Islam di Prancis

2 comments



Larangan Islam di Prancis Pada 2027 Dikecam

Larangan Islam di Prancis Pada 2027 Dikecam
BeritaMuslim.com –  Kabar mengejutkan sekaligus memprihatinkan bagi umat muslim datang dari salah satu negara di wilayah Benua Eropa, yaitu Prancis. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu salah seorang walikota di sebuah kota kecil di selatan Prancis yang bernama Kota Venelles menyebutkan bahwa islam akan dilarang untuk tumbuh di Prancis mulai tanggal 18 Oktober 2027 kelak. Pernyataan tersebut didasarkan pada kicauan sang walikota di akun media sosial twitter miliknya. Dialah Robert Chardon, walikota dari Partai UMP yang telah menyusun rencana pelarangan terhadap islam tersebut. Namun, tampaknya kicauan yang telah ia buat di akun media sosial telah membawanya ke dalam sebuah permasalahan yang teramat pelik. Ia telah diskors oleh partainya akibat dari tindakannya yang merugikan masyarakat.
               Bahkan, seorang mantan presiden yang berasal dari partai yang sama dengan Chardon, Nicholas Sarkozy memutuskan untuk menjauhkan diri dari Chardon . Hal tersebut disebabkan oleh kemungkinan bahwa Sarkozy hendak kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2017 mendatang. Ulah yang dilakukan Chardon tersebut memang dapat merusak citra partai, apalagi saat ini banyak sekali pekerjaan yang membutuhkan simpati dari masyarakat luas, sehingga apa yang telah dilakukan oleh Chardon tersebut dapat mengurangi rasa simpati masyarakat terhadap partai UMP, terutama umat islam yang berada di negara Prancis.
Perkembangan Islam yang Signifikan
              Walaupun jumlah umat islam di Prancis sangat sedikit, namun seiring perkembangan waktu jumlah tersebut semakin lama semakin meningkat. Seperti yang telah diketahui bahwa pada tahun 2000-an yang lalu jumlah umat muslim di Prancis diperkirakan hanya sekitar 4,1 juta jiwa yang berasal dari kelahiran dalam keluarga islam, dan sekitar 400 ribu jiwa yang berasal dari perpindahan agama. Lalu pada tahun 2009, selang 9 tahun kemudian jumlah umat muslim di Prancis diperkirakan telah mencapai sekitar 7 juta jiwa. Hal inilah yang membuat masyarakat Eropa semakin takut dengan keberadaan Islam yang semakin hari semakin berkembang pesat. Namun demikian, bukan berarti seorang pemimpin boleh membuat aturan sendiri untuk menghentikan perkembangan suatu agama di 
suatu tempat.

Masjid Raya Paris, Tanda Terima Kasih Prancis untuk Jasa Umat Islam
Red: Agung Sasongko
Masjid Agung Paris
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Grande Mosque de Paris atau Masjid Raya Paris adalah masjid pertama yang dibangun di Prancis dan merupakan masjid terbesar di negara Eropa Barat tersebut. Masjid ini didirikan setelah berakhirnya Perang Dunia I sebagai tanda terima kasih Prancis kepada komunitas Muslim di sana yang ikut melawan pasukan Jerman dalam sebuah pertempuran yang berlangsung di daerah perbukitan utara Kota Verdun-sur-Meuse di wilayah bagian utara-timur Prancis pada 1916. Dalam peperangan tersebut, sekitar 100 ribu tentara Muslim tewas.
                Seluruh pendanaan masjid yang dibangun di lokasi bekas Rumah Sakit Mercy ini disediakan oleh Pemerintah Prancis. Peletakan batu pertama dilakukan pada 1922. Pada 15 Juli 1926, bangunan Grande Mosqu‚e de Paris diresmikan secara simbolis oleh presiden Prancis saat itu Gaston Doumergue. Ahmad al-Alawi (1869-1934), seorang tokoh sufi berdarah Aljazair, ditunjuk sebagai imam shalat pertama sebagai pertanda diresmikannya masjid baru di Kota Paris di hadapan presiden Doumergue. Imam Masjid Raya Paris saat ini dijabat oleh Mufti Dalil Boubakeur yang juga merupakan presiden Dewan Muslim Prancis.
                Dibangun di atas lahan seluas satu hektare di daerah komunitas Latin (distrik kelima di Paris), Masjid Raya Paris memperlihatkan keagungan sebuah bangunan Islam yang ditunjukkan lewat desain arsitektur dan mozaik-mozaiknya. Masjid itu memperlihatkan aspek klasik dan perkembangan peradaban seni Islam serta bentuk ajaran yang sangat toleran dan jelas dari agama dan budaya Islam.

PBB Minta Larangan Burkini Dicabut

Red: Agung Sasongko, Reuters/Jason Reed 
 Aheda Zanetti (L), designer of the Burkini swimsuit, adjusts one of the swimsuits on model Salwa Elrashid at her fashion store in Sydney, August 23, 2016. REUTERS/Jason Reed
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang Hak Asasi Manusia meminta pencabutan larangan burkini di Prancis. Organisasi tersebut menilai larangan tersebut hanya memantik intoleransi beragama.
Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein menyatakan larangan itu merupakan reaksi yang tidak ada hubungannya dengan serangan teroris. "Ini tidak ada kaitannya. Hanya saja, larangan ini akan memicu intoleransi beragama dan stigmatisasi Muslim di Prancis, utamanya Muslimah," kata dia.
Menurutnya, larangan tersebut juga merusak upaya melawan dan mencegah ekstremisme dengan kekerasan, yang bergantung pada kerja sama dan saling menghormati antar masyarakat.
"Dan merupakan kontradiksi untuk berpikir bahwa kita membebaskan orang dari pemaksaan cara berpakaian dengan membuat pemaksaan cara berpakaian lain. Jadi ide bahwa dengan melarang cara berpakaian ini anda telah mempercepat kebebasan perempuan adalah sama sekali tidak masuk akal," katanya.

Jejak Kekhalifahan Umayyah di Prancis

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Agung Sasongko
albumislam.com
Kota Damaskus, Suriah, pusat kekuasaan Dinasti Umayyah.
REPUBLIKA.CO.ID,PARIS -- Antropolog Prancis, Yves Gleize tak menunggu lama guna meneliti temuan makam tua. Setelah mempelajari semua data, Gleize dan timnya menduga, tiga kerangka itu adalah tentara Muslim Berber yang tergabung dalam pasukan Dinasti Umayyah.
Berber dikelompokkan sebagai suku bangsa Arab terbesar di dunia Islam.  ''Mereka masuk dalam pasukan itu ketika Dinasti Umayyah melakukan ekspansi ke Afrika Utara,'' kata Gleize.  Tes DNA menunjukkan, ayah mereka berasal dari  Afrika Utara, yang kala itu diperkirakan menjadi bagian dari Kekhalifahan Umayyah. Mereka diyakini tergabung dalam barisan tentara Umayyah saat menggelar ekspansi besar-besaran ke Prancis, khususnya Nimes.   
                Umayyah adalah kekhalifahan Islam yang memiliki sejarah besar dan pengaruh yang luas dalam penyebaran agama Islam.  Pada masa jayanya, Bani Umayyah berhasil mempersatukan wilayah yang membentang  dari Cina hingga Prancis Selatan di bawah satu naungan kekhalifahan Islam. Ekspansi Kekhalifahan Umayyah juga menyebar jauh hingga Spanyol.  Terkait penemuan ketiga kerangka di Nimes, para peneliti menegaskan, inilah bukti pertama tentang jejak Islam di Prancis selama abad pertengahan.  Sebelum ditaklukkan oleh Bani Umayyah, makam tiga kerangka tersebut berada di wilayah yang disebut Septimania. Wilayah itu merupakan bagian dari Kekaisaran Visigoth.
                Septimania berada di wilayah barat dari Provinsi Gallia Narbonensis yang dikuasai Romawi. Daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Visigoth atau bangsa Goth dengan raja mereka Theodoric II. Wilayah ini terdiri atas tujuh kota dengan Narbonne sebagai ibu kotanya. Belakangan, tentara Muslim dari Bani Umayyah berhasil menguasai wilayah Narbone hingga mencapai Kota Toulouse. Akhirnya, pasukan Muslim pun berhasil menguasai wilayah Septimania secara keseluruhan. Narbone pun dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan pusat kekuatan militer. 

Prancis Ingin Memahami Cara Muslim Beribadah
Rep: Rizki Suryandika/ Red: Agung Sasongko
Muslim Prancis
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pemimpin komunitas Muslim dan politikus Prancis menemui Menteri Dalam Negeri Bernard Cazeneuve. Dalam pertemuan itu dibicarakan masa depan Islam dan isu larangan burkini. elarangan penggunaan burkini.

Aturan yang kontroversial itu melarang Muslimah mengenakan pakaian renang tertutup untuk berenang. Alasannya, pakaian tersebut dinilai tidak higienis. Guna menurunkan tensi ketegangan, Cazeneuve mengatakan ingin menjalin hubungan lebih baik dengan muslim.
             "Perjuangan melawan Islam radikal seharusnya bukan melawan muslim di Prancis yang mana mereka ingin menjalankan agama secara terhormat dan damai," katanya seperti dilansir dari Aljazeera, Selasa (30/8). Pertemuan antara Cazeneuve dan pemimpin Muslim menghasilkan kesepakatan  agar menjembatani perbedaan agama dan budaya di Prancis. Kesepakatan itu meliputi berintegrasi dengan umat Muslim, membangun Masjid, dan menjalin relasi dengan Imam. "Prancis ingin mencoba memahami bagaimana Muslim  beribadah di negara ini," ujarnya.

PESATNYA PERKEMBANGAN ISLAM DI PRANCIS

PARIS – Perkembangan Islam di Prancis umumnya di Paris memang berjalan cukup baik. Hal itu bisa dilihat dari gairah masyarakat muslim Paris memadati Masjid Agung Paris, yakni Grande Mosquee de Paris ketika melakukan salat Jumat.
Seperti dalam laporan langsung Hadi Gunawan dari Paris, Grande Mosquee de Paris yang mampu menampung 300 jemaah itu sangat sesak. Situasi serupa pun diyakini akan dijumpai pada sejumlah masjid-masjid yang menyebar seantero Paris.
             Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir sudah terdapat sekira 2.400 masjid yang telah dibangun di kota yang dikenal dengan Menara Eiffel-nya itu. Melihat jumlahnya tersebut, bisa katakan cukup banyak untuk ukuran negara dengan yang mayoritas menganut sekuler, alias tidak terlalu percaya akan adanya Tuhan.  Seperti diketahui, Prancis sendiri saat ini sedang menggelar pesta sepakbola terbesar di Eropa, yakni Piala Eropa 2016. Yang mana perhelatannya sendiri berbarengan dengan bulan suci umat muslim, Ramadhan
Sumber: Okezone

Kuburan Islam Tertua di Eropa Ditemukan di Prancis 

Jum'at, 26 Februari 2016 | 06:05 WIB
Ilustrasi Makam Kuno. (marclamonthill) 
TEMPO.COParis - Ahli arkeologi di selatan Prancis mengidentifikasi tiga pemakaman Islam tertua yang ditemukan di Eropa, pada awal abad kedelapan. 
Tim peneliti tersebut menggunakan DNA, penanggalan radiokarbon dan analisis arkeologi dalam menganalisa kerangka yang rincian penemuannya dimuat dalam jurnal Plos One. Seperti yang dilansir LA Times pada 25 Februari 2016, rangka yang terdapat di pinggiran kota Romawi kuno Nimes itu ditemukan menghadap Mekah dan analisis genetik menunjukkan mereka keturunan dari muslim Afrika Utara, Pyrenees.

Cara lubang pemakaman digali, dengan niche lateral yang tertutup oleh lempeng atau batu juga sesuai dengan praktik penguburan Islam tradisional.

Analisis kerangka mengungkapkan bahwa dua dari tiga jenazah dari tentara laki-laki berada di akhir usia dua puluhan atau awal tiga puluhan, sementara yang lain adalah sekitar 50 tahun.
Selain itu, tes radiokarbon menunjukkan tulang itu kemungkinan dari abad ketujuh sampai kesembilan, menunjukkan datang dari penyebaran Islam di Eropa pada periode itu.  "Kami percaya mereka faksi Berbers yang menyertai tentara Arab ketika perkembangan pesat melalui Afrika Utara," kata penelitian itu.  Penemuan itu menambah dimensi baru dalam ilmu sejarah dan data arkeologi.  "Kami tahu umat Islam datang ke Eropa pada abad kedelapan tetapi tidak memiliki bukti material sampai sekarang," kata ahli antropologi dengan Institut Nasional Perancis untuk Penelitian Pencegahan Arkeologi, Yves Gleize.

                Para peneliti juga mengatakan bahwa pemakaman muslim tradisional dari tiga jenazah tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa jenis komunitas muslim di daerah tersebut pada saat itu, yang anggotanya bisa mengubur mereka dengan cara tertentu. Selain itu, makam itu berada di antara kuburan lain yang berisi mereka yang menganut agama kristen. Itu pertanda bahwa saat itu umat islam tidak dikucilkan dari masyarakat setempat
Pemerintah Prancis: Ada 4000 Muallaf Setiap Tahun

PRANCIS, muslimdaily.co – Sensus resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah Prancis melalui Departemen Dalam Negeri melaporkan bahwa Islam merupakan agama yang paling disukai. Sensus itu menyebutkan rata-rata 4000 warga Prancis memeluk Islam setiap tahunnya. Demikian situs Al-Alukah melaporkan pada Senin (22/10/13).
Para pakar agama di Prancis mengumumkan bahwa sampai saat ini sekitar 70 ribu warga Prancis telah meninggalkan agama lama dan berpindah memeluk Islam.
Berdasar sensus resmi Departemen Dalam Negeri Prancis, agama Katholik menempati urutan kedua dengan rata-rata 2900 pemeluk baru setiap tahunnya. Urutan ketiga ditempati oleh agama Yahudi dengan rata-rata 300 pemeluk baru setiap tahunnya.
Para sosiolog Prancis menjelaskan bahwa pada 15 sampai 20 tahun lalu, faktor utama masyarakat Prancis memeluk Islam adalah kekosongan rohani. Kini kondisi sosial dianggap sebagai faktor terbesar yang mendorong ribuan warga Prancis memeluk Islam.
Populasi Muslim di Prancis semakin berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini, Kementerian Dalam Negeri setempat memperkirakan terdapat lima juta penduduk Muslim di Prancis. Jumlah itu merupakan populasi Muslim terbesar yang ada di negara Eropa.
Meski Prancis merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di benua Eropa, namun kaum muslimin di Prancis mengalami banyak tekanan, intimidasi dan seranga rasis, khusunya oleh kelompok ekstrim kanan yang saat ini berkembang pesat di benua Eropa.
Berdasar laporan Lembaga Nasional Pengawas Gerakan Anti-Islam Prancis, selama 2011 jumlah serangan rasis kelompok ekstrim kanan terhadap umat Islam Prancis meningkat 34 persen dibandingkan periode 2010.
Hasil sensus pemerintah Prancis linier dengan sebuah studi yang pernah disampaikan pada awal tahun 2012 yang pernah dilaporkan surat kabar London medio Januari 2012.
Menurut penelitian kelompok think tank antar-agama Faith Matter Januari 2012 silam, angka (mualaf) sebenarnya bisa mencapai 100.000 orang, dengan sebanyak 5000 mualaf baru setiap tahunnya. Perkiraan sebelumnya menyebutkan jumlah mualaf di Inggris antara angka 14.000 dan 25.000.
Ditanya mengapa orang-orang bisa menjadi mualaf dalam jumlah besar seperti itu, direktur Faith Matter ini menjawab, “Saya pikir pasti ada hubungan antara meningkatnya konversi agama ini dan keunggulan Islam dalam domain publik. Orang-orang tertarik untuk mengetahui apa-apa tentang Islam, dan ketika mereka sedang mencari tahu mereka kemudian pergi ke arah yang berbeda”

INILAHCOM, Jakarta- Pada tahun 91-94 H, umat Islam melalui panglima perang mereka Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan Andalusia.1Kekuasaan tersebut sampai di daerah Asturies di Propinsi Galicia hingga ke Teluk Biscay, pantai Prancis.
Walaupun secara de facto kekuasaan umat Islam belumlah sampai pada daerah-daerah pedesaan dari wilayah yang telah dikuasai. Hal itu dikarenakan medannya yang sulit dan cuaca yang begitu dingin.
Wilayah Prancis
Dahulu, Prancis adalah sebuah wilayah yang terdiri dari 27 kerajaan kecil. Orang-orang mengenal mereka yang tinggal di daerah tersebut dengan sebutan orang-orang Gaul atau Gallia. Wilayah ini terdiri dari 5 kawasan:
Pertama: wilayah Septimania adalah wilayah Barat dari propinsi Romawi, Gallia Narbonensis. Daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Visigoth atau bangsa Goth dengan raja mereka Theodoric II. Wilayah ini terdiri dari tujuh kota dengan Narbonne sebagai ibu kotanya.
Kedua: wilayah Aquitaine terletak di barat daya Prancis sekarang, di sepanjang Samudera Atlantik dan Pegunungan Pyerenees yang merupakan pagar batas wilayah Spanyol. Bordeaux adalah ibu kotanya.
Ketiga: wilayah Aix-en-Provence letaknya 30 Km Utara Marseille dan Kota Avignon adalah ibu kotanya.
Keempat: wilayah Burgundi terletak di wilayah timur Prancis.
Kelima: wilayah utara Sungai Loire, sungai terpanjang di Prancis.
Muslim Pertama di Prancis
Setelah mengetahui bahwasanya Prancis di masa dahulu dan Eropa secara umum terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan saling berperang, maka tidak heran kedatangan umat Islam pun menimbulkan reaksi yang keras dari mereka.
Umat Islam pertama yang mengadakan kontak senjata dengan orang-orang Gaul atau Gallia adalah pasukan as-Samah bin Malik al-Khaulani pada tahun 100-102 H. Saat itu, umat Islam berhasil mengusai wilayah Narbone hingga mencapai kota Toulouse. Hingga akhirnya ia berhasil menguasai wilayah Septimania secara keseluruhan. Dan berdirilah pemerintahan Islam di wilayah tersebut.
Setelah itu, ia menjadikan Narbone sebagai pusat pemerintahan dan pusat kekuatan militer untuk menghadapi serangan orang-orang Gallia yang lain. Dalam penyerangan terhadap wilayah Aquitaine, as-Samah dan sejumlah besar pasukannya gugur di wilayah dekat Toulouse. Peristiwa ini terjadi pada pada hari Arafah tahun 102 H (Tarikh al-Ulama wa ar-Ruwwat oleh Ibnu al-Fardhi, 1:230).
Apa yang telah dilakukan oleh as-Samah diteruskan oleh Anbasah bin Sahim al-Kalbi pada tahun 107-110 H. Anbasah berkuasa pada tahun 103 H, dan ia merupakan orang yang sama dengan as-Saham dalam keshalehan dan kekuatan. Selama empat tahun awal pemerintahannya, Anbasah sibuk mengatur tata negaranya, mengadakan pembangunan dan persiapan di bidang militer untuk berhadapan dengan orang-orang (Frank) Eropa.
Anbasah berhasil membawa pasukannya menyeberangi Pegunungan Pyerenees, menguasai tujuh kota di Septimania dan menaklukkan wilayah Aix-en-Provence hingga sampai di Kota Lyon. Setelah itu ia mengakspansi daerah-daerah berikutnya hingga pasukannya menerobos 70 Km bagian selatan Kota Paris. Keberhasilan ini adalah jarak terjauh yang dicapai oeh kaum muslimin. Belum pernah ada dari kalangan umat Islam yang melakukan apa yang Anbasah lakukan. Saat hendak kembali, ia diserang oleh pasukan besar bangsa Frank, hingga ia pun gugur dalam pertempuran tersebut. Peristiwa itu terjadi pada tahun 107.
Setelah Anbasah wafat, Adzrah bin Abdullah al-Fahri menggantikannya. Ia membawa kaum muslimin kembali menuju Narbonne dan memerintah di sana hingga bulan Rabiul Awal tahun 110 H (Maalim Tarikh al-Maghrib wa al-Andalus oleh Husein Munis, Hal: 254).
Pencapaian Anbasah ini begitu berpengaruh di hati bangsa Frank. Seluruh dataran Eropa mulai merasakan kewibawaan umat Islam. Mereka pun serius mempersiapkan diri, menggalang kekuatan menghadapi umat Islam. Kekuatan militer mereka perkokoh. Kerja sama antara mereka pun ditingkatkan untuk menghadapi umat Islam.
Abdurrahman al-Ghafiqi
Setelah berlalu tujuh pemimpin yang memerintah Andalus (725-730 H atau 107-112 M), mulailah terjadi terjadi ketidakstabilan dan perselisihan antara umat Islam di sana. Lalu pada bulan Shafar 112 H, diangkatlah Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi sebagai gubernur Andalus. Ini adalah untuk kedua kalinya ia memimpin Andalusia. Ia adalah pimpinan Andalusia yang terkenal paling berpengaruh, adil, shaleh, dan cakap.
Pada awal kepemimpinannya yang kedua ini, selama hamper satu tahun ia sibuk memperbaiki permasalahan dalam negeri. Setelah itu, barulah ia mengumandangkan jihad melawan orang-orang Frank
Pada awal tahun 114 H/732 M, Abdurrahman al-Ghafiqi memimpin pasukannya menyusuri jalur selatan, melewati Pegunungan Albert dari jalur Pamplona menuju Aquitaine yang merupakan wilayah terluas Ghalia atau Prancis di waktu itu. Lalu al-Ghafiqi dan pasukannya berhasil masuk ke Kota Bordeaux. Kemudian melewati Sungai Loire dan mengusai dua kota di sana, Poiters dan Tours. Mereka pun melanjutkan ekspansi hingga ke Paris. Sampai akhirnya, al-Gahfiqi dikejutkan dengan pasukan Frank dalam jumlah besar yang dipimpin oleh Charles Martin. Terjadilah perang besar yang dikenal dengan Perang Balath Syuhada.
Perang Balath Syuhada
Balath adalah sebuah daerah 20 Km di selatan Poiters, melewati jalan-jalan Tours Utara, dan dekat dengan wilayah Rumania. Pada akhir bulan Syaban 114 H bertepatan dengan Oktober 732 M, terjadilah sebuah pertempuran besar di wilayah tersebut. Sebuah peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dan orang-orang Frank. Orang-orang Barat mengenal perang ini dengan The Batle of Tours atau yang kemudian dikenal dengan Moussais-la-Bataille.
Di antara indikator yang menunjukkan besarnya perang ini adalah perang terjadi selama 8 hari. Padahal ini adalah perang terbuka, bukan gerilya. Dan ini adalah perang kolosal, bukan perang modern yang bisa berlangsung dengan jarak jauh. Balath Syuhada adalah perang dimana pedang-pedang saling bertemu, panah dan tombak berterbangan menghujam sasarannya. Saat itu, kesabaran umat Islam benar-benar diuji. Demikian juga Niat jihad dan mental mereka. Orang-orang Frank dan Nasrani dari Jerman, Hungaria, dan Rumania bersatu menghadapi Abdurrahman al-Ghafiqi dan pasukannya.
Peperangan ini berakhir dengan kekalahan kaum muslimin dan Abdurrahman al-Gahfiqi gugur dalam peperangan ini, dihujam oleh anak panah. Karena anyaknya umat Islam yang gugur dalam perang ini, maka ia dinamakan Balath Syuhada. Pada malam hari, saat perang berhenti, kaum muslimin kembali ke daerah mereka di Septimania.
Perang ini adalah perang terbesar antara umat Islam dan Nasrani Eropa, bahkan ada yang mengatakan antara dunia Timur dan Barat. Kekhalahan yang diderita umat Islam di Balath menjadi penyebab perkembangan Islam di Eropa terhambat. Salah seorang orientalis, Henry de Syambon, menyatakan kekalahan umat Islam di Balath membuat orang-orang Eropa terlambat mengenal peradaban. beda halnya dengan Andalusia. Dan juga kekalahan di Balath Syuhada juga menjadi faktor terbesar yang meruntuhkan Andalusia di kemudian hari. Oleh karena itu, ekspansi yang dilakukan umat Islam di zaman dahulu bukanlah sebuah ambisi memperluas daerah atau menambah perbendaharaan harta. Namun hal itu dikarenakan tindakan provokatif yang dilakukan oleh orang-orang non muslim, ekspansi Islam juga ditujukan untuk mempertahankan wilayah Islam dari ancaman dan serangan orang-orang non muslim.
Menurut Ali bin Thahir as-Sulami (1036-1106 M), seorang ulama Syafiiyah yang hidup tatkala terjadinya Perang Salib, "Setiap tahun bagi seorang pemimpin muslim harus mengadakan ekspedisi ke luar dari kawasan negerinya, bukan untuk keserakahan atau mencari harta rampasan perang dari musuh, tetapi bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan wilayah-wilayah Islam dari ancaman dan agresi militer non muslim. Cara demikian selain memiliki dampak psikologis untuk membuat para musuh Islam tidak punya nyali memusuhi umat Islam, juga menciptakan kestabilan militer umat Islam." (al-Kamil fi at-Tarikh oleh Ibnul Atsir, 8:397).
Sumber:
ash-Shalabi, Ali bin Muhammad. 2007. Shalahuddin al-Ayyubi. Kairo: Dar Ibnul Jauzi.
islamstory.com
Apakah Islam Disebarkan dengan Peperangan?


Salah satu isu yang diangkat oleh orang-orang yang phobia terhadap Islam adalah Islam berhasil menjadi agama besar di dunia ini karena ekspansi pedang-pedang mereka ke wilayah-wilayah non-muslim. Mereka mencantumkan peristiwa-peristiwa penaklukkan  dan peperangan Islam untuk menguatkan opini tersebut. Akibatnya banyak orang-orang non-muslim menjadi antipati dengan agama yang menebarkan kedamaian ini dan umat Islam yang lemah iman dan minus perbekalan ilmiahnya merasa malu dan menyesali rekam jejak sejarah agamanya sendiri. Benarkah Islam tersebar dengan pedang? Alangkah baiknya kita kaji permasalahan ini, agar kita bisa memutuskan benar atau tidak tuduhan tersebut.
Tidak Ada Paksaan Untuk Memeluk Islam
Sebelum kita beranjak ke data-data historis tentang peperangan di dalam Islam, ada sebuah kaidah yang perlu dipahami bahwa umat Islam dilarang memaksa, mengancam, dan memberikan tekanan suatu kelompok atau individu tertentu agar mereka memeluk Islam. Allah Ta’ala berfirman,
 “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang sebab diturunkannya ayat ini, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan salah seoarang Anshar (sahabat Nabi dari Madinah) dari Bani Salim bin Auf. Al-Hushaini mengatakan, ‘Sahabat ini memiliki dua orang anak laki-laki yang beragama Nasrani dan dia seorang muslim. Lalu ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku memaksa keduanya karena mereka menolak agama kecuali agama Nasrani. Allah pun menurunkan ayat ini’.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Jadi, tidak diperkenankan seorang muslim memaksa seseorang atau kelompok tertentu untuk memeluk Islam walaupun orang atau kelompok tersebut di bawah kekuasaannya. Kalau ternyata penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan oleh umat Islam memeluk agama Islam, itu bukan dikarenakan paksaan atau tekanan dari pihak muslim yang berkuasa, akan tetapi dikarenakan kedamaian yang mereka temukan dalam ajaran Islam. Contohnya nyatanya adalah tentang keislaman Tsumamah bin Utsal.
Penyebab Peperangan
Ketika berbicara sejarah, maka prinsip yang wajib dipegang oleh seseorang adalah peristiwa-peristiwa sejarah ditafsirkan dengan norma, kebiasaan, atau sebab-sebab yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. Seseorang terjebak dalam kekeliruan yang fatal ketika dia mengintepretasi peristiwa sejarah dengan membandingkannya dengan norma, kebiasaan, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman ia hidup.
Berikut ini, penulis cuplikkan penyebab terjadinya perang dalam sejarah Islam:
– Perang di Masa Rasulullah
Perang di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi dalam rentang 10 tahun masa Madinah. Selama itu terjadi kurang lebih 25 atau 27 peperangan. Jamak diketahui, pemicu peperangan melawan bangsa Quraisy adalah provokasi orang-orang Quraisy terhadap umat Islam bahkan sebelum beliau hijrah ke Madinah kafir Quraisy telah menunjukkan permusuhan mereka.
Adapun penyebab peperangan dengan orang-orang non-Quraisy seperti Perang Mu’tah  dan Tabuk yaitu:
Perang Mu’tah disebabkan oleh dibunuhnya utusan Rasululluah yang bernama al-Harits bin Amir al-Azdi oleh orang Ghassan yang beranama Syarahbil bin Amr. Dalam tradisi klasik, bagaimanapun besarnya permusuhan antara dua negara, jaminan keselamatan terhadap utusan tetap harus dihormati. Pembunuhan terhadap utusan adalah sebuah tindakan culas yang sangat keterlaluan. Karena hal inilah terjadi Perang Mu’tah.
Perang lainnya adalah Perang Tabuk. Perang Tabuk disebabkan orang-orang Romawi menghimpun pasukan yang besar di Syam untuk menyerang negara Islam. Rasulullah memerintahkan pasukannya untuk menghadang orang-orang Romawi ini sebelum mereka memasuki wilayah-wilayah umat Islam.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa umat Islam tidak melakukan provokasi terlebih dahulu, akan tetapi musuh-musuh Islam lah yang pertama kali menabuh gendang peperangan.
– Masa Khulafaur Rasyidin
Para Khulafaur juga menanamkan kepada kaum muslimin bahwa peperangan pun ada norma-normanya. Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan kepada pasukan Islam, “…Jangan melakukan penghiantan dan melenceng dari kebenaran; jangan memutilasi jasad musuh; jangan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua; jangan menebang, merusak, dan membakar pepohonan, terutama yang sedang berbuah; jangan membunuh hewan ternak musuh; dan kalian akan melewati orang-orang monastik, jangan kalian ganggu mereka.” (Islamic Ruling on Warfare, Hal: 22).
Di zaman itu, aturan ini sesuatu yang unik. Mengapa dikatakan unik? Karena berabad-abad tradisi perang bangsa-bangsa yang ada pada saat itu (Persia dan Romawi), mereka tidak pernah memikirkan norma peperangan yang demikian. Mereka mengartikan perang adalah membunuh, menaklukkan, dan menguasai, adapun umat Islam memiliki perspektif yang berbeda dengan bangsa Romawi dan Persia dalam peperangan mereka.
Cara memandang peperangan yang berbeda antara umat Islam dan umat-umat lainnya berdampak pada saat umat Islam memasuki basis-basis Persia dan Romawi. Saat umat Islam sampai di wilayah  Persia dan Romawi, umat Islam berhasil menarik simpati penduduk-penduduknya. Romawi kehilangan basis besar Nasrani tatkala pasukan Islam memasuki Syria dan Mesir. Orang-orang Syria dan Mesir berbondong-bondong memeluk agama Islam saat cahaya hidayah sampai ke wilayah tersebut. Sedangkan Persia lebih buruk lagi keadaannya, mereka bahkan kehilangan eksistensi di Irak tatkala negeri itu ditaklukkan oleh umat Islam. Luar biasanya, penduduk ini tidak dipaksa sama sekali untuk memeluk agama Islam.
Hal ini juga diterapkan oleh Umar bin Khattab tatkala menaklukkan Jerusalem.
Lihatlah apa yang terjadi pada hari ini, wilayah-wilayah Bizantium Romawi dan Persia dahulu, mayoritas penduduknya sekarang adalah muslim: Kristen di Mesir hanya (9%) dari jumlah penduduk, di Syria (10%), Irak (3%), dan Libanon (39%). Apabila penaklukkan yang dilakukan oleh umat Islam disertai dengan pemaksaan tentu saja komunitas muslim di sana tidak akan bertahan lama. Ini membuktikan Islam tidak disebarkan dengan pedang.
– Afrika Utara
Ketika umat Islam berhasil mengambil alih kekuasaan Bizantium Romawi di wilayah Afrika Utara, Islam pun semakin tersebar luas dan semakin banyak mendapat sambutan dari masyarakat dunia. Saat itulah bangsawan-bangsawan Eropa yang dimotori oleh Raja Julian meminta umat Islam agar menaklukkan penguasa zalim yang menguasai Andalusia, Raja Roderick. Mengapa Julian yang bukan seorang muslim meminta tolong kepada umat Islam? Karena mereka tahu, kalau umat Islam yang berkuasa, maka kedamaian dan keadilan akan tercipta.
– Penaklukkan India
Sebagaimana telah kita ketahui, negara dengan populasi Islam terbesar di dunia adalah negara kita, Indonesia. Lalu, tahukah Anda negara mana lagi yang memiliki populasi Islam terbesar? Jawabnya adalah Pakistan, kemudian India, dan Bangladesh di tempat ke-4.
Bani Umayyah berjasa besar terhadap masuknya Islam di tanah Hindustan ini. Melalui panglima mereka Muhammad bin Qashim ats-Tsaqafi, negeri yang dihuni oleh para penyembah berhala ini mengenal kemulian Islam, kemulian menyembah al-Khaliq bukan menyembah makhluk.
Pemicu ekspansi ini adalah kapal-kapal pedagang muslim yang biasa melakukan perniagaan dengan orang-orang Sri Lanka dibajak oleh sekelompok bajak laut dari wilayah Sindh (Pakistan sekarang). Para perompak ini menawan dan menjadikan para muslimah yang tertangkap sebagai budak. Untuk membebaskan saudara-saudara muslim ini diutuslah Muhammad bin Qashim bersama pasukannya. Muhammad bin Qashim pun berhasil menaklukkan para perompak tersebut.
Peristiwa ini menjadi isu yang panas di India, namun inilah titik baliknya. Orang-orang Hindu yang mengenal kasta dan orang-orang Budha yang tertindas oleh bangsawan Hindu melihat sebuah agama baru, agama yang menawarkan persamaan, dan kemuliaan diukur dengan ketakwaan bukan nasab dan golongan. Akhirnya orang-orang India pun berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Perbandingan Perang Islam dengan Non Islam
Setelah dijelaskan tentang penyebab peperangan yang terjadi antara umat Islam dan non Islam, sekarang kita lihat dampak dari perang dilihat dari sisi korban yang berjatuhan.
Lihatlah 10 tahun peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaih sallam, korban yang gugur kurang lebih sejumlah 262 orang dari pihak umat Islam dan 1022 jiwa dari pihak musuh. Jadi total korban peperangan dari kedua belah pihak yang terjadi dalam rentang waktu 10 tahun tersebut adalah 1284 jiwa.
Raghib as-Sirjani mencoba menghitung jumlah keseluruhan pasukan selama peperangan yang terjadi di masa Rasulullah lalu ia prosentasekan dengan jumlah korbannya. Hasilnya adalah sebagai berikut:
– Prosentase umat Islam yang syahid di medan peperangan dibandingkan dengan jumlah seluruh pasukan Islam hanya 1% saja.
– Prosentase orang-orang musyrikin dibandingkan dengan jumlah seluruh pasukan mereka adalah 2%.
– Prosentase secara keseluruhan dari kedua belah pihak hanya 1,5% saja.
Bandingkanlah dengan prosentase korban yang tewas pada Perang Dunia II. Jumlah pasukan yang turut serta dalam perang dahsyat ini berjumlah 15.600.000 pasukan, jumlah orang yang tewas adalah 54.800.000 jiwa, artinya 351% dari jumlah pasukan. Mengapa bisa demikian? Karena peperangan ini juga memakan korban sipil yang sangat banyak, dan hal ini tidak pernah terjadi di masa Islam.
Belum lagi jika kita bandingkan dengan ekspansi bangsa Eropa terutama Portugal dan Spanyol. Mereka membawa misi gold, gospel, dan glory; mereka menguras sumber daya, menguasai, dan mencari kejayaan dari ekspansi tersebut. Terbukti dengan punahnya Suku Indian Maya akibat ekspansi mereka ke benua Amerika. Penjajahan Belanda di Indonesia yang mengeruk sumber daya alam di Indonesia dan mejadikan masyarakatnya rakyat kelas bawah, dll.
Kesimpulan
Apakah Anda masih percaya Islam disebarkan dengan pedang? Apakah umat Islam yang masih merasa malu dan minder terhadap sejarah mereka?
Islam memiliki alasan perang yang jelas, dan perang dalam sudut pandang Islam tidak diartikan melulu sebagai pembunuhan, pembantaian, dan penguasaan wilayah.
Sumber:
– Enein, Youssef H Aboul., Sherifa Zuhur. 2004. Islamic Ruling on Warfare. The Strategic Studies Institute.– Tafsir Ibnu Katsir– islamstory.com dll.
Oleh Nurfitri Hadi Artikel www.KisahMuslim.com

Pahlawan Islam–Abdurrahman al-Ghafiqi, Pahlawan Perang di Balath Syuhada

 Seorang sastrawan Inggris, Southy, menuliskan tentang pasukan Islam yang menyerbu daratan Eropa setelah menguasai Andlusia, dia berkata:
“Banyaknya pasukan tidak terhitung jumlahnya, ada yang dari suku Arab Barbar, Romawi, Persia, Qibti, Tartar,… semua berkumpul di bawah satu panji, disatukan oleh panglima yang agung. Kekuatannya tangguh, semangatnya bergelora seperti api dan rasa persaudaraannya begitu mengagumkan, tak membeda-bedakan sesama manusia.
              Dalam jiwa Pemimpin dan yang dipimpin tertanam tekad yang bulat untuk berjuang. Mereka optimis akan kekuatannya yang tak terkalahkan, dan yakin bahwa pasukannya tak akan menemui kesulitan. Optimis, bahwa setiap langkah akan diikuti oleh kemenangan. Mereka terus maju dan maju hingga dunia Barat takluk pada dunia Timur, tertunduk menghormati nama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
            Orang-orang dari kutub yang penuh dengan pegunungan es yang dingin membeku datang jauh-jauh untuk melaksanakan haji. Melintasi Sahara dengan kaki telanjang dengan penuh iman, berjalan di gurun pasir yang panas di Arab, berdiri di atas terjalnya bebatuan di Mekah.”
Memang, apa yang Anda katakan tak jauh dari kenyataan. Hayalanmu pun tidak pula meleset. Prajurit yang dipimpin oleh para mujahidin itu memang ingin membebaskan nenek moyang Anda dari kegelapan jahiliyah, seperti yang Anda sebutkan.
Ikut serta dalam pasukan tersebut orang-orang Arab yang perkasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membangkitkan mereka dan membimbingnya untuk mendatangi kalian dari Syam, Hijaz, Nejd, Yaman dan pelosok-pelosok Jazirah Arab, menggulung segala sesuatu laksana badai. Mereka disertai pula oleh orang-orang Barbar yang bangga akan keislamannya, yang turun dari pegunungan Atlas, menyapu bagaikan air bah. Juga orang-orang Persia, yang telah terlepas dari belenggu paganisme kaisar-kaisarnya dan masuk ke dalam agama tauhid, jalan yang lurus. Tak ketinggalan pula orang-orang Romawi, pembelot menurutmu, memang mereka membelot dari kezaliman dan kegelapan menuju cahaya terangnya langit dan bumi dan menerima hidayah menuju agama yang suci. Kemduian orang-orang Qibti, yang bebas dari perbudakan dan belenggu yang mencekik leher, beralih kepada kehidupan yang bebas merdeka di bawah panji Islam, kembali suci seperti saat dilahirkan ibunya.
Tepat sekali, memang pasukan pimpinan Abdurrahman al-Ghafiqi maupun para penghulunya daang untuk melepaskan nenek moyang kalian dari belenggu jahiliyah. Di antara mereka ada yang berkulit putih, hitam, Arab, dan Ajam (non Arab). Tapi mereka bersatu dalam Islam. Nikmat Allah menjadikan mereka bersaudara. Semangat mereka seperti yang engkau sebutkan adalah memasukkan orang-orang Eropa ke dalam agama Allah sebagaimana orang-orang di belahan bumi bagian Timur dan Afrika. Sehingga umat manusia seluruhnya tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pencipta alam semesta.
Dengannya cahaya Islam akan menyinari dataran dan lembah kalian, mataharinya memancar di setiap rumah kalian dan keadilan tegak di antara rakyat dan penguasa kalian. Mereka bertekad mengorbankan nyawa mereka yang berharga untuk membimbing kalian ke jalan Allah dan menyelamatkan kalian dari api neraka.
Sekarang, marilah kita ikuti akhir perjalanan pasukan Islam dan panglimanya yang agung, Abdurrahman al-Ghafiqi.
Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus’ah dan nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.
Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti Loderik, raja Andaluisia dahulu.
Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol Utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Prancis Selatan dari pegunungan Pyrenees laksana air bah. Prajuritnya mencapai 100.000 orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.
Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata setelah gubernur as-Samah bin Malik al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.
Kedatangan Abdurrahman al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadap. Perang besar tak terelakkan lagi.
Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan akhirnya memporak-porandakan barisan musuh. Pertempuran terus merambat ke dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.

Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia masih menyimpan potensi bersiap-siap menyongsong pertempuran selanjutnya, sebab dia sadar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang.
Bersama pasukannya, Abdurrahman al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenanganan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan kavalerinya, seperti daun-daun yang berugugran diterpa angin. Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali inipun kaum muslimin mampu mengatasinya. Mereka menghajar dan meluluhlantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan para prajuritnya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.
Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan-peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan muslimin seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mendahului mereka.
Banyak sekali harta ghanimah yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah dengan jatuhnya Bordeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting Prancis lainnya, seperti Lyon, Besancon, dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus mil saja dari Paris.
Dunia Eropa tersentak mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman. al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Mata dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang menghadap di hadapan mereka.
Anjuran partisipasi menggaung di seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan partisipasinya untuk membendung arus Timur yang deras itu. Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri, dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komando Karel Martel.
Dalam waktu yang bersamaan prajurit Islam telah tiba di Tours, kota Prancis yang padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya.
Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya’ban 104 H Abdurrahman al-Ghafiqi bersama pasukannya yang perkasa memasuki kota Poitiers. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama, “Balath Syuhada,” karena banyaknya prajurit Islam yang syahid.
Ketika itu pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung mereka terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan hati sedih dan khawatir. Beliau mengkhawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kpeada harta benda itu? Di saat-saat yang menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta ghanimah.
Ingin sekali Abdurrahman menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi dia sangsi apakah mereka bisa menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang berkobar.
Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman al-Ghafiqi melihat bahwa semangat pasukannya mulai menyala. Seperti kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman al-Ghafiqi mulai menerobos pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya mereka tak akan berhenti bertempur.
Memasuki hari kedua, pertempuran kembali berkobar. Prajurit-prajurit Islam menyerang dengan gagah berani dan tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergoyahkan.
Perang berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menang pun mulai terbayang. Laksana semburat cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama, sekelompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta ghanimah dan menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan Islam mulai goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke belakang untuk menyelamatkan harta ghanimah tersebut hingga merusak pertahanan barisan depan.
Dengan gigih Panglima besar Abdurrahman al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang lemah. Dia bergerak cepat kesana-kemari dengan kudanya yang perkasa. Di saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari kuda seperti seekor elang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka terwujudlah syahid di medan perang yang didambakannya.
Akan halnya dengan pasukan Islam, melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh kian bersemangat merangsek ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan keganasan mereka selain malam yang mulai merayap.
Pagi harinya Karel Martel mendapati pasukan Islam sudah mundur dari medan perang Pioitiers. Namun dia tak berani mengejar. Padahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan berhasil menghancurkan kaum muslimin. Dia mengira bahwa gerak mundur pasukan Islam adalah disengaja untuk memancing mereka keluar medan terbuka. Ia mengira itu merupakan strategi baru muslimin yang direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel Martel memilih untuk tetap di tempat dan merasa cukup dengan membendung kekuatan yang membahayakan itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.
Balath Syuhada menjadi peristiwa monumental dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin besar dan pahlawan yang tangguh bernama Abdurrahman al-Ghafiqi. Peristiwa itu laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan.
Begitulah, semuanya telah menjadi sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya, tak ada yang kuasa merubah ataupun menggantinya.
Kabar kekalahan di Balath Syuhada menjadi tamparan yang menggoncangkan kaum muslimin di segenap pelosok. Duka dan pilu melanda setiap desa dan kota, memasuki setiap rumah Islam. Luka itu hingga kini masih terasa pedihnya, dan akan tetap diingat selagi masih ada seorang muslim yang ada di permukaan bumi ini. Tapi, jangan Anda sangka tragedi itu hanya menyedihkan kaum muslimin saja. Orang-orang Barat yang berakal sehat pun merasakan demikian. Bagi mereka, kemenangan nenek moyang mereka atas kaum muslimin di Poititers merupakan musibah besar bagi umat manusia, khususnya merugikan Eropa dalam mencapai kemajuan.
Sebagai bukti dari pendapat golongan ini, marilah kita simak komentar tentang kekalahan kaum muslimin di Balath Syuhada, oleh pemimpin redaksi majalah “Review Parlementer” yaitu Henry de Syambon, “Kalau saja bukan karena kemenangan pasukan Karel Martel atas pasukan Islam di Prancis, tentu negeri kita tidak perlu tenggelam dalam kegelapan kebodohan pada abad pertengahan. Tidak akan seburuk itu. Dan kita juga tidak perlu mengalami pembantaian besar-besaran yang didasari oleh fanatisme sekte-sekte agama. Benar, seandainya tidak karena kemenangan Barat pada waktu itu, Spanyol akan bisa hidup dalam kearifan Islam yang murni, selamat dari kekejaman badan-badan intelijen dan tidak terlambat menerima arus kemajuan sampai delapan abad. Meski ada perbedaan rasa dan pandangan tentang kemenangan itu, yang jelas kita benar-benar berhutang budi pada kaum muslimin akan kemajuan ilmu, seni dan budaya luhur yang mereka bawa. Kita harus mengakui bahwa kaum muslimin adalah teladan tentang kemanusiaan yang sempurna di saat kita dahulu masih menjadi manusia Barbar yang ganas.”
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Artikel www.KisahMuslim.com

2 comments :