ia merupakan agama
kerajaan brunei darusalam. Agama resmi federasi malaysia sebanyak 55%
pemeluk dari seluruh jumlah penduduk Malaysia, di Indonesia jumlah pemeluk
agama Islam mencapai 90%, di Myammar agama Islam dipeluk oleh kelompok
minoritas burang lebih sebanyak 3,9% dari jumlah penduduk myammar secara
keseluruhan, thailand sebanyak 4%, di Philipina pemeluk Islam berjumlah 9%,
sedangkan di singapura penduduk dengan beragama Islam berjumlah sebanyak 16%
dari jumlah penduduk Islam secara keseluruhan.
Komunitas Muslim di Laos merupakan
minoritas kecil di negara mayoritas buddha dan mencakup sekitar 0,01 % dari
populasi. Komunitas Muslim dapat dijumpai di ibu kota Laos yaitu vientiane,
yang juga memiliki Mesjid jami’. Populasi Muslim sebagian besar bergerak di perdagangan
dan mengelola toko daging. Sebuah komunitas kecil Muslim cham dari Kamboja yang
lolos dari khmer juga ditemukan, Muslim hidup terutama diperkotaan. Populasi
muslim sebagian esar bergerak diperdagangan dan mengelola toko daging. Sebuah
komunitas kecil muslim cham dan dari kamboja yang lolos dari khmer merah juga
ditemukan, muslimnya hidup terutama diperkotaan. Sulit memang menemukan Muslim
di Laos. Namun, bukannya tidak ada. Laos memang dikenal sebagai negara di Asia
Tenggara yang populasi Muslimnya paling sedikit. Saat ini, Muslim yang tinggal
di wilayah bekas jajahan Prancis itu tak sampai 800 orang. Sejarah mencatat
islam masuk ke laos sekitar abad ke-18 adalah orang-orang dari tamil, selatan
india yang pertama kali membawa islam ke Laos.
Kebanyakan Muslim tamil adalah
laki-laki yang bekerja sebagai penjaga dan buruh, ada pula yang berdagang,
yakni menjual kosmetik yang mereka impor dari cina, Vietnam dan Thailand.
Sebagian besar dari mereka tinggal di vientiane, ibu kota Laos. Mereka juga
menyebar dan tinggal di 3 kota besar Laos lainnya, yakni luang prabang, pakse
dan savannakhet. Islam juga di bawa masuk oleh muslim dari pakistan. Banyak
dari mereka yang bekerja untuk pasukan inggris di tempatkan di myammar selama
perang dunia pertama. Lokasi myanmar yang berdekatan dengan laos membuat muslim
pakistan yang kerap di panggil pakhtun mudah menyebarkan islam di laos.
Muslim pakhtum adalah kelompok etnis
Muslim yang cukup besar di Laos . kebanyakan dari mereka telah menjadi penduduk
laos dan menikahi perempuan laos. Sebagian laki-laki pakhtum bekerja sebagai
pegawai negeri dan polisi. Sejumlah lainnya memiliki toko pakaian atau lahan
pertanian. Presiden asosiasi muslim laos, Muhammad rafiq alias sofi seng sone,
menyatakan hubungan muslim dengan pemerintah laos sangat baik. “tidak ada
masalah terkait hubungan antar agama, masyarakat laos pada umumnya sangat ramah
dan perhatian dan kami merasa sangat beruntung bisa hidup disini” ujarnya.
Penerimaan itulah yang membuat muslim di laos dapat dengan mudah membangun
mesjid untuk beribadah.
Laos dikenal sebagai
salah satu Negara dengan sistem pemerintahan komunis yang tersisa di dunia
dengan mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Budha Theravada. Tak heran kalau
Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia Tenggara.
Agama Islam pertama kali masuk ke
Laos melalui para pedagang Cina dari Yunnan. Para saudagar Cina ini bukan hanya
membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya seperti Thailand
dan Birma. Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini
dikenal dengan nama Chin Haw. Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari
ini adalah beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tingal di
dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat
perkotaan. Di sini, mereka memiliki masjid besar kebanggaan. Letaknya di ruas
jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun
dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya Oriental. Masjid ini
juga dilengkapi pengeras suara untuk adzan.
Ornamen lain adalah tulisan-tulisan
di dalam masjid ini ditulis dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu,
dan Inggris. Selain kelompok Muslim Chin Haw, ada lagi kehadiran kelompok
Muslim lainnya di Laos yaitu komunitas Tamil dari selatan India. Muslim Tamil
dikenal dengan nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di Malaysia dan Phuket.
Mereka masuk Vientiane melalui Saigon yang masjidnya memiliki kemiripan dengan
masjid mereka di Tamil. Para jamaah Muslim India Selatan inilah yang
mendominasi masjid di Vientiane. Meski demikian, masjid ini juga banyak
dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara. Jamaah tetap di masjid ini
termasuk para diplomat dari negara Muslim di Vientiane, termasuk dari Malaysia,
Indonesia, dan Palestina.
Laos merupakan salah satu negara
yang kaya dengan keberagaman etnis. Setengah populasinya yang mencapai empat
setengah juta orang berasal dari etnis Lao atau yang dikenal masyarakat
lokalnya sebagai Lao Lum. Selain mendominasi dari segi jumlah penduduk, mereka
juga mendominasi pemerintahan dan komunitas masyarakatnya. Mereka yang berasal
dari etnis ini memiliki kedekatan kekerabatan dengan penduduk kawasan timur
laut Thailand. Mereka berasal dari dataran rendah Mekong yang hidup mendominasi
di Vientiane dan Luang Prabang. Secara tradisional, mereka juga mendominasi
pemerintahan dan masyarakat Laos.
Saat ini, sebagian besar Muslim di
Vientiane merupakan pembisnis. Mereka berjaya di bidang tekstil, ekspor-impor,
atau melayani komunitas mereka sendiri dengan menjadi penjual daging atau
pemilik restoran halal. Beberapa restoran di kawasan Taj off Man Tha Hurat
Road, dan dua atau tiga restoran halal lainnya berdiri di persimpangan jalan
Phonxay dan Nong Bon Roads. Selain melayani komunitas Muslim, mereka juga
menyediakan jasa ketring bagi petugas kedutaan yang beragama Islam. Sisanya,
para pekerja Muslim lokal di Vientiane bekerja di bagian tesktil di berbagai
pasar di kota ini, seperti di Talat Sao atau pasar pagi, di persimpangan jalan
Lan Xang, dan Khu Vieng. Selain di Vientiane, ada lagi komunitas Muslim lainnya
di Laos. Namun mereka berjumlah lebih sedikit dan memutuskan tinggal di kota
kecil di luar Vientiane. Sebagian orang menyatakan ada sebuah masjid kecil di
Sayaburi, di tepi barat Mekong tidak jauh dari Nan. Sayaburi dulu pernah
dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi orang asing. Muslim Laos didominasi
oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus
untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer berkuasa.
Mereka melarikan diri ke Negara tetangga mereka (Laos), setelah pemimpin rezim
Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan masal etnis Kamboja Cham Muslim dari
tanah Kamboja. Sebagai pengungsi, kehidupan mereka terbilang miskin.
Selain itu mereka mengalami trauma
akibat pengalaman hidup di bawah tekanan Khmer sejak 1975. Semua Masjid di
Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang untuk beribadah atau berbicara dalam
bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi.
Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mata imam masjid
Kamboja di Vientiane, Musa Abu Bakar, berlinang air mata ketika menceritakan
kematian seluruh anggota keluarganya dari kelaparan. Mereka dipaksa makan
rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer
hanyalah daging babi, yang diharamkan oleh Islam. Beberapa orang Kamboja,
seperti mereka yang di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung
halamannya. Sementara sisanya berhasil bertahan dengan cara menyembunyikan
identitas etnis mereka dan juga keislamannya.
Dari suluruh populasi Muslim
Kamboja, diperkirakan tujuh puluh persennya tewas akibat kelaparan dan
pembantaian. Kini di Laos diperkirakan ada sekitar 200 orang Muslim Kamboja.
Mereka memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid Azhar atau yang oleh
masyarakat lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini berlokasi di
sebuah sudut di distrik Chantaburi Vientiane. Meski berjumlah sangat
sedikit dan tergolong miskin, mereka teguh memegang agama. Umumnya, mereka
adalah penganut mahzab Syafii, berbeda dengan komunitas Muslim Asia Selatan di
Vientiane yang menganut mazhab Hanafi.
Muslim Chin Haw
juga memiliki Masjid sendiri di Laos. Masjid tersebut terletak di ruas jalan
yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan
gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya oriental. Masjid ini juga
dilengkapi pengeras suara untuk azan. Mudah Membangun Masjid.Meski hanya
kelompok minoritas, umat Islam di Laos tidak menjadi sasar an diskriminasi. Presiden
Asosiasi Muslim Laos, Muhammad Rafiq alias Sofi Seng Sone, menyatakan hubungan
Muslim dengan pemerintah Laos sangat baik.
“Tidak ada masalah
terkait hubungan antaragama. Masyarakat Laos pada umumnya sangat ramah dan
perhatian. Dan, kami merasa sangat beruntung bisa hidup di sini,” ujarnya. Penerimaan
itulah yang membuat Muslim Laos dapat dengan mudah membangun Mesjid untuk
beribadah. Muslim asal kamboja misalnya, memiliki Mesjid sendiri yang bernama
Mesjid Azhar. Masyarakat lokal mengenalnya dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini
berlokasi di sebuah sudut di Distrik Chantaburi yang berjarak sekitar empat
kilometer dari pusat Kota Vientiane. Meskipun
dibangun oleh Muslim Kamboja, namun masjid ini juga banyak dikunjungi jamaah
Muslim dari berbagai negara. Jamaah tetap di masjid ini kebanyakan warga dari
negara tetangga, juga para diplomat dari negara Muslim di Vientiane, seperti
dari Malaysia, Indonesia, dan Palestina.
Bangunan masjid ini
cukup sederhana, namun dilengkapi dengan madrasah untuk anak-anak Muslim
belajar agama Islam. Keberadaan masjid ini di Vientiane tidak diprotes oleh
masyarakat sekitar. “Bahkan, ketika azan berkumandang, komunitas non-Muslim di
Vientiane tak merasa terganggu,” kata Rafiq.
Di Laos, ada
sekitar seribu muslim, orang campa dan orang china pada 1978. Banyak orang
campa minta berimigrasi ke malaysia.
Daftar
Pustaka
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, Januari 2014), hal 259.
Marshall G,S Hogdson, the
Venture Islam, (Chicago : Uversity of Chicago
Press 1974).
M.G.
Ricklefs, Bruce Lckhart, Albert Lau, Portia Rayes, Maitri Awung, Thwin, Sejarah
Asia Tenggara : dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer, (Depok : Komunitas
Bambu, Mei 2013), hal 217-218
Grolier, Negara dan Bangsa
Asia. (Jakarta: Widyadara, 1988), hal 123Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan
Islam di Asia Tenggara. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hal 24
Kettani Ali, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: 2005, Raja Grafindo Persada).
Kettani Ali, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: 2005, Raja Grafindo Persada).
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
infonya bermanfaat
ReplyDelete