Islam di Indonesia

2 comments

Persentase Umat Islam di Indonesia Jadi 85 Persen'
Red: Erik Purnama Putra

Diskusi Refleksi Perjalanan Politik Kaum Muslimin di Indonesia di Jakarta, Sabtu (9/1).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi umat Islam di Indonesia menunjukkan fenomena bertolak belakang dengan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Meski kaum Muslim masih menjadi mayoritas di negeri ini, namun jumlahnya terus menurun.
Ketua Yayasan Rumah Peneleh Aji Dedi Mulawarman mengatakan, ketika pemeluk Islam secara global naik signifikan, di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia persentasenya malah menurun.  "Umat Islam (di Indonesia) dari 95 persen menjadi 85 persen, ada anomali di dalam pusat Islam di Nusantara," kata Aji dalam diskusi 'Refleksi Perjalanan Politik Kaum Muslimin di Indonesia' di Jakarta, Sabtu (9/1).

Menurut dia, umat Islam dari waktu ke waktu seolah tidak berdaya. Di bidang politik, misalnya trend suara politik umat Islam cenderung menurun. Dia menuding ada agenda liberalisme, individualisme, deislamisasi, dan depolitisasi yang membuat umat semakin tersisih.

Dia mencontohkan, ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan membesar, ada kekuatan sistematis yang menghancurkannya. Adapun, Partai Bulan Bintang (PBB) tidak memiliki struktur dan pengaderan yang masif hingga tidak bisa berkembang.
"Tahun 2024, umat Islam di Indonesia sebagai simbol umat Islam dunia akan seperti apa? Angka 24 menjadi penting dalam upaya konsolidasi umat agar tidak menjadi buih," kata Aji.

Dia meyakini, ada hadis terkait pembaharu 100 tahun, di mana umat akan bangkit pada Pemilu 2024 kalau konsolidasi dimulai sekarang. Dia menyatakan, Rasulullah lahir tahun 624, Yazid 724, Al Ma'mun 824, Sabrang Lor dan Trenggono 1524, Diponegoro 1824, dan Tjokroaminoto 1924. "Siklus 100 tahun, setiap perubahan selalu terjadi konsolidasi umat."

Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra mengatakan, harus diakui umat Islam seolah menjadi tamu di negeri sendiri. Padahal, kata dia, wakil presiden pertama RI, Moh Hatta, telah melarang orang timur asing menjadi presiden dan memiliki tanah di Indonesia. "Sebab mereka tidak ikut berjuang, karena masa penjajahan Belanda, Jepang mereka membantu," ujar Yusril. Saat ini, sambung dia, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dimiliki korporasi besar, seperti Ciputra dan Podomoro yang mereka juga menguasai perkebunan. "Ini berbeda dengan apa yang diinginkan Moh hatta, kalau tanah ini tidak boleh dimiliki timur asing," kata mantan menteri sekretaris negara tersebut.


Negara Dalam Kondisi Gawat, Amien Rais: ‘Umat Islam Harus Rapatkan Barisan’
- Jumat, 19 Juni 2015 

Islamedia –  Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) menggelar acara buka puasa bersama di kediaman Akbar Tanjung, Jalan Purnawarwan, Jakarta pada Jumat malam (19/6).
Dalam acara tersebut hadir mantan Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais menyampaikan tausiyahnya.

Dalam tausiyahnya Amien Rais berharap agar seluruh organisasi Islam di Indonesia bersatu memikirkan masa depan bangsa.
“Untuk menyetop negara kita ke arah yang lebih gawat lagi, kita harus mengoneksikan lingkaran-lingkaran seperti KAHMI, HMI, ICMI, MUI, lalu ormas-ormas dan partai bernuansa Islam. Serta teman-teman yang berkomitmen terhadap agama Allah,” Ujar Amien Rais seperti dilansir RMOL.CO.
Menurutnya, kondisi bangsa saat ini tidak menunjukkan perubahan signifikan. Karena itu, , gabungan kekuatan organisasi Islam akan mampu membaca ke arah mana masa depan politik, sosial, dan ekonomi Indonesia.
“Saya usulkan bagaimana pelan-pelan kita mulai koneksikan lingkaran-lingkaran tadi. Bang Akbar (Tanjung) dengan KAHMI-nya bisa membuat peta yang cukup tajam mengenai keadaan sekarang. Lalu HMI, ICMI, MUI yang juga gabungan intelektual, kita bisa duduk bersama bicara,” jelas mantan Ketua MPR ini.
Dengan menyatukan kekuatan dan merapatkan barisan, dia menambahkan, umat Islam dapat membawa perubahan terhadap bangsa Indonesia ke arah lebih baik.
“Meskipun Pak Jokowi (Joko Widodo) didukung kekuatan siluman kayak apapun, tapi kita punya kekuatan, nanti kita urai kekuatan itu. Kemudian juga bulan Ramadhan ini siapa tahu bisa jadi momentum mengumpulkan umat Islam Indonesia. Kalau BIN (Badan Intelijen Nasional) curiga, BIN-nya kita suruh ikut,” Ungkapnya. [rmol/islamedia/YL]



Tausiyah K. H. Muhammad Arifin Ilham tentang kondisi ummat Islam saat ini
Ameera Senin, 3 Safar 1437 H / 16 November 2015 12:30
Ustadz Arifin Ilham

Arrahmah.com – Assalaamu alaikum wa rahmatullah wa barakaatuhu.
Allahu Akbar...
Kita hidup di era penuh tantangan, godaan, fitnah, kezholiman, ma’siyat sampai masa bodoh. Kaum kuffar terus memerangi bahkan setiap hari kita dapat menyaksikan saudara kita dibunuh karena mereka Muslim. Demikian pula kaum musyrikiin yang didukung oleh kaum faasiqiin dan munafiqiin yang boleh jadi mereka beragama Islam tetapi anti Syariat Allah, pobia terhadap Islam, mendukung bahkan bekerja sama hingga membuka jalan kekufuran dan kemusyrikan berkuasa.
Sementara yang mengaku muslim sendiri banyak yang terlena dengan dunia ma’siyat dan berbuat zholim pada saudaranya, plus ada Muslim yang asyik dengan dirinya, hobbynya, bersikap masa bodoh, cuek, seakan-akan tidak ada terjadi apa apa, bahkan kadang terhadap keluarganya sendiri yang jauh dari Islam. Belum lagi perpecahan umat Islam yang semakin memperparah keadaan ummat mulia ini.
Subhanallah, keadaan ini persis yang telah Rasulullah sampaikan pada 15 abad silam, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “hampir terjadi keadaan dimana ummat-ummat lain akan mengerumuni kalian bagai orang-orang rakus yang mengerumuni makanannya”. Salah seorang sahabat berkata, “Apakah karena sedikitnya kami ketika itu?” Nabi berkata: Bahkan, pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai ghutsa’ (buih kotor yang terbawa air saat banjir). Pasti Allah akan mencabut rasa segan yang ada di dalam dada-dada musuh kalian, kemudian Allah campakkan kepada kalian rasa wahn”. Kata para sahabat, “Wahai Rasulullah, apa Wahn itu? Beliau bersabda, “Cinta dunia dan takut mati” (H.R. Abu Daud no. 4297, Ahmad 5/278).
Lantas bagaimana sikap kita, sahabatku?!
Semakin takutlah kepada Allah. Tetapkan diri dalam Istiqomah. Bangunlah sholat malam, selalu berjamaah di mesjid, Hidupkan hati selalu berzikir, selalu jaga wudhu, hidupkan sunnah Rasulullah, jaga, bimbing, selamatkan keluarga. Bergabunglah dengan para sahabat yang shaleh.
Dengar nasehat dan berguru pada ulama istiqomah, hadirilah majlis ilmu dan zikir, maksimalkan perhatian, pikiran, harta dan doa terhadap keadaan ummat terutama saudara saudara kita yang ditindas.

Sederhanalah, jangan banyak tertawa, jaga perasaan. “How can we sleep on the blood of syuhada Palestina, Afghan, Irak, Syuria, Africa…”. Tetaplah bangga dengan Islam, teruslah berdakwah.
Kondisi kaum muslimin yang tertindas
Sungguh sikap ini memang berat, dan kadang dianggap asing, aneh, kampungan, sok alim, ekstrem bahkan dituduh teroris.
Rasulullah bersabda, “Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Karena itu, beruntunglah orang-orang yang ‘asing’.” (HR Muslim).
“Akan datang kepada manusia masa (ketika) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti memegang bara api” (HR. Tirmidzi).
Allahumma ya Allah, selamatkanlah kami, keluarga kami, negeri kami, seluruh ummat Rasulullah yang sangat kami cintai…aamiin.
*dikutip dari facebook K. H. Muhammad Arifin Ilham.

Islam Indonesia dalam Pandangan Barat
Jum'at, 19 Juni 2015 - 07:53 WIB


Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk sadar dan bergerak untuk bangkit. Barat dengan pemikirannya tidak benar-benar berubah.
tribun
Untuk mewujudkan persatuan Islam, di antara umat Islam satu dengan yang lainnya tidak perlu merasa lebih baik
SEBAGAI negara dengan iklim tropis, Indonesia yang dulu dikenal dengan Nusantara memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum Eropa yang kondisi alamnya sangat berbeda.
Secara ekonomi mereka membutuhkan natural resource yang lebih besar dan tentu dengan harsga sangat rendah. Oleh karena itu, satu alasan yang tidak banyak dikaji para ahli dalam negeri adalah alasan Belanda mati-matian menjajah Indonesia hingga 3,5 abad lamanya. Apalagi kalau bukan produk pertanian berupa rempah-rempah dan sumber daya alam.
Raghib As-Sirjani dalam bukunya Mustarak Insan menjelaskan bahwa Barat (Eropa) mendatangi negeri-negeri Muslim dengan satu alasan penting, yakni begitu besarnya khazanah dan kekayaan – khususnya minyak bumi – Dunia Islam yang merupakan sumber energi dan bahan baku terpenting yang dibutuhkan oleh industri Dunia Barat.
“Selama kebutuhan Barat terhadap sumber-sumber kekayaan Dunia Islam sebagai salah satu elemen pokok kebangkitan Eropa dan Barat masih ada – dan kian bertambah, obsesi untuk menjamin ketersediaan – dan memonopoli sumber-sumber kekayaan ini, pasti selalu ada di dalam pikiran bangsa-bangsa Barat,” demikian tegas As-Sirjani.
Namun, dengan pengalaman sejarah yang memalukan, terutama saat perang Salib, Barat sangat sistematis dalam menjalankan misi-misi terselubungnya. Istilah-istilah humanis pun menjadi cara-cara mereka dalam propaganda nilai dan pandangan hidupnya. Sementara itu, dalam waktu bersamaan, istilah-istilah penting dalam Islam digambarkan secara buruk melalui media massa. Pada akhirnya, umat Islam terbelah dalam dua kutub berseberangan, dimana fakta tersebut, sesungguhnya sangat merugikan umat Islam sendiri.
Sebagai bukti, dahulu Belanda dengan kekuatan militernya menerapkan politik tanam paksa di Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa politik tanam paksa ini diberlakukan? Ada banyak jawaban, tapi satu hal yang perlu kita sadari, Indonesia adalah negeri subur yang jika sektor pertaniannya digenjot dengan serius, bukan mustahil Belanda akan menjadi pemasok kebutuhan pangan Eropa bahkan dunia. Terbukti, dalam beberapa uraian sejarah, penerapan politik tanam paksa kala itu menyelamatkan Belanda dari defisit anggaran.
Sekarang, bangsa Indonesia mengalami krisis identitas, hingga sangat inferior. Bisa dibayangkan, sekarang hampir sulit kita menemukan anak-anak Indonesia yang bercita-cita atau bangga ingin menjadi petani. Tidak mengherankan jika produksi pertanian termarginalkan dan sampai pada beras dan kedelai pun, negeri ini memiliki ketergantungan tinggi pada impor.
Jadi, ada cara pandang yang salah dalam menentukan arah pembangunan negeri ini. Eropa memang berhasil membangun industri, tetapi mereka tetap butuh makan bukan?
Mengapa Indonesia latah ingin menjadi negara industri, sementara lahan untuk memasok kebutuhan pangan dunia tersedia begitu luasnya. Bukankah orang setiap hari lebih butuh makan dibanding butuh produk industri?
Kemudian, dari sisi sumber daya alam Indonesia sangat kaya luar biasa. Tetapi, kekayaan sumber daya alam itu belum maksimal dalam membangun negeri ini. Bahkan, alam dimana sumber daya alam itu bersemayam telah merana akibat abainya pemerintah terhadap kondisi alam. Banyak danau-danau tidak diharapkan berserakan di hampir seluas areal pertambangan. Yang lebih ironi, penduduk sekitar hanya menjadi penonton dan tidak mendapat manfaat memadai dari kekayaan alam dimana mereka tinggal di dekat lokasi. Justru mereka terancam secara kesehatan dan keseimbangan alam.
Kemudian, dari sisi pemikiran umat Islam diserang dengan liberalisasi pemikiran Islam. Barat menitikberatkan pada adanya kebebasan individu secara tidak terbatas, terutama pada bidang politik dan ekonomi.
Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya Liberalisasi Pemikiran Islam menulis, “Sejak tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat. Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan bahwa setiap individu harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya tanpa ada campur tangan dari negara. Kaum liberal percaya, bahwa ekonimi akan melakukan regulasi sendiri (the invisible hand). Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Gagasan semacam ini diadopsi dari pemikiran-pemikiran Adam Smith dan menjadi landasan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini.”
Dan, dalam praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, gagasan politik dan ekonomi liberal itu sudah benar-benar nyata. Sebagai bukti, setiap menjelang Ramadhan, harga kebutuhan pokok tiba-tiba melonjak.
Pertanyaannya, saat Ramadhan siapakah yang paling diuntungkan secara ekonomi? Kemudian, belakangan muncul banyak statement akrobatik para pejabat publik soal bagaimana umat Islam memandang orang yang tidak berpuasa dan lain sebagainya.
Harus disadari, ini adalah wujud nyata dari gagasan liberalisasi pemikiran dalam wujud paling strategis yakni politik dan ekonomi, yang sejatinya telah lama dilakukan Belanda di negeri ini. Dan, kini Indoensia harus menjadi ‘santapan’ konglomerat yang memiliki satu ideologi, yakni uang dan uang. Jadi wajar jika segala instrumen yang memungkinkan negeri ini menjadi bersih dan lebih baik akan segera dikeroyok untuk dilemahkan dan dimandulkan.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk sadar dan bergerak untuk bangkit. Barat dengan pemikirannya tidak benar-benar berubah. Humanity, kebebasan dan kesetaraan bagi mereka adalah alat mengusung keuntungan bagi kepentingannya sendiri. Termasuk isu terorisme, isu ini benar-benar tidak mendatangkan apapun bagi negeri kita selain kegaduhan yang sangat berpotensi menciptakan perpecahan.
Dan, sebagaimana Buya Hamka tegaskan dalam bukunya Falsafah Hidup, dimana setiap pemuda harus menyadarinya adalah bahwa penjajah tidak pernah mengambil apapun dari negeri ini, termasuk warisan budaya dan ilmu, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri. Bukan untuk kita bangsa Indonesia, apalgi umat Islam. Demikianlah Barat dalam melihat dan memperlakukan Indonesia. Wallahu a’lam.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com 
(Mimpi) Merdeka dari Ketimpangan
Sabtu, 27 Agustus 2016 - 07:09 WIB
Umat Islam di Indonesia dapat bercermin dari sejarah. Salah satu gerakan terbesar dan pelopor kebangkitan di Indonesia, yaitu Sarekat Islam


Oleh: Beggy Rizkiyansyah
KEMERDEKAAN kita memang sudah menginjak 71 tahun. Namun banyak hal yang belum kita rengkuh, atau setidaknya kita rengkuh sepenuhnya. Salah satunya adalah kemerdekaan ekonomi. Kemerdekaan ekonomi bukan saja kemerdekaan sebuah negaranya. Namun juga rakyatnya yang dapat berdaulat secara ekonomi. Bebas dari penindasan dan penghisapan.
Seringkali kemajuan ekonomi, atau katakanlah pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai sebuah prestasi. Padahal pertanyaan penting yang perlu dikemukakakn adalah pertumbuhan oleh siapa dan untuk siapa? Pertanyaan ini penting untuk dilayangkan demi menilai seberapa berpengaruh pertumbuhan itu terhadap rakyatnya. Padahal seringkali angka-angka pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah jurus kampanye bagi para pengejar kursi kekuasaan. Nyatanya, jargon pertumbuhan itu perlu kita kritisi, mengingat fakta-fakta yang hadir, menyatakan kondisi yang semakin memprihatinkan untuk sebuah bangsa yang telah 71 tahun merdeka.
Bank Dunia, tahun 2015 lalu merilis laporan yang mencengangkan. Laporan itu menyatakan ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin melebar. Menurut laporan tersebut, Pada tahun 2002, 10% warga terkaya Indonesia mengonsumsi sama banyaknya dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin, sedangkan pada tahun 2014 mereka mengonsumsi sama banyaknya dengan 54% warga termiskin. Rasio Gini yang mengukur tingkat ketimpangan meningkat dari 30 (tahun 2000 ) menjadi 41 (tahun 2014), yaitu angka tertinggi yang pernah tercatat. Penguasaan kekayaan yang memusat di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia, di bawah Rusia dan Thailand. Di Indonesia, 10% orang Indonesia terkaya menguasai sekitar 77% dari seluruh kekayaan di negeri ini. Satu persen orang terkaya bahkan memiliki separuh dari seluruh kekayaan. (World Bank , Ketimpangan yang Semakin Lebar, Executive Summary: 2015)
Dampak dari ketimpangan pendapatan tadi berimbas pada ketimpangan lain yaitu ketimpangan terhadap mendapatkan peluang yang sama sejak lahir, terutama akses terhadap gizi, kesehatan dan pendidikan. Ketimpangan ini juga berimbas pada lapangan pekerjaan. Sementara upah terhadap pekerja terampil semakin meningkat, pekerjaan kurang terampil terjebak pada upah dan produktivitas yang rendah. Ketimpangan ini dirasakan menyayat karena keadaan ini tak ada bedanya dengan tanah air kita di masa penjajahan.
Pemikiran liberalisme klasik menjadi motivasi negara-negara Barat untuk menjajah demi mencari pasar baru produk-produk mereka. Selepas Perang Jawa, Cultuurstelsel (Tanam Paksa) membebani pundak masyarakat Jawa dan menyedot hasilnya habis-habisan. Surplus ekonomi hasil tanam paksa selama 1840-1871 yang menghasilkan 781 juta gulden ini merupakan surplus ekonomi yang nyaris tanpa modal, karena tenaga petani kita dieksploitasi secara brutal. Eksploitasi ini membuat ekonomi petani hancur dan lapisan petani yang mampu akhirnya tumbang, sehingga petani miskin bertambah banyak. Di masa setelahnya, Perkebunan-perkebunan tebu memanfaatkan petani-petani tak miskin dan bermodal tadi menjadi sumber bagi buruh murah perkebunan Belanda di Jawa dan Sumatera. Ketimpangan saat itu menganga luar biasa. Upah Buruh perkebunan hanya 50 sen, sedangkan para pemegang saham perkebunan swasta kolonial menerima deviden lebih dari 40%. Perlu diketahui, selama 1915 – 1920 jumlah surplus ekonomi melonjak menjadi 3,3 miliar gulden. Tentu saja surplus ekonomi ini tak dinikmati oleh rakyat pada masa itu. (Sritua Arief, Kolonisasi Ekonomi Indonesia dalam Negeri Terjajah: 2006)
Jatuhnya rezim orde lama, dan naiknya orde baru memang memberi suasana yang berbeda. Rezim ‘pembangunan’ dan ‘pertumbuhan’ ini di atas kertas memang menunjukkan angka-angka yang mengesankan. Namun di balik itu ternyata pertumbuhan hanya dinikmati oleh sebagian kalangan saja. Dalam satu dekade saja ekonomi orde baru telah menunjukkan angka ketimpangan yang memprihatinkan. Jika kini angka ketimpangan semakin membesar. Ketimpangan itu bahkan semakin kentara tatkala kita melihat pemandangan gedung-gedung mewah pencakar langit di Jakarta yang dikelilingi pemukiman-pemukiman kumuh dan perkampungan padat. Pembangunan di Jakarta yang digencarkan oleh Gubernur Basuki TP (Ahok) justru semakin memperkuat sinyalemen adanya diskriminasi dalam pembangunan di Jakarta.  (Beggy Rizkiyansyah, Jakarta untuk Siapa?: 2016). Di Jabotabek ribuan hektar lahan dikuasai oleh segelintir raksasa pengembang saja. Di Karawaci, Tangerang misalnya, 3.222 hektar lahan dikuasai hanya oleh sebuah pengembang saja.
Ketimpangan penguasaan lahan dan pendapatan bukan hanya terjadi di perkotaan saja. Ketimpangan antara kota dengan desa juga sama mengenaskan. Sritua Arief menyebutkan bahwa industrialisasi dan pemusatan ekonomi di perkotaan pada masa Orde baru tak memberi dampak atau pengaruh ke pedesaan. Pendapatan di pedesaan terus tertinggal dibanding perkotaan. (Sritua Arief, Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan Kemiskinan Massal: 1978)
Saat ini, Sekitar 40,6% tenaga kerja di Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Dan tragisnya, sekitar 57,8% penduduk miskin di Indonesia berada di sektor pertanian. Munculnya kemiskinan yang besar di sektor pertanian di Indonesia disebabkan tidak meratanya akses petani terhadap faktor produksi terutama lahan dan modal. Tenaga kerja di sektor pertanian, rata-rata merupakan buruh tani dan petani gurem yang rata-rata hanya memiliki lahan 0.5 hektar. Ini yang menjadi sebab utama rendahnya produktivitas petani di Indonesia yang menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan di sektor pertanian.
(Perkumpulan Prakarsa, Policy Brief : Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pilihan Investasi untuk Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia : 2014)
Di Pedesaan lahan dikuasai oleh sekelompok kecil pihak. Sementara mayoritas petani adalah petani tanpa lahan. Rumah tangga petani yang menguasai lahan kurang dari satu hektar juga terus berkurang. Jika pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 9,3 juta rumah tangga, maka pada tahun 2013 berkurang menjadi 4,3 juta. Menurut laporan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengenai regenerasi petani, rumah tangga dengan penguasaan lahan kurang dari satu hektar umumnya merupakan petani berpendidikan dan pendapatan rendah. Ketika usaha taninya tidak memberikan hasil yang baik atau tidak memberikan kepastian maka kelompok ini umumnya beralih profesi dan atau melepaskan aset lahannya. Hal ini sejalan dengan makin maraknya pembangunan infrastruktur terutama di Jawa yang sebagian besar di area pertanian. (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Regenerasi Petani; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Menjadi Petani Pada Keluarga Petani Padi dan Hortikultura: 2015)
Sesungguhnya penguasaan lahan adalah hal yang amat penting bagi Indonesia. Sebagai negeri agraris dimana 40% penduduknya masih bertani, penguasaan lahan bagi petani menjadi hal yang krusial. Bung Hatta pada tahun 1943 pernah menyatakan hal ini. Menurutnya, “…karena Indonesia adalah negeri Agraria. Dalam negeri agraria faktor produksi yang terkemuka ialah tanah. Memang tak ada faktor produksi yang mungkin dengan tiada pesertaan kerja manusia dan kapital, banyak sedikitnya. Akan tetapi kedudukan faktor tanahlah yang berpengaruh besar akan kemakmuran rakyat. Hanya sebagai faktor kemakmuran rakyat tanah itu mendapat penghargaan sosialnya. Oleh karena itu segala peraturan terhadap hak tanah hendaklah sesuai dengan tuntutan ‘tanah sebagai faktor produksi yang terutama’ dalam menghasilkan kemakmuran rakyat.” (Sritua Arief, Kebijakan Pertanahan dalam Pemerintahan Orde Baru; Telaah Ekonomi Politik dalam Negeri Terjajah: 2006)
Di tengah ancaman ketimpangan penguasaan lahan, alih fungsi lahan pertanian juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan petani itu sendiri. Harian Republika pada Februari 2016 misalnya, menyebutkan lahan pertanian di Sumatera Utara terus menurun. Pada 2012, luas lahan pertanian mencapai 464.827 ha, lalu menurun pada 2013 menjadi 452.295 ha. Begitu pula di Yogyakarta. Setiap tahun tercatat 200 ha hingga 250 ha lahan pertanian beralih menjadi ruang usaha, industri, hingga permukiman. Salah satu ancaman terhadap alih fungsi lahan pertanian ini bukan hanya ketahanan tetapi juga kedaulatan pangan Indonesia. Maka ancaman impor pangan semakin menghantui pemerintah dan rakyat Indonesia. Jika ini terus terjadi maka ketimpangan akan semakin menganga di antara masyarakat kita.
Di antara segudang persoalan ketimpangan pendapatan dan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan, pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty bagi para ‘pengemplang pajak.’ Mayoritas rakyat yang hidupnya sudah sedemikian sulit ini, dibebani berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi (dan seringkali tak dirasakan manfaatnya). Di lain sisi pemerintah malah melakukan pengampunan terhadap para pengemplang pajak yang sebenarnya adalah orang-orang yang menguasai sebagian besar kekayaan di republik ini. Keputusan pemerintah ini amat mengusik rasa keadilan dan menyakiti hati masyarakat. Ketimpangan rupanya bukan saja terjadi dalam soal pendapatan, tetapi juga ketimpangan perlakuan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Peran Umat Islam
Umat Islam di Indonesia dapat bercermin dari sejarah. Salah satu gerakan terbesar dan pelopor kebangkitan di Indonesia, yaitu Sarekat Islam. Kita dapat belajar dari Sarekat Islam yang mendapat dukungan luas dari rakyat saat itu. Dari hanya 4500 anggota tahun 1912, tahun 1919 mencapai dua juta anggota. Sarekat Islam sebelum menjelma menjadi kekuatan politik, adalah organisasi yang bergerak di bidang ekonomi. Dengan dukungan masyarakat kelas menengah khususnya para pedagang batik, Sarekat Dagang Islam menjadi pelopor pemberdayaan ekonomi bumiputera saat itu. Pun ketika Sarekat Islam menjelma menjadi kekuatan politik, orientasinya bukan pada perebutan kekuasaan. Melainkan menjadi advokasi bagi rakyat, terutama rakyat kecil. Perhatian Sarekat Islam banyak ditujukan pada kaum tani dan buruh yang tertindas oleh kapitalisme di Hindia Belanda. Kritik-kritiknya ditujukan kepada praktik penghisapan rakyat kecil terutama buruh perkebunan dan tani. Hal ini dapat kita dengar dari pidato Tjokroaminoto tahun 1916.
“Tidaklah layak Hindia Belanda diperintah oleh Holland. Zoals een landheer zijn percelen beheert (Sebagai tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya). Hindia Belanda tidaklah layak lagi dianggap sebagai seekor sapi perahan, yang hanya diberi makan demi susunya. Tempat dimana orang-orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan.” (A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?: 1985)
Pembelaan terhadap rakyat kecil, terutama kaum tani dan buruh, kelompok ekonomi yang paling menderita saat itu, menyebabkan meroketnya dukungan rakyat kepada Sarekat Islam. Kita dapat belajar bagaimana gerakan-gerakan umat Islam seyogyanya tak hanya terpaku pada kekuasaan semata, tetapi juga menolak ketimpangan dan penindasan satu kelompok atas kelompok lainnya dalam masyarakat. Agar kata merdeka (dari ketimpangan) bukan hanya sekedar slogan dan mimpi, tetapi menjadi kenyataan.*
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com 
Kongres Umat Islam Indonesia IV Yogyakarta Abaikan Harapan Ummat
Dipublikasikan pada: 16 March 2015

 Fenomena marginalisasi umat Islam, nampaknya menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemilihan tema Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI, “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Buadaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban,” diakui oleh pengurus MUI, berangkat dari kegelisahan atas opini di masyarakat. Bila saat ini umat Islam tidak dapat berperan maksimal atau bahkan termarginalkan dalam sektor politik, ekonomi dan sosial budaya, maka melalui KUII VI ini MUI berharap umat Islam mampu memainkan peran tersebut secara optimal.
Risalah Mujahidin – SERANGKAIAN pertanyaan yang senantiasa mengemuka, bagaimana mengoptimalkan peran umat Islam dalam meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan bangsa? Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang pertanyaan itu akan terjawab apabila umat Islam memahami peran dan tanggung jawabnya kepada agama, bangsa dan negara.
Konggres Umat Islam Indonesia ke-6, yang berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta, 8-11 Februari 2015 M / 18-21 Rabiul Akhir 1436 H, diharapkan sebagai salah satu cara MUI memfasilitasi optimalisasi peran umat Islam tersebut.
Maka MUI pun mengundang para peserta kongres, “yang diikuti sekitar 700 peserta yang terdiri dari MUI Pusat maupun Provinsi, Unsur Ponpes, Perguruan Tinggi Islam dan PTN, Unsur Tokoh Perorangan, LSM, Tokoh Profesional seperti Tokoh Pendidikan, Ekonomi, Agama dan Kesultanan yang ada di Indonesia sekitar 40 orang,” seperti dijelaskan Ketua Panitia Acara DR. Anwar Abbas M.M dalam sambutannya pada acara malam ta’aruf silaturahmi KUII ke-VI di Ruang Borobudur Hotel Inna Garuda Yokyakarta, Ahad 8 Februari 2015.
Lokasi kongres yang berada di jantung kota Yogyakarta, merupakan tempat yang cukup representatif untuk berdiskusi menemukan solusi tentang nasib umat. Menggunakan Hotel bintang empat, Inna Garuda, termasuk hotel legendaris sejak 1908, sekitar lima menit berjalan dari Jalan Malioboro, serta 300 meter dari Stasiun Tugu dan Keraton Yogyakarta.
Ada empat tempat menginap yang disiapkan panitia pelaksana KUII VI, mengingat hotel Inna Garuda hanya mampu menyediakan 222 kamar saja. Yaitu, Hotel Malioboro Inn, Ramayana, dan Abadi, masih di sekitar jalan Malioboro yang terkenal itu.
“Kamar di Inna Garuda tidak mencukupi, jadi kami menggunakan empat tempat tersebut untuk akomodasi undangan KUII kali ini,” ungkap salah seorang panitia registrasi, Fuad kepada reporter Risalah Mujahidin (RM).
Perhelatan lima tahunan ini, tentu membutuhkan biaya besar. Seluruh peserta tidak ditarik biaya, kecuali biaya transportasi ditanggung sendiri. Dalam buku panduan kongres dijelaskan, bahwa sumber dana kegiatan Kongres Umat Islam ke-6 ini, diperoleh dari sumber yang halal dan baik: dari kas MUI, bantuan pemerintah, dan dukungan berbagai pihak.
Menurut Wakil Sekjen MUI sekaligus Sekretaris OC KUII VI, Amirsyam Tambunan, KUII VI menghabiskan dana lebih dari 1,5 miliar. “Untuk sewa hotel menghabiskan dana 1,2 miliar,” ujarnya saat dikonfirmasi RM, Senin 12 Februari 2015.
Kabarnya, panitia juga memperoleh sumbangan dana dari Hery Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group? “Bukan dari Hery Tanoe, tapi dari Perindo,” terang Amirsyah.
Selain dari Partai Persatuan Indonesia (Perindo), menurut sumber yang dapat dipercaya, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga menawarkan bantuan dana lumayan besar, 2 miliar. “Tapi MUI menolak tawaran tersebut, tapi ada pihak lain yang bersedia menerimanya,” ungkap sumber yang tak mau disebut namanya itu.
Bagi perhelatan Islam seperti KUII, sumber dana memang masalah krusial. Tak elok didengar, bila muncul kesan KUII memperoleh dana haram, atau dari sumber yang punya interest mengendalikan arah kongres. Apabila kongres ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan legitimasi sebagai pemimpin umat Islam, karena merasa berjasa mendanai kongres, tentu akan menjatuhkan muruah (kehormatan) kaum muslimin.
Apalagi, seperti dikatakan Ketua Pelaksana KUII VI Anwar Abbas, bahwa KUII VI ini merupakan kelanjutan dari kongres-kongres sebelumnya. Pasca kemerdekaan RI, kata Anwar, umat Islam telah melakukan lima kali kongres. KUII I dilaksanakan pada 1946 di Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan KUII II pada 1949 juga di Yogyakarta. KUII III pada 1998 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, KUII IV di Hotel Sahid Jakarta, dan terakhir adalah KUII V di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
Pada Kongres pertama dan kedua, para tokoh Islam betul-betul didorong oleh semangat menegakkan harkat umat Islam dan memobilisasi kekuatan menghadapi lawan. Lalu, apa kontribusi KUII di masa reformasi dalam upaya memperbaiki nasib umat?
“Konggres Umat Islam kali ini memastikan peran umat yang lebih baik. Sejumlah rekomendasi dan isyu telah diinventarisir namun sebagai program strategis, MUI memandang program ekonomi dan sosial adalah program yang seharusnya ditingkatkan,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsudin dalam Konferensi Pers KUII VI di Hotel Inna Garuda, Malioboro, Jogjakarta, Ahad 8 Februari 2015.
Din Syamsuddin juga mengatakan, pemilihan Yogyakarta sebagai lokasi Kongres Umat Islam VI tak lepas dari sejarah Kongres II yang dinilai paling monumental.
“Karena pernah menjadi tuan rumah kongres yang monumental pada 1945,” katanya dalam pidato pembukaan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin, 9 Februari 2015.
Kongres pertama berlangsung pada 1938 dan mengukuhkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Majelis itu merupakan lembaga payung bagi organisasi-organisasi Islam di Indonesia kala itu.
Adapun kongres kedua, berlangsung di Yogyakarta pada 1945, menghasilkan putusan yang monumental juga. Peserta kongres memutuskan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai tunggal Islam di Indonesia. Pada pemilihan umum 1955, partai ini merupakan salah satu peraup suara terbesar.
Sepanjang pemerintahan Orde Baru, kongres tak berlangsung. Hingga pasca reformasi, kongres ketiga digelar pada 1998. Adapun kongres keempat berlangsung pada 2005. “Maka kali ini, ke Yogya kita kembali,” katanya di depan peserta kongres. Maka dari Kongres VI di Yogyakarta kali ini, ia berharap, bisa menghasilkan dokumen sejarah baru laiknya kedua kongres paling monumental, pada 1939 dan 1945. “Apa pun namanya,” katanya.
Saat ini, ia melanjutkan, sejumlah usulan nama untuk dokumen itu telah muncul. Dua di antaranya Komitmen Yogyakarta dan Deklarasi Yogyakarta. Yang penting, dokumen baru itu menegaskan bahwa negara Indonesia adalah buah dari jihad umat Islam.
Din Syamsudin mengatakan, Yogyakarta dipilih menjadi tuan rumah karena memiliki nilai-nilai historis. “Ngarso Dalem, izinkan kami dan seluruh elemen umat Islam untuk kembali lagi ke Yogyakarta menggelar Kongres Umat Islam Indonesia ke-VI,” ujar Din dalam pidato pembukaan yang berlangsung di pagelaran Kraton Yogyakarta.
“Kasultanan Yogyakarta juga salah satu Kasultanan Islam. Ini lah alasan kenapa Yogyakarta dipilih menjadi lokasi kongres keenam umat Islam Indonesia,” pungkasnya.
Sultan Hamengku Buwono X, raja keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY, menyambut ucapan Din dan berkata, “Pembukaan kongres di Pagelaran ini memberi makna simbolik ziarah spiritual. Pagelaran, tempat utama pembukaan ini, disangga oleh 64 tiang. “Simbol usia rasulullah,” katanya.
Kongres umat Islam Indonesia ke-6 ini dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres tiba di Keraton Yogyakarta sekitar pukul 09.50 WIB, disambut oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif dan Kanjeng Gusti Hadiwinoto.
Wapres di dampingi Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa tiba di Pangkalan TNI AU Adi Sutjipto, Yogyakarta, sekitar pukul 09.15 WIB. Turut hadir pula Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hidayat Nur Wahid.
Sebelum acara pembukaan di pagelaran Kraton, lebih dahulu diadakan malam ta’aruf. Menurut ketua panitia Anwar Abas, acara malam ta’aruf silaturahmi yang digelar malam Senin, mendahului acara pembukaan kongres dimaksudkan supaya para peserta KUII dapat memahami arah dan tujuan kongres.
Selain itu, lanjutnya supaya kongres berjalan lancar, agar bisa diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang baik dan bermanfaat tidak hanya untuk umat Islam di Indonesia, tetapi seluruh dunia.
Kongres yang diadakan di Hotel berkelas Inna Garuda Yogyakarta itu, memang berlangsung adem ayem, nyaris tanpa gairah. Sangat kontras dengan problema yang dihadapi umat Islam yang kian terpuruk dan terpinggirkan. Kurangnya antusiasme peserta, sangat boleh jadi disebabkan tidak adanya pembahasan masalah-masalah krusial umat.
Dalam pengarahan di malam ta’aruf, Ketua SC dan mantan politisi Senayan, Slamet Efendi Yusuf sudah wanti-wanti. “Kita tidak usah lagi mempertentangkan soal dasar Negara, Pancasila atau segala hal yang akan membawa kita surut ke belakang,” katanya
Selain itu, narasumber banyak yang tidak hadir karena alasan yang kurang jelas, bahkan ada pembicara dadakan yang berbicara tidak relevan dengan tema kongres.
Sekalipun yang diundang ormas tingkat pusat, tapi KUII VI ini sepi dari kehadiran ulama dan tokoh Islam tingkat nasional. Tidak semua peserta undangan memang, hadir dalam kongres yang difasilitasi MUI ini. Sebagian besar peserta yang tercatat berasal dari anggota MUI dan utusan pesantren.
Dari empat parpol yang diidentifikasi parpol Islam yang diundang, seperti PKS, PPP, PKB, PAN, hanya Ketua PKS Anis Matta yang hadir sebagai narasumber. Sayangnya, usai bicara Anis langsung ngeloyor pergi, tidak mengikuti acara kongres. Begitupun ormas Islam yang hadir, belum merepresentasikan seluruh gerakan Islam di Indonesia.
Saat ditanya tentang tidak tertindak lanjutinya hasil-hasil kongres terdahulu terutama ke-III (1998) dan Ke-IV (2005). Mengapa tidak pernah diusulkan, sebagai representasi umat Islam Indonesia, supaya pemerintah membuat UU yang mengharamkan segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran, melarang jual beli barang haram. Kenyataannya, dalam praktik kekuasaan, banyak kebijakan pemerintah yang jauh dari ajaran Islam.
Prof. Din Syamsuddin, dalam jumpa pers yang didampingi oleh Ketua SC, Drs. Slamet Effendi Yusuf, M.Si., Dr. H. Zainut Tauhid dan Ketua OC, DR. Anwar Abbas, M.M., M.Ag. yang juga menjabat sebagai Ketua Ganas An-Nar (Gerakan Nasional Anti Narkoba) di bawah MUI Pusat. Din Syamsuddin menyatakan tidak sepakat dengan istilah gagal. “Semua berlangsung baik, hanya tidak bisa menyepakati apa yang telah direncanakan semula,” jelasnya.
“KUII ini bukanlah permusyawaratan tertinggi dari sebuah ormas, misalnya Munas MUI, muktamar NU, muktamar Muhammadiyyah dan muktamar-muktamar lainnya, tapi dia bersifat pertemuan akbar yang difasilitasi MUI. Maka keputusan-keputusannya pun tidak mengikat secara legal, formal dan administrasi. Tapi ini adalah ajang silaturrahmi untuk membicarakan hal-hal yang nantinya menjadi kesepakatan bersama,” tandas Din.
Peran Politik Umat Islam
Keinginan memperkuat peran politik Islam, tentu saja hak konstitusional umat Islam, baik sebagai warga Negara mayoritas maupun berdasarkan hak asasi manusia. Adanya parpol Islam di parlemen, atau menjadi eksekutif, membuktikan hal itu. Masalahnya, apakah parpol Islam telah melaksanakan tugas politiknya selaras dengan misi Islam untuk meninggikan kalimat Allah, menyelenggarakan kekuasaan Negara yang adil dan makmur berdasarkan syari’at Islam?
Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Profesor Bahtiar Effendi mengungkapkan, keberadaan partai-partai politik Islam di Indonesia saat ini tidak lebih hanya sebagai pelengkap.
“Partai-partai Islam yang ada sekarang ini tidak lebih hanya sebagai pelengkap yang tidak memiliki keberanian dan keyakinan,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam sidang pembahasan penguatan politik umat Islam pada acara Kongres Umat Islama Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta, Senin (9/2).
Menurutnya, partai Islam saat ini tidak memiliki keyakinan gagasan untuk memimpin pemerintahan. Buktinya pada Pemilu 2009 dan 2014 partai-partai Islam perolehan suaranya jika digabung cukup memenuhi syarat untuk mengusung calon presiden.
“Tapi itu tidak dilakukan oleh partai-partai Islam Indonesia, mereka tidak memiliki keberanian untuk menunjukkan kemampuannya,” kata Effendi.
Partai-partai Islam justru ikut mendukung calon yang diusung oleh partai lain, yang berarti hanya menjadi pelengkap bagi partai lain untuk dapat memenuhi syarat mengusung calon presiden.
“Partai Islam tidak berani mengusung calon sendiri, justru mendukung presiden yang diusung oleh partai lain, ini namanya pelengkap,” tegas Effendi.
Partai-partai Islam saat ini tidak mampu merumuskan aspirasi yang diusungnya. Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan partai Islam di era tahun 50-an. Saat itu ada partai Masyumi, partai Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam dan lainnya yang semuanya memiliki aspirasi nyata.
“Aspirasi mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara, ini sekadar contoh saja,” jelas Effendi.
Saat itu keberadaan partai bukan hanya sebagai pelengkap, sejak awal didirikan untuk menunjukkan bahwa gagasan yang mereka usung lebih baik. Aspirasi politik Islam itu lebih baik untuk kepentingan Indonesia pada saat itu sehingga tidak pernah jadi pelengkap.
Profesor Bahtiar Effendi pada sidang pleno KUII VI itu mengingatkan bahwa jumlah umat Islam di Indonesia itu sangat besar, dan akan menjadi kekuatan besar jika memiliki keyakinan dan keberanian, dan bukan menjadi pelengkap saja.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mendorong partai-partai politik berasaskan Islam di Indonesia sejalan dalam memperjuangkan kepentingan agama yang dianut mayoritas penduduk di Tanah Air.
“Partai politik (parpol) Islam sebagai sarana politik kekuasaan kami dorong untuk mau menjalin koalisi dan jika menyangkut kepentingan umat Islam mereka harus satu hati,” kata Din.
Selanjutnya dikatakan, meski beberapa parpol Islam mempunyai visi dan misi yang berbeda, kader yang ada di parlemen maupun lembaga legislatif diharapkan mengaitkan diri dengan nilai Islam saat mengambil kebijakan.
“Kebetulan pada kongres ini pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mau menghadiri, sementara (parpol Islam) yang lain tidak mau, makanya kita dorong itu,” katanya. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini mengatakan, dorongan agar parpol Islam sejalan dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam tersebut perlu karena secara politik di lapangan, umat Islam kalah dengan parpol yang memiliki massa maupun dalam mengendalikan kekuasaan.
“Politik lapangan umat Islam kalah, karena kita (umat Islam) tidak menguasai sumber daya politik, (tokoh) yang menguasai massa dan uang. Sebenarnya kita punya massa, tapi ketika ada ‘wani piro’ (berani berapa) massa porak-poranda,” katanya. Din juga menyinggung kurangnya komunikasi intensif antarparpol Islam menjelang pemilihan umum tahun lalu, sehingga belum bisa satu suara dalam menentukan calon kepala negara yang akan memimpin bangsa tersebut.
Oleh sebab itu, kata Din, melalui kongres lima tahunan yang dihadiri para ulama, tokoh Islam, cendekiawan muslim dari berbagai elemen muslim di Tanah Air tersebut diharapkan bisa merancang dan mengendalikan perubahan Indonesia menjadi lebih baik.
“Karena jika melihat ke belakang, tokoh reformasi kita yaitu Amien Rais, Gus Dur (alm Abdurrahman Wahid) yang memprakarsai perubahan, tapi tidak bisa mengendalikan perubahan itu, makanya harus ada antisipasi ke sana,” katanya.
Sementara itu, Presiden PKS Anis Matta mengatakan pencapaian politik partai politik berasaskan Islam pada Pemilihan Presiden 2014 tetap harus diapresiasi, meskipun tidak berada dalam pemerintahan.
“Baru kali ini partai-partai Islam berada dalam oposisi, kecuali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun bagaimanapun harus ada apresiasi terhadap pencapaian politik tersebut,” katanya saat menjadi narasumber pada kongres yang sama.
Dia mengatakan, absennya sebagian besar parpol Islam dalam pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) merupakan keputusan dan realitas politik yang harus dihadapi bangsa Indonesia. “Melihat realitas politik saat ini, (bagi parpol Islam) memang dapat dikatakan ada kesalahan besar dalam pencapaian politik tahun ini, setidaknya sejak terjadi reformasi,” kata Anis.
Sekadar menghibur diri, Anis pun berucap, umat Islam yang terwadahi dalam parpol Islam mempunyai capaian yang luar biasa, bahkan koalisi yang terbentuk saat Pemilu 2014 mempunyai tujuan yang juga memperjuangkan mayoritas rakyat Indonesia.
Namun Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, berpendapat lain. Ia mengemukakan hal penting yang tak boleh diabaikan umat muslim. Yakni tentang fakta peminggiran substansi ajaran Islam.
“Saat ini jelas sekali terjadi tendensi peminggiran umat Islam, bukan pada peran melainkan dalam substansi,” kata Ismail di sela-sela acara kongres di Hotel Inna Garuda-Yogyakarta.
“Jika dalam perannya, para pemangku kebijakan di negeri kita memang mayoritas orang Islam, presidennya Islam, ketua MPR orang Islam. Tapi substansi pemerintahannya tidak jelas. Islam yang digadang-gadang sebagai agama terbesar di negeri ini juga konsepnya absurd. Inilah yang kemudian saya katakan ajaran Islam itu yang terpinggirkan,” lanjutnya.
Mengenai sumber daya alam di negeri ini juga, tambah Ismail, seharusnya menguntungkan umat muslim (karena mayoritasnya). Tapi dengan pola kapitalisme hasilnya lebih banyak dinikmati perusahaan terlebih perusahaan asing.
“Umat Islam hanya menjadi objek, lihat tayang tv lebih pada rating bukan pada moral bangsa. Ini menjadi contoh terpinggirkannya substasi peran ajaran Islam,” tegasnya.
Adapun mengenai tema yang dibahas dalam kongres ini, Ismail Yusanto sepakat dengan aspek persoalan yang dimusyawarahkan. “Dari tema ini diasumsikan bahwa umat Islam memang sudah punya peran, hanya perlu penguatan. Saya kira kalau dikatakan belum berperan juga tidak benar, karena umat muslim sendiri dari dulu memang sudah berperan,” lanjutnya.
Ismail berharap, lewat kongres ini para ulama mampu mewujudkan rumusan langkah-langkah kongkret terhadap masalah yang dihadapi umat. Dikatakan demikian, agar kemudian forum strategis ini mempunyai pengaruh nyata. Sebab menurutnya, bangsa ini banyak menghadapi masalah yang tak pernah tuntas. Seperti korupsi, narkoba, pornografi, liberalisme yang berkembang di berbagai bidang kehidupan.
Harapan Umat yang Diabaikan

Menag Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan sambutan pada Kongres Umat Islam Indonesia ke-VI di Yogyakarta.
Mengusung tema “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban”, KUII VI ini menumbuhkan harapan dari seluruh ormas Islam di Indonesia. Mereka berharap, KUII kali ini dapat menjadi tonggak bersejarah dan penggerak utama kekuatan umat Islam Indonesia.
Segala harapan itu muncul di saat malam ta’aruf, yang dihadiri oleh Wakil Ketua Menteri Luar Negeri, A.M Fachir. Dalam sambutannya Fachir mengatakan, Indonesia telah melakukan dialog lintas agama dalam rangka tasamuh dengan 24 negera dunia serta melakukan promosi untuk mencegah Islamophobia.
“Tidak hanya umat Islam di Indonesia yang menunggu hasil KUII ke-VI tetapi juga umat Islam di seluruh dunia,” tegas Fachir.
Selain itu, Wakil Ketua MUI Pusat Ma’ruf Amin dalam sambutannya juga mengatakan peran umat Islam belum optimal dibanding dengan jumlah umat Islam yang ada sampai saat ini.
“Jumlahnya besar tapi perannya kecil,” ujar Ma’ruf Amin
Menurutnya, MUI mencoba paling tidak supaya peran dan jumlah umat Islam bisa seimbang. Maka lanjutnya, perlu diadakan kongres lima tahunan agar terbentuk persamaan-persamaan dalam perbedaan.
“Jika berbeda harus bisa ditoleransi dan tidak boleh menimbulkan fanatisme kelompok yang berlebihan,” ujar Ma’ruf Amin.
Sementara Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin dalam sambutannya di malam ta’aruf mengatakan KUII ke-VI ini merupakan kongres lanjutan dari kongres sebelumnya. Dimana lanjutnya telah membahas isu-isu yang didiskusikan secara bersama sehingga menghasilkan rekomendasi yang disepakati.
“Saya harapkan di sini KUII bisa memberikan acuan atau panduan agar supaya kehidupan bersama bisa tetap terjaga dan terpelihara di tengah tantangan global,” kata Menteri Agama seusai pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin.
Lukman juga berharap agar KUII VI mampu mengokohkan jaminan perlindungan terhadap seluruh umat beragama. Sebab, meskipun Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak, Indonesia adalah negara yang plural dengan beragam agama, suku, serta budaya.
“Sehingga setiap agama juga harus memiliki jaminan perlindungan baik dalam konteks mereka memeluk agama maupun ketika mereka menjalankan amalan agama,” kata dia.
Menurut Lukman, rekomendasi final KUII VI di Yogyakarta sesungguhnya bukan hanya dinanti oleh umat Islam di Indonesia saja, melainkan juga umat Islam di seluruh dunia.
“Saya juga tidak tahu apakah nanti konflik yang terjadi di Timur Tengah menjadi bagian dari rekomendasi atau tidak. Kita lihat saja nanti,” kata Lukman.
“Jika ada rekomendasi yang belum bisa dijalankan melalui KUII ke-VI bisa digunakan sebagai bahan evaluasi,” ujar Lukman.
Menurut Lukman rekomendasi yang sudah disepakati bukan sekadar permintaan dari kepentingan pribadi. Namun hasil dari kesepakatan yang disepakati guna memberikan manfaat bersama bagi agama, nusa dan bangsa.
“Melalui KUII ke-VI harapannya bisa memberikan titik terang soal batasan minimal seseorang dikatakan kafir, seperti halnya Syi’ah maupun Ahmadiyah yang kini masih terus menjadi polemik saat ini,” harap Lukman dalam sambutannya.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag lagi.
Usai menyampaikan sambutan, giliran Sultan Palembang Iskandar Mahmud Badaruddin mengenalkan diri. Tak disangka, Sultan badaruddin langsung mengeritik pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim. Ia menolak ‘Islam Indonesia’ ala Menag.
Menurutnya, sebelum Indonesia berdiri Kesultanan di Nusantara sudah memeluk Islam yang tidak dapat dibedakan antara satu sama lainnya.
“Kalau Bapak Menteri tadi bilang ada Islam ini dan itu, saya tidak sepakat, sebab Islam adalah rohmatan lil alamin dan hanya ada satu,” tegas Sultan dengan berani.
Selain itu, Sultan Palembang yang masih cukup muda dan bergaya nyenterik itu menyatakan bahwa banyaknya krisis yang melanda Indonesia disebabkan produk hukumnya masih menggunakan hukum Belanda yang notabene bertentangan dengan ajaran Islam.
“Ini produk hukum kafir,” tandasnya.
Sebagai Sultan dari Palembang yang memiliki akar keislaman yang kuat, Mahmud Badaruddin berharap agar dalam Kongres Umat Islam Indonesia ini hukum Islam dapat kembali dikuatkan sebagaimana pernah dicontohkan para Sultan Nusantara.
Harapan terhadap KUII ini sedemikian besar, hingga banyak pihak ikut terlibat. Karena terbukti, sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, umat Islam memiliki peran yang strategis. Pada fase-fase penting sejarah Indonesia, umat Islam senantiasa tampil memberikan solusi terhadap beragam persoalan yang di hadapi bangsa Indonesia.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid mengemukakan hal itu di hadapan para peserta Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI, Minggu (8/2) malam di Yogyakarta.
“Jadi sejak dulu peran umat Islam demikian besar dalam sejarah bangsa Indonesia,” kata Hidayat.
Karenanya Hidayat berharap, KUII ke-VI ini menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang makin memperkuat peran umat Islam. Bukan hanya untuk umat Islam di Indonesia tetapi juga umat Islam di berbagai belahan dunia.
“Kongres Umat Islam Indonesia keenam ini kita harapkan menghasilkan gagasan baru untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, terutama terkait politik, ekonomi, sosial dan budaya,” harap Hidayat.
Hidayat menilai, tema yang diambil dalam KUII ke-VI ini, yakni penguatan peran politik, ekonomi, dan budaya umat Islam untuk Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban menunjukkan selama ini umat Islam memang sudah dan terus berkontribusi besar untuk Indonesia.
“Hanya saja, kontribusi itu belum sebanding dengan kapasitas umat sebagai mayoritas penduduk Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Hidayat, kebangkitan umat Islam adalah benih kebangkitan Indonesia, baik dari segi ideologi nasionalisme, politik, maupun ekonomi,” jelas dia.
Lebih jauh Hidayat mengemukakan, dunia saat ini sedang menunggu peran umat Islam yang ada di Indonesia. Pasalnya, selain sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Islam di Indonesia juga memiliki ciri yang khas, yaitu moderat atau toleran.
Ciri ini menjadikan umat Islam Indonesia diharapkan perannya yang lebih besar dalam kancah dunia internasional.
Dalam kesempatan itu Hidayat menyinggung soal bangsa Palestina, yang hingga kini belum terbebas dari penjajahan Israel. “Peran umat Islam Indonesia ditunggu untuk dapat membantu rakyat Palestina keluar dari belenggu penjajahan, untuk mewujudkan kemerdekaan bagi bangsa Palestina,” tegas dia.
Umat Islam di seluruh Indonesia perlu meresapi makna perjuangan yang dihasilkan dalam KUII pertama di Yogyakarta pada tahun 1945. Konggres pertama tersebut merupakan tonggak bersatunya umat Islam dengan menghasilkan salah satunya dibentuknya partai Masyumi.
Terselenggaranya kongres umat Islam lintas organisasi, lintas kelompok dan bahkan lintas afiliasi politik menunjukkan, semakin tumbuh kesadaran, bahwa persatuan umat menjadi sebuah tuntutan mutlak dalam menghadapi tantangan-tantangan ke depan. Apabila momentum ini diabaikan, mungkin persatuan masih akan menempuh jalan panjang.
Semangat bersatu untuk berjuang bersama demi bangsa yang merdeka, adil, makmur dan sentosa dalam bingkai syariat Allah Swt. Semangat itulah yang hendaknya menjadi motivasi terciptanya tansiq (aliansi) strategis di kalangan Umat Islam.
Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, jika kita mencari kemuliaan dengan selainnya, pasti Allah akan menghinakan kita. (Umar bin Khattab)

Empat Penyebab Lemahnya Umat Islam Indonesia

Ustadz Fadzlan Garamathan menyebutkan empat hal terkait lemahnya kondisi umat Islam di Indonesia. Da'i kondang yang fokus pada islamisasi di Papua ini juga menegaskan perlunya persatuan di kalangan internal umat Islam.

"Saat ini kita sedang menuju 70 tahun Indonesia merdeka. Seluruh dunia menatap Indonesia, menanti kebangkitan Islam dari negeri yang katanya berpenduduk muslim terbanyak di dunia itu", ujarnya pada Kamis (30/4) malam.

Tetapi, ia melanjutkan, faktanya umat Islam juga belum mendapat tempat yang layak di negaranya sendiri. Kecurigaan-kecurigaan pemerintah seringkali masih dialamatkan kepada umat Islam.

"Umat Islam tidak mendapat tempat di negara sendiri karena tidak mengambil fungsi dan peran dakwah dengan benar, berprasangka buruk pada Islam, saling mencurigai untuk kepentingan duniawi, serta tidak menempatkan agama sebagai pandangan hidup," ia menjelaskan.

Peran dakwah dianggap hanya tugas lulusan pesantren dan sekolah agama. Yang lebih memprihatinkan, agenda-agenda dakwah itu sering dikemas dalam kepentingan politik. Antar kelompok umat Islam juga masih ada sikap saling mencurigai. Keretakan-keretakan itu kemudian dimanfaatkan oleh pihak ketiga.

"Yang paling banyak, umat Islam di Indonesia belum menempatkan Islam sebagai pandangan hidup, melainkan hanya sekadar ritual atau bawaan lahir," jelasnya. Dalam kesempatan tersebut, ustadz Fadzlan mengajak pada umat Islam untuk bersatu dan merapatkan barisan.

Tabligh akbar ini juga dihadiri oleh sejumlah da'i dan intelektual muslim, seperti Ustadz Adnin Armas, Ustadz Zaitun Rasmin dari Wahdah Islamiyah, Ustadz Jeje Zainuddin, Ustdz Farid Okbah, dan Ustadz Ahmad Zain Annajah. Acara dilaksanakan di Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan.
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/05/01/nnmt35-empat-penyebab-lemahnya-umat-islam-indonesia

Inggris Dinilai Perlu Adopsi Islam di Indonesia
Rep: c25/ Red: Andi Nur Aminah
Republika/Bowo Pribadi 

Dubes Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik menjawab pertanyaan wartawan saat mengunjungi tempat penjualan kayu UD Berkah Illahi di Karang Kebagusan, Kecamatan Jepara, Jawa Tengah, Selasa (23/2). (Republika/Bowo Pribadi)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap toleransi umat Islam di Indonesia memang banyak menginspirasi. Inggris menjadi salah satu negara yang mendambakan toleransi seperti di Indonesia.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, menilai Inggris perlu mengadopsi kondisi umat Islam yang ada di Indonesia. Sebab, ia mengaku kagum akan kerukunan umat beragama yang banyak diciptakan umat Islam sebagai mayoritas. "Kita perlu institusi Islam di Indonesia untuk menunjukkan keberanian dan menginspirasi," kata Moazzam, Selasa (1/3).
Ia merasa masyarakat dan umat Islam di Inggris harus mulai belajar dari Indonesia. Karena, ada banyak sekali yang dapat dipelajari. Menurut Moazzam, mereka harus datang dan melihat sendiri bagaimana kerukunan dan toleransi berjalan di Indonesia.
Terkait radikalisme, Moazzam berpendapat, persoalan itu merupakan masalah dan tanggung jawab bersama semua pemeluk agama. Pasalnya, paham dan gerakan radikalisme jelas mengancam kehidupan umat beragama, tidak cuma satu atau dua agama.
Meski bukan berasal dari institusi agama, Moazzam meyakini komunitas-komunitas agama dapat memberi peran lebih terhadap kelangsungan hidup umat beragama. Karena itu, ia mengimbau untuk memperdalam dialog antarkomunitas sehingga dapat mengeksplore lebih dalam kekuatan yang ada. 

ikap KH Hasyim Muzadi Soal Demo Penistaan dan Politisasi Alquran
Red: Muhammad Subarkah
Republika/Da'an Yahya 

KH Hasyim Muzadi (Ilustrasi)
JAKARTA -- Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi bereaksi atas munculnya persoalan dan meluasnya kontroversi berbagai soal kebangsaan terkait soal kasus dugaan penistaan Alquran Surah al-Maidah ayat 51 yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjaja Purnama.

KH Hasyim Muzadi, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Depok mengatakan, memang ada beberapa hal yang membuat isu tersebut menjadi sangat sensitif terkait dengan agama Islam. Dalam rilis yang dikirimkan kepada Republika.co.id, Rabu pagi (9/10), dia menyatakan pandangannya yang diberi judul 'Kekuatan (Energi) Alquran dan Politisasi'. Isi lengkapnya sebagai berikut:

Di kalangan umat Islam seluruh dunia, ada tiga hal yang tidak boleh disinggung atau direndahkan, yakni : Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Kitab suci Alquran. Pertama, apabila salah satu dari hal itu, apalagi ketiganya, disinggung dan direndahkan, pasti mendapat reaksi spontan dari umat Islam tanpa disuruh siapa pun. Reaksi tersebut akan segera meluas tanpa bisa dibatasi oleh sekat-sekat organisasi, partai, dan birokrasi. Kekuatan energi tersebut akan bergerak dengan sendirinya tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Kedua, fenomena demo 4 November 2016 tentu secara lahiriah dipimpin oleh beberapa tokoh yang merasa terpanggil untuk membela kesucian kitabnya. Namun jumlah yang hadir membuktikan adanya kekuatan (energi spritiual) yang dahsyat dari pengaruh Alquran tersebut. Hal ini dapat dibuktikan para pemimpin yang melakukan demo atau mengumpulkan masa tanpa dorongan spiritualisme tersebut tidak mungkin dapat menggerakan umat yang berjumlah jutaan. Mereka berjalan dengan damai, tertib dan siap untuk berkorban. Sehingga sesungguhnya tidak perlu dicari dalangnya, provokator atau siapa yang membayar. Karena provokator dan bayaran setingkat apa pun tidak akan mampu menggalang kekuatan tersebut. Yang ada mereka akan menempel pada gelombang besar untuk kepentingannya, bukan kemampuan menciptakan gelombang itu sendiri.

Ketiga, kedahsyatan energi Alquran tersebut hanya bisa dimengerti, dirasakan dan diperjuangkan oleh orang yang memang mengimani Alquran. Tentu sangat sulit untuk diterangkan kepada mereka yang tidak percaya kepada Alquran, berpikiran atheis, sekuler dan liberal. Karena mereka jangankan memahami energi Alquran, menerima Alquran pun belum tentu bisa. Sehingga perdebatan antara keimanan kepada Alquran dan ketidakpercayaan kepada Alquran hanya akan melahirkan advokasi bertele-tele dan berbagai macam rekayasa.

Keempat, Alquran sebagai kitab suci sekaligus kitab pembeda (al-Furqon) yang membedakan antara yang hak dan yang batil. Maka tidak heran kalau kemudian kelihatan di kalangan umat Islam sendiri mana yang bertindak sebagai pejuang, sebagai pengikut perjuangan yang ikhlas tanpa pamrih, yang mengambil posisi memanfaatkan keadaan (kepentingan duniawi sesaat), dan mana yang memang menyelewengkan Alquran. Sedangkan di kalangan non-Muslim sendiri sangat sedikit yang  membuat konflik lintas agama dengan kaum Muslimin. Mereka adalah pihak yang sudah basah politisasi dan kapitalisasi ekonomi serta hegemoni kekuasaan. Sedangkan mayoritas mutlak non-Muslim tetap bersatu bersama kaum Muslimin dalam penegakan NKRI.
SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Oleh : Rahayu Permana, S.Ag, M.Hum

Pendahuluan
Untuk mempelajari suatu agama, termasuk agama Islam harus bermula dari mempelajari aspek geografis dan geografi persebaran agama-agama dunia. Setelah itu dapat dipahami pula proses kelahiran Islam sebagai salah satu dari agama dunia,  terutama yang dilahirkan di Timur Tengah, yaitu Yahudi , Kristen, dan Islam. Ketiganya dikenal sebagai agama langit atau wahyu. Kedua hal itu, geografi persebaran dan persebaran agama itu sendiri. Selanjutnya untuk dapat memahami proses perkembangan Islam sehingga menjadi salah satu agama yang dianut oleh penduduk dunia yang cukup luas, harus dikenali lebih dahulu tokoh penerimaan ajaran yang sekaligus menyebarkan ajaran itu, yaitu Muhammad SAW., sang pembawa risalah.
Keberhasilan proses Islamisasi di Indonesia ini memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak Islam yang pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya.

1.Ahmad Sugiri, “Proses Islamsisasi dan Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia”, dalam
Al-Qalam, Majalah Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, No. 59/XI/1996, (Serang: IAIN SGD, 1996), hlm. 43.

A. Proses Masuknya Islam di Indonesia
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para Tokoh yang mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia. Tokoh-tokoh itu diantaranya, Marcopolo, Muhammad Ghor, Ibnu Bathuthah, Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted.

Sedangkan sumber-sumber pendukung Masuknya Islam diIndonesia diantaranya adalah: Kennet W. Morgan menjelaskan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang Islam di Indonesia mula-mula sekali adalah dalam berita Marcopolo. Dalam perjalanannya kembali ke Venezia pada tahun 692 (1292 M), Marcopolo setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah di perlak, sebuah kota dipantai utara Sumatra. Menurut Marcopolo, penduduk perlak pada waktu itu diislamkan oleh pedagang yang disebut kaum Saracen. Marcopolo menanti angin yang baik selama lima bulan. Di situ ia beserta rombongannya harus menyelamatkan diri dari serangan orang-orang biadab di daerah itu dengan mendirikan benteng yang dibuatnya dari pancang-pancang. Kota samara menurut pemberian Marcopolo dan tempat yang tidak jauh dari situ, yang dia sebut Basma yang kemudian dikenal dengan nama sanudera dan Pasai, dua buah kota yang dipisahkan oleh sungai Pasai yang tidak jauh letaknya di sebelah utara Perlak (P.A. Hoesain Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.119).

Ibnu Bathuthah (1304-1369 M), merupakan pengembara terbesar bagsa Arab yang terakhir. Ia berhasil menyaingi orang besar yang hidup sezamannya, Marcopolo al-Bandaqi. pengembaraannya meliputi seluruh dunia Islam. Dia telah menempuh lebih dari seratus tujuh puluh lima mil, yang dimulai dari Thanjah, tempat kelahirannya, pada saat berusia 28 tahun, pada tahun 1326 M. dan berakhir di Fez pada tahun 1353. (Lihat Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 232). Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm, 122.

Berita dari Arab, Berita ini diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitas perdagangan dengan bangsa Indonesia. Pedagang Arab telah datang ke Indonesia sejak masa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka pada waktu itu. Hubungan pedagang Arab dengan kerajaan Sriwijaya terbukti dengan adanya para pedagang Arab untuk kerajaan Sriwijaya dengan sebutan Zabak, Zabay atau Sribusa. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, Syeh Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh Islam di Indonesia seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka menuduh bahwa teori yang mengatakan Islam datang dari India adalah sebagai sebuah bentuk propaganda, bahwa Islam yang datang ke Asia Tenggara itu tidak murni.

Berita Eopa, Berita ini datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang yang pertama kali menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari cina menuju eropa melalui jalan laut. Ia dapat tugas dari kaisar Cina untuk mengantarkan putrinya yang dipersembagkan kepada kaisar Romawi, dari perjalannya itu ia singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah ini ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara dalam upayanya memperluas kekuasaannya ke Semenanjung Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti 775, berita-berita Cina dan Arab abad ke-8 sampai ke-10 M. hal ini erat hubungannya dengan usaha penguasaan selat Malaka yang merupakan kunci bagi bagi pelayaran danperdagangan internasional. Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009), hlm. 207 kerajaan Samudera dengan ibukotanya Pasai. Diantara sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouch Hurgronye, W.F. Stutterheim,dan Bernard H.M. Vlekke.

Berita India, Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Karena disamping berdagang mereka aktif juga mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada setiap masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisisr pantai.  Teori ini lahir selepas tahun 1883 M. Dibawa oleh C. Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini, diantaranya adalah Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van Nieuwinhuize.

Berita Cina, Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan, seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira-kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yang Samudera Pasai merupakan kerajaan yang menjadikan dasar negaranya Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Kerajaan Samudera Pasai ini dirintis oleh Malik Ash-Shaleh/Meurah Silo (659-688 H./1261-1289 M). Negeri ini makmur dan kaya, di dalamnya telah terdapat sistem pemerintahan yang teratur, seperti terdapatnya angkatan tentara laut dan darat. (Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 195). Mereka mendasarkan pada keterangan Marcopolo yang pernah singgah d untuk beberapa lama di Sumatra untuk menunggu angin pada tahun 1292 M. ketika itu ia menyaksikan bahwa Perlak di ujung Utara pulau Sumatra penduduknya telah memeluk agama Islam. Naman ia menyatakan bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di nusantara ketika itu. (Badri Yatim, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1998), hlm. 30).

Menurut W.F. Stutterheim dalam bukunya “ De Islam en Zijn Komst in the Archipel,” Islam berasal dari Gujarat dengan dasar batu nisan sultan pertama dari kerajaan Samudera Pasai, yakni nisan al-Malik al-Saleh yang wafat pada tahun 1297. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa relif nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Ibid., hlm. 23). Dedi Supriyadi., op.cit., hlm. 191 bertempat tinggal di pantai utara Pulai Jawa. T.W. Arnol pun mengatakan para pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijrah atau abad ke-7 dan ke-8 M. Dalam sumber-sumber Cina disebutkan bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera (disebut Ta’shih).

Sumber dalam Negeri Terdapat sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkan berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran(Gresik). Batu bersurat itu menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu itu memuat tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah Binti Maimun (1028). Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 676 H atau tahun 1297 M. Ketiga, makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419 M. Jirat makan didatangkan dari Guzarat dan berisi
tulisan-tulisan Arab. Mengenai masuknya Islam ke Indonesia, ada satu kajian yakni seminar ilmiah yang diselenggarakan pada tahun 1963 di kota Medan, yang menghasilkan hal-hal sebagai berikut: ertama kali Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/7 M, langsung dari negeri Arab. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Eradie seorang scientist Spanyol. Busman Edyar, dkk (Ed.), op.cit., hlm. 187. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 191-192.

Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pesisir Sumatera Utara. Setelah itu masyarakat Islam membentuk kerajaan Islam Pertama yaitu Aceh.  

A.Para dai yang pertama, mayoritas adalah para pedagang. Pada saaat itu dakwah disebarkan secara damai.

B. Saluran dan Cara-Cara Islamisasi di Indonesia Kedatangan Islam ke Indonesia dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
a. Saluran Perdagangan
Diantara saluran Islamisasi di Indonesia pada taraf permulaannya ialah melalui perdagangan. Hal ini sesuia dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad-7 sampai abad ke-16, perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat menguntungkan. Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat Indonesia dan pedagang.
Dijelaskan di sini bahwa proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati memimpin. pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Secara umum Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang melalui perdagangan itu mungkin dapat digambarkan sebagai berikut:
mulal-mula mereka berdatangan di tempat-tempat pusat perdagangan dan kemudian diantaranya ada yang bertempat tinggal, baik untuk sementara maupun untuk menetap. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan-perkampungan. Perkampungan golongan pedangan Muslim dari negeri-negeri asing itu disebut Pekojan.
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Sezak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003),hlm. 336.  Uka Tjandrasasmita (Ed.), op.cit., hlm. 200 .

b.Saluran Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu dari saluran-saluran Islamisasi yang paling memudahkan. Karena ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin, tempat mencari kedamaian diantara dua individu. Kedua individu yauitu suami isteri membentuk keluarga yang justru menjadi inti masyarakat. Dalam hal ini berarti membentuk masyarakat muslim.  Saluran Islamisasi melalui perkawinan yakni antara pedagang atau saudagar dengan wanitia pribumi juga merupakan bagian yang erat berjalinan dengan Islamisasi. Jalinan baik ini kadang diteruskan dengan perkawinan antara putri kaum pribumi dengan para pedagang Islam. Melalui perkawinan inilah terlahir seorang muslim. Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah setelah mereka mempunyai kerturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim.

c.Saluran Tasawuf 
Tasawuf merupakan salah satu saluran yang penting dalam proses Islamisasi. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada tulisan-tulisan antara abad ke-13 dan ke-18. hal itu bertalian langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia.Dalam hal ini para ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya. Para ahli tasawuf biasanya memiliki keahlian untuk menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Jalur tasawuf, yaitu proses islamisasi dengan mengajarknan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai budaya bahkan ajaran agama yang ada yaitu agama Hindu ke dalam ajaran Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima. Badri Yatim, op.cit., hlm. 202.
Kata-kata tasawuf dalam bahasa Arab tidak terdapat qiyas dan isytiqaq (ukuran dan pengembalian), yang jelas bahwa kata-kata ini semacam laqab(julukan, sebutan, gelar). Gelar ini diperuntukan bagi perorangan dengan istilah sufi, dan bagi jamaah disebut sufiyah. Orang sudah mencapai derajat (usaha ke arah) tasawuf disebut mutasawwif, sedangkan bagi jamaah disebut mutasawwifah. (Athoullah Ahmad, Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf, (Serang: Saudara, 1995), hlm. 109).
Kedatangan ahli tasawuf di Indonesia diperkirakan terutama sejak abad ke-13 yaitu masa perkembangan dan persebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India. Perkembangan tasawuf yang paling nyata adalah di Sumatra dan Jawa yaitu abad ke-16 dan ke-17. (UkaTjandrasasmita (Ed.), op.cit., hlm. 218). Busman Edyar, dkk (Ed), op.cit, hlm. 208
Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 ini.

d.Saluran Pendidikan
Para ulama, guru-guru agama, raja berperan besar dalam proses Islamisasi, mereka menyebarkan agama Islam melalui pendidikan yaitu dengan mendirikan pondok-pondok pesantren merupakan tempat pengajaran agama Islam bagi para santri.  Pada umumnya di pondok pesantren ini diajarkan oleh guru-guru agama, kyai-kyai, atau ulama-ulama.
Mereka setelah belajar ilmu-ilmu agama dari berbagai kitab-kitab, setelah keluar dari suatu pesantren itu maka akan kembali ke masing-masing kampung atau desanya untuk menjadi tokoh keagamaan, menjadi kyai yang Hamzah Fansuri beserta muridnya yaitu Syamsuddin as-samatrani, banyak menhasilkan karangan-karangan. Fansuri menuliskan ajaran-ajarannya dalambentuk prosa dan syair dengan bahsa arab dan Indonesia. Karangan-karangan Hamzah Fansuri antara lain: Syarab al-asyikina, Asrar al-Arifina fi bayan ‘ilm-al suluk wal tauhid; dalam bentuk syair yang terkenal: Rubba al- Muhakkikina, Kashf al-Sirr al-Tajalli al-Subhani, Miftah al-Asrar, Syair si burung Pingai, Syair Perahu, Syair Syidang fakir, Syair dagang (Uka Tjandrasasmita (Ed.), op.cit., hlm. 221). Ibid., hlm. 204.

Di pesantren ini para santri diajarkan berbagai kitab kuning. Kitab kuning adalah sebutan untuk buku atau kitab tentang ajaran-ajaran Islam atau tata bahasa Arab yang dipelajari di pondok pesantren yang ditulis atau dikarang oleh para ulama pada abad pertengahan dalam hurup Arab. Disebut kitab kuning karena biasanya dicetak dalam kertas berwarna kuning yang dibawa dari Timur Tengah. (lebih lanjut tentang pesantren dapat dilihat dari buku: Lebih lanjut baca Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3S, 1982).   Kyai adalah sebutan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang ahli agama Islam, yang biasanya memiliki dan mengelola pondok pesantren. Lebih lanjut baca Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Mengenai kitab-kitab klasik yang dipakai di pesantren-pesantren di pulau Jawa telah disistematikakan dengan cukup baik oleh beberapa orang sarjana Belanda yang telah banyak meneliti tentang perkembangan pesantren dan tarekat di Indonesia (lebih jauh mengenai studi ini lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia,(Bandung: 1995, Mizan), hlm. 115.
menyelenggarakan pesantren lagi. Semakin terkenal kyai yang mengajarkan semakin terkenal pesantrennya, dan pengaruhnya akan mencapai radius yang lebih jauh lagi.

e.Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui seni seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, musik dan seni sastra. Misalnya pada seni bangunan ini telihat pada masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, Ternate dan sebagainya.  Contoh lain dalam seni adalah dengan pertunjukan wayang,yang digemari oleh masyarakat. Melalui cerita-cerita wayang itu disisipkan ajaran agama Islam. Seni gamelan juga dapat mengundang masyarakat untuk melihat pertunjukan tersebut. Selanjutnya diadakan dakwah keagamaan Islam.

f.Saluran Politik
Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses Islamisasi. Ketika seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak rajanya. Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan bahkan menjadi tauladan bagi rakyatnya. Misalnya di Sulawesi Selatan dan Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Badri Yatim, op.cit., hlm. 203. Uka Tjandrasasmita (Ed.), op.cit., hlm. 205
Dijelaskan di sini, bahwa Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Beliau tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. (Badri Yatim, op.cit., hlm.202) Ibid., hlm. 203.  Uka Tjandrasasmita (Ed.), op.cit., hlm. 206-207.
SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN-ISLAM
Posted by Akhmad Solihin on 22.06
Warga belajar dan siswa--sekalian, dalam pembahasan materi Pelajaran sejarah kali ini kita akan membahas tentang sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Ada beberapa kerajaan Islam yang dapat ditemukan berdasarkan jejak sejarah yang dimulai dari masuknya agama Islam di Nusantara ini.

1. Masuknya agama Islam di Indonesia
Warga Belajar dan siswa--sekalian, pernahkah kalian mendengar cerita tentang kapan agama Islam masuk ke kepulauan Nusantara dan apa sebabnya Islam berkembang pesat serta mudah diterima oleh penduduk Indonesia? Perlu Anda ketahui bahwa agama Islam masuk dan berkembang di Indonesia dengan jalan damai dan tanpa kekerasan atau paksaaan.

Masuknya agama Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kegiatan pelayaran dan perdagangan pada masa lampau. kalian Ingat bahwa kegiatan pelayaran dan pedagangan di perairan nusantara telah berlangsung sejak awal tahun Masehi. Pada waktu itu banyak pedagang dari India dan Cina yang mengadakan hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Indonesia. Kegiatan pelayaran dan perdagangan ini semakin hari semakin berkembang ramai. Selanjutnya pada sekitar abad ke-7 dan 8 pedagang-pedagang Islam dari Timur Tengah banyak yang datang berlayar ke selat Malaka hingga ke perairan Nusantara kita. Pada masa itu di Indonesia telah berdiri kerajaan terkenal bernama Sriwijaya. karena Sriwijaya ketika itu merupakan bandar terbesar, tempat singgah dan bongkar muat barang-barang dagangan yang dibawa para pedagang dari kepulauan Nusantara maupun dari luar, maka kemungkinan besar termasuk para pedagang dari Timur Tengah yang singgah pula di Sriwijaya. Oleh sebab itu para pedagang Islam yang telah mengenal Sriwijaya menyebutkan Sriwijaya dengan istilah Zabag atau Zabay.
Berkembangnya hubungan perdagangan antara pedagang-pedagang Islam dengan pedagang-pedagang Indonesia membawa pengaruh masuknya agama Islam ke Indonesia. Pada umumnya para pedagang Islam sambil berdagang mereka memperkenalkan atau mengajarkan pula agama Islam kepada pedagang maupun penduduk setempat. Melalui hubungan dagang inilah penduduk Indonesia mengenal ajaran agama Islam untuk selanjutnya secara sadar mereka memeluk agama Islam.
Sekitar abad ke - 11 Islam telah sampai pula di pulau Jawa. Keterangan ini diperoleh berdasarkan bukti ditemukan sebuah batu nisan (makam) yang bertuliskan huruf Arab. Batu nisan yang berangka tahun 1082 ditemukan di Lereng (dekat Gresik). Tulisan pada batu nisan ini memuat keterangan tentang wafatnya seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun.

Keterangan lain tentang berkembangnya agama Islam di Indonesia bersumber dari catatan perjalanan seorang yang bernama Marco Polo (1992). Dia adalah seorang musafir dari Venesia, Italia. Dalam perjalanan menuju Tiongkok (Cina yang ditempuh melalui laut, Marco Polo singgah di Aceh Utara. Dari persinggahannya itu ia menceritakan bahwa di Perlak banyak penduduk yang beragama Islam dan banyak pula pedagang dari Gujarat (India) yang giat menyiarkan agama Islam.  Berdasarkan keterangan tersebut di atas, jelas bahwa selain pedagang-pedagang dari Gujarat (India) yang aktif menyiarkan agama Islam di kepulauan Nusantara. Perlu diketahui bahwa pedagang-pedagang Gujarat sejak abad ke-10 telah menganut Islam.  Agama-agama Islam mula-mula berkembang di kota-kota dagang atau disekitar bandar tempat persinggahan pada pedagang Islam. Daerah yang mula-mula menjadi daerah Islam adalah Perlak dan Samudra Pasai. Kemudian meluas ke pulau Jawa seperti Gresik. Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Seharusnya ke pulau lainnya (Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya).
2. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
Berkembangnya agama Islam secara cepat dan meluas di Indonesia terutama di daerah pesisir karena adanya kontak dagang antara pedagang Islam dengan pedagang Indonesia. Para pedagang Islam dari Gujarat dalam menyiarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan tanpa paksaan atau kekerasan. Sehingga banyak pedagang maupun penduduk Indonesia pada masal lampau yang tertarik kepada Islam. Selain itu ajaran Islam tidak mengenal kasta.

Makin kuatnya pengaruh Islam di kalangan penduduk mendorong tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam terkenal di Indonesia pada masa lampau dapat dijelaskan di bawah ini.
a.      Kerajaan Islam Samudra Pasai
Pada abad ke-13 berdirilah kerajaan Islam pertama di Indonesia yaitu Samudra Pasai. Pendiri kerajaan ini sekaligus menjadi raja pertama bernama Sultan Malik al Saleh. Letak kerajaan berada di daerah Aceh Utara di Kabupaten Lokseumawe.

Kemudian pada tahun 1297 Sultan Malik al Saleh wafat untuk melanjutkan pemerintahan ia digantikan oleh putranya bernama Sultan Mahmud. Pada tahun 1326 Sultan Mahmud juga wafat. Selanjutnya pemerintahan kerajaan Islam Samudra pasai dipimpin oleh Sultan Ahmad yang bergelar Sultan Malik Al Tahir. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad, kerajaan Samudra Pasai mendapat kunjungan Ibnu Batuta, utusan Sultan Delhi. Ibnu Batuta menceritakan bahwa Samudra Pasai merupakan bandar utama pelabuhan yang sangat penting. Karena di pelabuhan ini menjadi tempat bongkar muat barang-barang dagangan yang dibawa oleh para pedagang dari dalam dan luar negeri (India dan Cina).  
b.      Kerajaan Islam Demak
Pada Abad ke-15 di Pulau Jawa berdiri kerajaan Islam Demak. Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Pendiri kerajaan ini bernama Raden Patah. Ia sebenarnya adalah salah seorang bupati di kerajaan Majapahit yang berkedudukan di Demak dan telah menganut Islam. Kekuasaan Majapahit ketika itu sudah lemah. Keadaan ini mendorong Raden Patah untuk mendirikan kerajaan Islam Demak. Dengan berdirinya kerajaan Islam Demak berarti Raden Patah telah melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Majapahit. Berdirinya kesultanan Demak mendapat dukungan pula dari daerah-daerah lain di Jawa Timur yang sudah Islam seperti Jepara. Tuban dan Gresik.

Dalam waktu singkat Demak telah berkembang menjadi sebuah kerajaan besar. Di samping itu Demak menjadi pusat penyiaran agama Islam. Apalagi setelah malaka Jatuh (dikuasai) oleh Portugis (1511), maka kedudukan dan peranan Demak semakin penting.
Kedatangan penjajah Portugis di Malaka mengundang ketidaksenangan Sultan Demak. Karena hal itu merupakan ancaman pula terhadap kerajaan Demak. Pada tahun 1513 kerajaan Demak mengirim armada tentaranya dipimpin oleh Pati Unus untuk mengusir Portugis di Malaka mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan Potugis memiliki armada lebih kuta dan lengkap.Meskipun usaha untuk merebut Malaka dari Potugis yang dilakukan Pati Unus mengalami kegagalan, namun peristiwa ini patut dibanggakan karena mereka gagah berani menghadapi bangsa penjajah. Karena keberaniannya sebagai panglima yang memimpin penyerangan ke Malaka Maka Pati Unus diberi gelar Pangeran Sabrang Lor artinya Pengeran yang menyeberangi laut ke Utara. Kemudian pada tahun 1518 Raden Patah Wafat. Ia digantikan oleh putranya yaitu Pati Unus. Pemerintahannya hanya berlangsug selama 3 tahun karena setelah itu ia wafat. Selanjutnya kerajaan Islam Demak dipimpin oleh Sultan Renggono, Adim Pati Unus.  Sultan Trenggono dikenal sebagai raja yang tegas dan arif bijaksana. Karena itu pada masa pemerintahannya Demak mencapai puncak kejayaan. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa Barat dan Jawa Timur.
Di bawah pemerintahan Sultan Trenggono, Demak tetap antipati terhadap penjajah Potugis. Apalagi Portugis terus meluaskan jajahannya hingga ke Jawa Barat. Pada tahun 1522 Portugis datang ke Sunda Kelapa, pelabuhan utama kerajaan Pajajaran. Portugis menjalin kerjasama dengan raja Pajajaran dengan membuat kesepakatan untuk menghadapi pasukan Islam Demak. Portugis merencanakan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Pada tahun 1527 kerajaan Islam Demak mengirimkan tentaranya dipimpin oleh Fatahilah untuk mengusir dan menghancurkan Potugis yang menduduki Sunda kelapa. Fatahillah beserta tentaranya berhasil mengusir orang-orang Portugis dan menguasai Sunda Kelapa. Kemudian oleh Fatahillah nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta artinya kemenangan. Sekarang Jayakarta menjadi Jakarta. 
Sementara itu Demak berhasil menguasai Jawa Timur. Ekspedisi ke Jawa Timur ini dipimpin langsung oleh Sultan Trenggono. Tetapi dalam serangannya ke Pasuruan Tahun 1546, Sultan Trenggono gugur.  Setelah wafatnya Sultan Trenggono Timbullah pertentangan di kalangan keluarga sendiri. Petentangan bersumber pada siapa yang berhak mewarisi kerajaan. Berakhirnya kerajaan Islam Demak setelah Pangeran Adiwijoyo atau Joko Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang suka bertindak sewenang-wenang, sehingga banyak adipati yang menentang tindakannya tersebut. Joko Tingkir kemudian memindahkan keraton Demak ke Pajang (tahun 1568. Dengan demikian tamatlah riwayat Kerajaan Demak.
c.    Kerajaan Islam Pajang
Pada tahun 1568 berdiri kerajaan Islam Pajang. Pendiri kerajaan ini adalah Sultan Adiwijoyo atau Joko Tingkir. Ia berhasil mengalahkan Arya penangsang raja Demak. Ia kemudian menindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdirinya kerajaan Islam Pajang erat kaitannya dengan kerajaan Demak.
Sultan Adiwijoyo atau Joko Tingkir adalah seorang yang suka menghargai pendukung atau pengikut yang turut bertempur bersamanya sewaktu menghadapi Arya Penangsang. Mereka yang telah berjasa oleh Sultan Adiwijoyo diberi hadiah penghargaan. Kedua orang yang dinilai sangat berjasa yaitu Kiai Ageng Pemanahan dihadiahi tanah di Mataram (sekitar Kotagede, dekat Yogyakarta). Sedangkan Kiai Panjawi dihadiahi tanah di Daerah Pati. Mereka sekaligus diangkat menjadi bupati di daerahnya masing-masing.
Bupati Surabaya diangkat sebagai wakil raja yang memiliki daerah kekuasaan meliputi Sedayu, Gresik, Surabaya dan Panarukan.Kiai Ageng Pemanahan yang menjadi Bupati Mataram mempunyai seorang putra bernama Sutowijoyo. Ia memiliki bakat di bidang kemiliteran. Sutowijoyo lebih dikenal sebagai Senapti Ing Alaga (Panglima Perang). Karena itu setelah Kiai Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575, pemerintahan dilanjutkan oleh Sutowijoyo, putranya. Dalam perkembangnya di Pajang terjadi pergolakan hebat. Setelah Sultan Adiwijoyo wafat pada tahun 1582, maka Arya Pangiri putra Sunan Prawoto (dari Demak) mencoba merebut kekuasaan dari Pangeran Benowo yang ketika itu menjadi penguasa Pajang menggantikan ayahnya, Sultan Adiwijoyo. pangeran Benowo meminta bantuan Sutowijoyo dalam menghadapi Arya Pangiri. Perebutan kekuasaan yang dilakukan Arya Pangiri tidak berhasil. Kemudian Pangeran Benowo menyerahkan kekuasaan Pajang kepada saudara angkatnya yang bernama Sutowojoyo karena tidak mampu lagi melanjutkan pemerintahan. Kemudian oleh Sutowijoyo pusat pemerintahan dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian tamatlah kerajaan Pajang.
d.      Kerajaan Islam Mataram
Pada tahun 1586 berdiri kerajaan Islam Mataram. Pendiri kerajaan ini bernama Sutowijoyo yang bergelar Panembahan Senopalti Ing Alaga Sayidin Pantagama. Letak kerajaan ini berada di Kotagede, Sebelah tenggara kota Yogyakarta. Ketika memerintah dikerajaan Mataram, banyak bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaannya. Diantara para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaannya adalah bupati Ponogorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan, Surabaya, Cirebon dan Galuh. Namun upaya mereka untuk melepaskan diri tidak behasil karena Sutowijoyo dikenal memiliki keahlian di bidang kemiliteran berhasil mengatasi semua pemberontakan tersebut.
Kemudian pada tahun 1601 Sutowijoyo wafat. Ia dimakamkan di kotagede. Meskipun demikian ia dinilai telah berhasil meletakan dasar-dasar yang kokoh bagi kerajaan Mataram. Selanjutnya setelah Sutowijoyo wafat, kerajaan Mataram diperintah oleh Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak. Pada awal pemerintahan terjadi lagi pemberontakan-pemberontakan yang masing-masing dilakukan oleh Demak dan Ponorogo. Tetapi Mas Jolang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut. Pemberontakan terhadapnya tampaknya belum berakhir. Pda tahun 1612 Surabaya melakukan perlawanan. Mas Jolang kemudian mengirimkan tentaranya berusaha menumpas pemberontakan. Sementara upaya memadamkan pemberontakan terus berlangsung dan belum berhasil dipadamkan, Mas Jolang wafat. Ia dimakamkan di Kotagede.
Pengganti Mas Jolang bernama Adipati Martapura. Tetapi penggantinya ini tidak mampu menjalankan tugas pemerintahan karena keadaan fisik yang lemah serta sakit-sakitan. Selanjutnya untuk meneruskan pemerintahan Adipati Martapura diganti oleh Mas Rangsang. Ia ternyata orang kuat yang mampu memimpin pemerintahan. Pada masa pemerintahannya kerajaan Islam Mataram mencapai kemajuan yang pesat di bidang petanian, agama dan kebudayaan, Mataram ketika itu merupakan kerajaan terhormat dan disegani tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lainnya.
Karya sastra berupa buku berjudul Sastra Gending merupakan hasil karya yang ditulis oleh Mas Rangsang sendiri. Wayang sebagai kesenian yang digemari rakyat berkembang pesat pula.Pada masa pemerintahan Mas Rangsang (tahun 1633) ditetapkan perhitungan tahun Islam didasarkan bulan. Oleh sebab itu Mas Rangsang sebagai raja yang lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung.
e.       Kerajaan Islam Cirebon
Pada tahun 1522 berdiri kerajaan Islam Cirebon. Pendiri kerajaan yang sekaligus menjadi rajanya bernama Fatahillah. Ia sangat berjasa dalam mengislamkan Jawa Barat. Di bawah pemerintahannya kerajaan Islam Cirebon mencapai kejayaan. Daerah kekuasaanya bertambah luas. Kerajaan Islam Cirebon menjalin hubungan yang baik dengan kerajaan Islam Mataram. Pada thaun 1570 Fatahillah wafat. Selanjutnya ia digantikan oleh putranya bernama pangeran Pasarean. Dalam perkembangannya kemudian pada tahun 1679 kerajaan Islam Cirebon dibagi menjadi dua kerajaan yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Pada masa tersebut kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Mereka bermaksud meluaskan kekuasaannya ke Cirebon. Maka Belanda dan VOC-nya mengatur siasat dengan menerapkan politik adu domba atau Devide et Impera. Hal ini bertujuan untuk memperlemah kerajaan Islam Cirebon. Kerajaan Islam Cirebon yang sudah dipecah menjadi dua, oleh Belanda VOC dipecah lagi menjadi tiga masing-masing Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan.  Dengan terpecahnya kerajaan Islam Cirebon menjadi tiga menyebabkan kerajaan Islam Cirebon semakin lemah kedudukannya. Keadaan ini terus dimanfaatkan oleh Belanda dan VOC untuk mengadu domba. Akhirnya padda abad ke-17 Cirebon berhasil dikuasai VOC.
f.       Kerajaan Islam Banten
Pada tahun 1552 berdiri kerajaan Islam Banten. Pendiri kerajaan ini bernama Hasanuddin. Ia naik tahta menjadi raja di Banten setelah memperoleh mandat dari ayahnya Fatahillah. Seperti telah kita ketahui bahwa Fatahillah pada mulanya menguasai daerah Sunda Kelapa, Cirebon dan Banten.  Hasanuddin seperti juga ayahnya, giat menyiarkan agama Islam. Pada waktu itu kerajaan Pakuan Pajajran masih menganut agama Hindu. Kerajaan Islam Banten di bawah pemerintahan Hasanuddin makin hari makin kuat kedudukannya. Sementara itu kerajaan Pakuan makin terjepit dan lemah. Meskipun demikian ia tidak memanfaatkan untuk menyerang kerajaan Pakuan Pajajaran. Tetapi Hasanuddin meluaskan pengaruhnya ke Lampung. Bahkan kemudian ia menikah dengan putri Sultan Indrapura. Oleh mertuanya Hasanuddin dihadiahi tanah di daerah Selebar.
Setelah Hasanuddin wafat digantikan oleh putranya bernama Pangeran Yusuf. Ia meluaskan daerah kekuasaannya dan menaklukan Pakuan Pajaran (tahun 1579). Kemudian pada thaun 1580 Pangeran Yusuf wafat.  Setelah wafatnya Pangeran Yusuf, Kerajaan Islam Banten dipimpin oleh Maulana Muhammad. Pada tahun 1596 Maulana Muhammad berusaha meluaskan daerah kekuasaannya dengan mencoba menaklukan Palembang yang ketika itu menjadi saingan Banten di bidang perdagangan. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede Ing Suro yang berasal dari Surabaya. Palembang nyaris jatuh ketangan Maulana MUahammad dan pasukannya. Tetapi karena Maulana Muhammad gugur di tengah pertempuran, maka serangan dihentikan dan tetara Banten ditarik mundur kembali ke Banten.
Setelah Maulan Muhammad wafat timbul persoalan di kalangan kerajaan karena yang seharusnya menggantikannya adalah putranya, Abdul Mufakkir. Tetapi pada waktu itu Abdul Mufakkir baru berumur 5 bulan. Maka pemerintahan sementara dipegang oleh seorang mangkubumi. DAlam perkembangannya kemudian muncul orang kuat bernama Pangeran Ranamenggala yang mengendalikan Banten mendampingi Abdul Mufakkir yang belum dewasa. Renamenggala wafat tahun 1624.  Kejayaan kerajaan Banten berlangsung sekitar tahun 1600. Pada waktu itu banten merupakan bandar pelabuhan terbesar. Banyak pedagang dari dalam dan luar pulau Jawa singgah untuk membeli maupun menjual lada, cengkeh, dan pala.  Kemunduran kerajaan Islam Banten terjadi sejak masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakkir di mana Belanda terus melakukan blokade-blokade yang mengakibatkan sempitnya ruang gerak kerajaan Islam Banten. Walaupun demikian semangar rakyat Banten yang anti penjajah Belanda tetap menyala.
g.      Kerajaan Islam Ternate dan Tidore
Pada abad ke-13 di Maluku telah berdiri beberapa kerajaan seperti ternate, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut, ternyata kerajaan ternate dan Tidore yang berkembang lebih maju. Hal ini disebabkan hasil buminya yang berupa rempah-rempah terutama cengkeh. Banyak pedagang dari kepulauan Nusantara dan Timur tengah yang pergi berlayar ke Ternate. Para saudagar membawa barang-barang dagangan berupa pakaian, beras dan sebagainya untuk dipertukarkan dengan rampah-rempah.
Pada abad ke-14 agama Islam berkembang pesat di Ternate. Dalam perkembangannya kemudian Ternate berubah menjadi kerajaan Islam. Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Harun. Pada masa pemerintahannya orang-orang Portugis banyak yang datang berdagang di Maluku. Tetapi mereka sering berbuat onar seperti melakukan monopoli dagang secara paksa, bertindak sewenang-wenang, mencampuri urusan pemerintahan dalam negeri. Akibatnya sering terjadi pertempuran antara penduduk Maluku dengan orang-orang Portugis. Akhornya pada tahun 1570 Portugis dengan Sultan Ternate sepakat untuk melakukan perjanjian damai melalui perundingan. Tetapi Portugis menipu Sultan Harun sewaktu berada dalam perundingan, ia pun dibunuh oleh orang Portugis atas suruhan gubernur mereka.
Setelah Sultan Harun wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Sultan Baabullah. Peristiwa pengkhiantan keji Portugis terhadap Sultan Harun menimbulkan kemarahan rakyat Maluku. Terlebih lagi Sultan Baabullah sebagai putranya. Ia bersumpah akan membalas dendam kematian ayahnya dengan mengenyahkan orang-orang Portugis dari bumi Maluku. Denan semangat yang membara Baabullah memimpin pasukannya bertempur melawan terntara Portugis. Perang berkobar selama 4 tahun lamanya (1570-1574. Akhirnya benteng Portugis di Ternate berhasil dikuasai Baabullah dan pasukannya. Orang-orang Portugis yang masih hidup menyerah. Kemudian mereka diperintahkan dengan segera angkat kaki dari Maluku khususnya Ternate. Sehak itu daerah Maluku Utara bersih, tidak diganggu lagi oleh orang-orang Portugis. Pada masa pemerintahannya kerajaan Islam Ternate mencapai zaman kejayaannya.
Sementara itu di kerajaan Tidore agama Islam pun bekembang pesat. Seperti halnya Ternate, kerajaan Tidore berubah menjadi kerajaan Islam Tidore yang dipimpin oleh sultan Tidore. Kedua kerajaan ini pada mulanya hidup berdampingan secara damai, saling menghormati kedaulatan masing-masing. Tetapi oleh bangsa Portugis dan Spanyol kedua kerajaan ini diadu domba. Sehingga nyaris terjadi petentangan yang menjurus perang. Untung saja kedua pimpinan kerajaan menyadari hal ini. Mereka tidak mau diadu domba dengan bangsa sendiri. Kemudian kerajaan ini bersatu, bahu-membahu dalam menghadapi Portugis.
h.      Kerajaan Islam Makassar
Pada abad ke-16 di Sulawesi Selatan telah berdiri beberapa kerajaan seperti Gowa, Bone, Wajo, Luwu, dan Soppeng. Dalam perkembangannya kerajaan Gowa dan Tallo mengalami kemajuan yang lebih pesat dibandingkan yang lainnya. Hal ini disebabkan letak kerajaan ini  sangat strategis dan menguntungkan yakni terletak di tengah-tengah lalu-lintas pelayaran antara Malaka dan Maluku. Kedua kerajaan yaitu Gowa dan Tallo, yang rajanya telah menganut agama Islam bersepakat menyatukan kerajaan mereka menjadi kerajaan Islam Makassar. Rajanya bernama Sultan Alauddin. Ia semua bernama Daeng Manrabia, raja Gowa. Sedangkan Mangkubumi bernama Sultan Abdullah. Ia semua bernama karaeng Matoaya, raja Tallo.
Disamping memimpin pemerintahan, raja dan mangkubumi kerajaan Islam Makassar tersebut sangat giat pula dalam menyiarkan agama Islam. Oleh karena usahanya itu, Maka Makassar menjadi sebuah kerajaan Islam yang sangat kuat. Daerah kekuasaanya tidak hanya meliputi sebagian besar Sulawesi dan Pulau-pulau sekitarnya, melainkan juga sampai di bagian timur Nusa Tenggara.
Kerajaan Islam Makassar mencapai puncak kejayaannya ketika diperintah Sultan hasanuddin berkuasa (tahun 1654-1669). Ia adalah salah seorang cucu Sultan Alauddin, pendiri kerajaan Islam Makassar. Sultan Hasanuddin terkenal sangat gigih dalam menentang penjajah Belanda. Ketika Belanda dengan VOC-nya meminta kepada Sultan Hasanuddin agar melarang rakyatnya berdagang di Maluku, karena hal itu dianggap pelanggaran monopoli. maka Sultan hasanuddin dengan tagas menjawab: "Tuhan menciptakan dunia ini untuk kebahagiaan sekalian umat manusia. Ataukah tuan menyangka bahwa Allah mengecualikan pulau-pulau Maluku yang jauh dari tempat bangsa tuan ini semata-mata untuk perdagangan tuan".
Penjajahan belanda terus berupaya untuk menaklukan Sultan Hasanuddin. Pada waktu itu sedang terjadi perselsihan antara Sultan Hasanuddin dengan Aru Palaka, raja Bone dan Soppeng. Keadaan ini dimanfaatkan Belanda dengna menerapkan politik adu domba. Belanda dalam hal ini memihak Aru Palaka dan secara bersama memerangi Sultan Hasanuddin. Kemudian berkobar pertempuran hebat (tahun 1666-1669) antar Belanda (VOC) beserta Aru Palaka di satu pihak dengan Sultan Hasanuddin, dan Malaka Sultan Hasanuddin terdesak dan Makasar hampir jatuh ke tangan Belanda. Akhirnya Sultan Hasanuddin bersedia membuat perjanjian damai yang dikenal dengna perjanjian Bongaya (1667).
Walaupun perjanjian telah disepakati, namun Belanda yang licik selalu melanggar perjanjian dengan bertindak sewenang-wenang. Hal ini membangkitkan kembali kemarahan Sultan Hasanuddin. Kemudian ia mengangkat senjata kembali memerangi Belanda. Dalam peperangan ini Sultan Hasanuddin mendapat tekanan hebat dari pasukan Belanda, maka akhirnya pada tahun 1669 Sultan Hasanuddin terpaksa menyerah dan Makassar pun dikuasai penjajah Belanda. Meskipun demikian dalam diri orang-orang Makassar tetap tumbuh semangat anti penjajahan. karena itu banyak diantara merek yang pergi merantau ke Madura, Banten dan sebagainya membantu daerah-daerah yang masih berperang melawan Belanda.
Kata-kata Penting :
Musafir:
Orang-orang yang sedang berpergian karena suatu tugas, berdagang, menyiarkan agama Islam dan lain-lain.
Keraton:
Tempat tinggal raja/ keluarga raja.
Sumber :
* Buku Modul sejarah Kesetaraan Paket B kelas VII tahun 2011  
*Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Sejarah Umum I Untuk SMP, Jakarta
*Soeroto, 1968, Sejarah Indonesia dan Dunia Jilid 1 untuk SMP, Gajah Mada, Jakarta.
* Wikipedia.id- Sumber gambar Google

2 comments :

  1. Harusnya kita bersyukur hidup di negara mayoritas islam,....

    ReplyDelete
  2. kemunduran umat islam di indonesia bukanlah sebuah keniscayaan bila para tokoh-tokoh islam terus saja memikirkan kekuasaan golongan mereka dan lupa perbaikan aqidah, ilmu dan ekonomi umat islam Indonesia.

    ReplyDelete