Islam di Jepang
Islam di Jepang
Keluarga
islam di jepang
Islam benar-benar akan meliputi ujung timur dan barat
dunia, termasuk ke negeri Jepang. Di Tokyo Camii, atau dikenal juga Masjid
Tokyo, Imam Ensari Yenturk membacakan ayat-ayat Al-Quran mengiringi kedamaian,
para jamaah termasuk seorang pria Jepang setengah baya, bersujud menghadap
ka'bah.
Tokyo Camiee & Turkish Cultural Center atau
dikenal dengan Masjid Tokyo yang terletak di Shibuya Ward dengan arsitek
Utsmani dan kaligrafi Arab yang indah merupakan salah satu masjid bagi
komunitas Muslim di Jepang.
Sekalipun jumlah Muslim di Jepang masih kecil, namun berkembang pesat.
Diperkirakan jumlahnya sekitar 110.000 hingga 120.000, termasuk sekitar 10.000
Muslim asli Jepang.
Masyarakat Muslim di Jepang, beberapa waktu lalu
tersinggung dengan stigma negatif, ketika polisi menuduh warga Muslim yang
teridentifikasi sebagai "teroris".
Meskipun kesulitan yang dihadapi oleh kaum Muslim di Jepang, termasuk citra negatif atas Islam dan Muslim terutama setelah 9/11, ditambah dengan sulitnya menemukan makanan halal, jumlah masjid yang masih sedikit, namun jumlah umat Islam di negeri matahari terbit itu meningkat dari hari ke hari. "Terorisme adalah aktivitas yang tidak diterima Islam," kata Yenturk yang juga direktur Tokyo Camii, sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pusat budaya Islam.
Meskipun kesulitan yang dihadapi oleh kaum Muslim di Jepang, termasuk citra negatif atas Islam dan Muslim terutama setelah 9/11, ditambah dengan sulitnya menemukan makanan halal, jumlah masjid yang masih sedikit, namun jumlah umat Islam di negeri matahari terbit itu meningkat dari hari ke hari. "Terorisme adalah aktivitas yang tidak diterima Islam," kata Yenturk yang juga direktur Tokyo Camii, sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pusat budaya Islam.
"Saya sendiri dan banyak umat Islam di Jepang
mencintai negeri ini dan menganggapnya sebagai rumah kami. Mengapa kami
menghancurkan rumah kami sendiri?" tanya Ihsan Bhai, anggot pendiri
Islamic Circle of Japan. Meskipun Islam dianggap agama terbesar kedua setelah
Kristen, jumlah Muslim Jepang masih kecil dibandingkan dengan di AS, di mana
2.454.000 muslim hidup atau di Inggris di mana sekitar 1.647.000 Muslim,
menurut laporan Pew Research center pada tahun 2009.
Hana
Tajima (kanan)
Menurut penelitian
yang dilakukan Hirofumi Tanada, profesor ilmu kemanusiaan di Universitas Waseda
Tokyo mengatakan, ada 58 masjid di Jepang pada April 2009, dau lagi baru
didirikan baru-baru ini, hingga totalnya 60 masjid. Selain masjid, menurutnya,
terdapat lebih dari 100 mushola atau tempat-tempat sholat sementara yang
tersebar di seluruh negeri. Tanada menjelaskan, Islam masuk ke Jepang sekitar
awal tahun 1920-an, ketika ratusan Muslim Turki beremigrasi dari Rusia setelah
Revolusi Rusia 1917.
Pada akhir 1930-an ada sekitar 1.000 Muslim dari berabagai asal-usul, kata Tanada. Gelombang berikutnya datang pada 1980-an, ketika gelombang pekerja migran dari Iran, Pakistan dan Bangladesh datang, secara signifikan meningkatkan populasi Muslim. "Saya percaya perhatian masyarakat akan Islam terus meningkat," kata Tanada. .
Tanada yang telah melakukan penelitian terhadap banyak komunitas Muslim di Jepang, menambahkan, ada beberapa faktor membantu peningkatan jumlah populasi Muslim di Jepang, termasuk pertukaran mahasiswa di Jepang dengan universitas lain di beberapa negeri Muslim, disamping migrasi para pemilik usaha dan pekerja Muslim yang telah menyebarkan Islam.
"Ada banyak orang Islam yang telah menikah dan menetap dengan keluarga mereka di Jepang, dan mereka ingin memperdalam pertukaran dengan komunitas mereka. Dan mereka ingin lebih banyak lagi orang memahami agamanya," tandas Tanada. Lambat laun dunia akan menyaksikan Islam benar-benar akan menyinari seluruh pelosok negeri, insya Allah di bawah naungan Khilafah. Paling tidak hal ini juga diamini oleh salah seorang intelektual Muslim Jepang yang sudah tak asing lagi di Indonesia, yakni Hasan Ko Nakata.
Di depan seratus ribu peserta Konferensi Khilafah pada 2007 lalu ia berbicara tentang Islam dan Khilafah dalam bahasa Jepang. Ko Nakata dengan tegas menyatakan "Saatnya Khilafah memimpin dunia!". Semua ini semakin menambahkan keyakinan bahwa Islam akan meliputi seluruh dunia, termasuk Jepang, insya Allah di bawah naungan Khilafah.
Dalam Sehari, 10 Warga Negara Jepang Masuk Islam Dr Zakaria Ziyad, kepala Lembaga Kaum Muslimin (LKM), di Jepang mengungkapkan, Islamic Center yang terletak di ibukota Jepang, Tokyo tengah merintis pendirian sekolah Islam pertama di Jepang. Ia menambahkan, sebagian data statistik menunjukkan, dalam sehari, sekitar 10 WN Jepang masuk Islam. Dalam wawancaranya dengan surat kabar ‘Khaleej’ yang terbit di Emirat, Ziyad, mengatakan, saat ini telah dibeli sebidang tanah di dekat Masjid Terbesar di Tokyo. Rencananya akan didirikan sebuah sekolah di areal tersebut. Ziyad, yang mengajar sebagai dosen di Tokyo University dan juga ketua Ikatan Mahasiswa Muslim (IMM) di Jepang menyiratkan, kaum Muslimin di Jepang selalu ragu-ragu untuk membangun masjid. Akibatnya, di seantero Jepang baru ada sekitar 50 buah masjid saja yang harus melayani ribuan kaum Muslimin. Padahal, konstitusi Jepang menyatakan tidak ikut campur dalam permasalahan keyakinan agama. Sayangnya, kaum Muslimin masih tidak mampu untuk mendirikan masjid, yang sebetulnya merupakan pintu penting untuk menjaga identitas Islam dan kaum Muslimin di Jepang. Ziyad menyebutkan, di antara masjid paling menonjol yang ada di negeri itu adalah masjid ‘Nagoya’ yang didirikan oleh Kementerian Wakaf, Uni Emirat Arab. Pendiriannya saat itu menelan biaya sebesar 1,5 juta Dolar AS yang didesain dengan gaya arsitektur tercanggih. Selain itu, ada juga masjid Besar Tokyo dan Osaka.
Pada akhir 1930-an ada sekitar 1.000 Muslim dari berabagai asal-usul, kata Tanada. Gelombang berikutnya datang pada 1980-an, ketika gelombang pekerja migran dari Iran, Pakistan dan Bangladesh datang, secara signifikan meningkatkan populasi Muslim. "Saya percaya perhatian masyarakat akan Islam terus meningkat," kata Tanada. .
Tanada yang telah melakukan penelitian terhadap banyak komunitas Muslim di Jepang, menambahkan, ada beberapa faktor membantu peningkatan jumlah populasi Muslim di Jepang, termasuk pertukaran mahasiswa di Jepang dengan universitas lain di beberapa negeri Muslim, disamping migrasi para pemilik usaha dan pekerja Muslim yang telah menyebarkan Islam.
"Ada banyak orang Islam yang telah menikah dan menetap dengan keluarga mereka di Jepang, dan mereka ingin memperdalam pertukaran dengan komunitas mereka. Dan mereka ingin lebih banyak lagi orang memahami agamanya," tandas Tanada. Lambat laun dunia akan menyaksikan Islam benar-benar akan menyinari seluruh pelosok negeri, insya Allah di bawah naungan Khilafah. Paling tidak hal ini juga diamini oleh salah seorang intelektual Muslim Jepang yang sudah tak asing lagi di Indonesia, yakni Hasan Ko Nakata.
Di depan seratus ribu peserta Konferensi Khilafah pada 2007 lalu ia berbicara tentang Islam dan Khilafah dalam bahasa Jepang. Ko Nakata dengan tegas menyatakan "Saatnya Khilafah memimpin dunia!". Semua ini semakin menambahkan keyakinan bahwa Islam akan meliputi seluruh dunia, termasuk Jepang, insya Allah di bawah naungan Khilafah.
Dalam Sehari, 10 Warga Negara Jepang Masuk Islam Dr Zakaria Ziyad, kepala Lembaga Kaum Muslimin (LKM), di Jepang mengungkapkan, Islamic Center yang terletak di ibukota Jepang, Tokyo tengah merintis pendirian sekolah Islam pertama di Jepang. Ia menambahkan, sebagian data statistik menunjukkan, dalam sehari, sekitar 10 WN Jepang masuk Islam. Dalam wawancaranya dengan surat kabar ‘Khaleej’ yang terbit di Emirat, Ziyad, mengatakan, saat ini telah dibeli sebidang tanah di dekat Masjid Terbesar di Tokyo. Rencananya akan didirikan sebuah sekolah di areal tersebut. Ziyad, yang mengajar sebagai dosen di Tokyo University dan juga ketua Ikatan Mahasiswa Muslim (IMM) di Jepang menyiratkan, kaum Muslimin di Jepang selalu ragu-ragu untuk membangun masjid. Akibatnya, di seantero Jepang baru ada sekitar 50 buah masjid saja yang harus melayani ribuan kaum Muslimin. Padahal, konstitusi Jepang menyatakan tidak ikut campur dalam permasalahan keyakinan agama. Sayangnya, kaum Muslimin masih tidak mampu untuk mendirikan masjid, yang sebetulnya merupakan pintu penting untuk menjaga identitas Islam dan kaum Muslimin di Jepang. Ziyad menyebutkan, di antara masjid paling menonjol yang ada di negeri itu adalah masjid ‘Nagoya’ yang didirikan oleh Kementerian Wakaf, Uni Emirat Arab. Pendiriannya saat itu menelan biaya sebesar 1,5 juta Dolar AS yang didesain dengan gaya arsitektur tercanggih. Selain itu, ada juga masjid Besar Tokyo dan Osaka.
Shalat
Berjamaah di Masjid Jepang
Sejumlah
masjid dan mushalla yang ada di Jepang kekurangan imam dan para khatib yang
seharusnsya dapat memberdayakan kaum Muslimin Jepang dan mengenalkan kepada
mereka prinsip-prinsip agama. Kebanyakan Dai kaum Muslimin yang dikirim
negara-negara Arab dan Islam tidak menguasai bahasa Jepang. Zakaria
mengingatkan, negeri Sakura tersebut amat memerlukan seorang Mufti yang
bersedia tinggal di tengah kaum Muslimin di Jepang agar dapat memberikan fatwa
agama yang benar kepada mereka. Ia mengatakan, semua orang akan mengenal
seberapa besar problematika yang dihadapi manakala mengetahui bahwa jumlah imam
yang ada saat ini di Jepang tidak lebih dari 5 orang saja.!! Ia menyebutkan,
salah satu organisasi Islam di Jepang telah membeli sebidang tanah di dekat
ibukota Jepang, Tokyo. Di atas tanah itu, didirikan sejumlah pekuburan yang
sedianya menjadi tempat kaum Muslimin yang meninggal dunia dikuburkan secara
gratis. Hal ini, mengingat harga tanah di Jepang amat mahal. Demikian pula,
dapat menguburkan kaum Muslimin sesuai dengan syariat mereka. Sebab orang-orang
Jepang membakar jenazah orang-orang yang meninggal dunia di kalangan mereka.
Zakaria mengimbau kepada negara-negara Arab dan Islam agar membantu kaum
Muslimin Jepang dengan mengirimkan para Dai yang bekerja menyebarkan
pengetahuan Islam. Dalam waktu yang sama, ia juga meminta yayasan-yayasan
dakwah Islam besar untuk meningkatkan kerja kerasnya di Jepang. Hal ini
mengingat negeri matahari itu dinilai sebagai ladang yang subur untuk penyebaran
dakwah Islam. Ziyad mengatakan, masyarakat Jepang tidak menyimpan rasa benci
terhadap Islam ataupun kaum Muslimin. Belum pernah terjadi, ada seorang Muslim
yang mengalami kesulitan atau masalah, baik ia seorang WN pribumi Jepang maupun
warga pendatang. Ia menyiratkan, pemerintah dan rakyat Jepang memberikan kaum
Muslimin kebebasan total dalam menjalankan syiar agama mereka. Ia juga
mengatakan, Islam masuk ke Jepang sudah sejak 200 tahun lalu melalui para
pedagang Muslim.
Seorang
Muslim Asli Jepang Mengumandangkan Adzan
Sebagian WN
pribumi Jepang yang masuk Islam di luar negaranya kembali ke sana menyebarkan
Islam. Jumlah kaum Muslimin dari WN pribumi Jepang ada sekitar 10.000 orang.
Sedangkan kaum Muslimin non WN asli Jepang dari kalangan pendatang yang tinggal
di Jepang mencapai 150.000 orang Muslim. Sedangkan mengenai aktifitas LKM dan
IMM di sana, Zakaria mengatakan, lembaga itu didirikan untuk mengurusi
permasalahan kaum Muslimin di Jepang. Sedangkan IMM didirikan tahun 1960 dengan
tujuan memperhatikan para mahasiswa Muslim yang belajar di Jepang.
Pemuka
Islam di Jepang
Di samping
itu, menyediakan buku-buku tentang pengetahuan Islam dan memberikan kemudahan
bagi kaum Muslimin dalam menjalankan keseharian mereka. Begitu pula, berkat
koordinasi dengan sejumlah lembaga-lembaga Islam, di antaranya Lembaga Kaum
Muslimin, keduanya sama mengawasi
anak-anak generasi baru dari kalangan kaum Muslimin. Di samping itu, IMM juga
menyediakan ‘Islam Guide’ untuk membantu para pemuda Islam mengenal
lokasi-lokasi makanan halal dan menjalankan syiar-syiar dan ibadah-ibadah
Islam. Kehilangan identitas Islam merupakan problem paling krusial yang
dihadapi generasi-generasi baru Islam Jepang. Demikian seperti diungkapkan
Zakaria yang menjelaskan, bahwa penyebab hal itu adalah karena tidak adanya
satu sekolah Islam pun di Jepang hingga saat ini.!
Sumber: muslimdaily.net.
Islam memang sudah dipeluk oleh
sebagian besar umat di dunia, termasuk Jepang. Di negeri Sakura, islam
merupakan agama yang sudah tidak asing lagi. Di negara ini bahkan cukup banyak
berdiri masjid.
Hal
ini memang memudahkan bagi setiap muslim dan muslimah dalam beribadah jama’ah.
Meski demikian, di Jepang jarang sekali bangunan masjid yang mewah. Kebanyakan
seperti rumah atau apartemen atau bangunan yang disewa beberapa orang. Jepang adalah
negara yang melarang keributan. Oleh sebab itu, tidak ada suara adzan yang
terdengar melalui pengeras suara. Suara adzan hanya terdengar di dalam ruangan.
Jadi, sebagai muslim di Jepang harus mengandalkan jam sebagai pengingat sholat.
Di Jepang, komposisi terbesar penduduk muslim di sana adalah warga
Inonesia. Tercatat banyak sekali warga negara Indonesia yang menetap di sana.
Umumnya menetap di kota-kota besar seperti Hokkaido, Tokyo, Osaka dan lain
sebagainya. Masuk akal, karena warga Indonesia yang berada di Jepang sekitar
20.000 orang. Dan angka ini cukup tinggi. Hal ini mungkin dipengaruhi
oleh hubungan antara Indonesia dan Jepang saat ini sedang baik, banyak
sekali kerja sama yang dilakukan seperti program pertukaran pelajar dan
sebagainya.
Jepang
tidak pernah mengelompokkan seseorang dari segi agamanya. Jadi, tidak heran
jika di Jepang pemeluk islam tersebar ke segala penjuru. Tidak ada kawasan yang
dominan. Tidak seperti China yang memiliki kampung khusus yang jadi pemukiman
para pemeluk islam, di Jepang justru bebas ingin tinggal di mana. Dan mereka
juga berbaur dengan tetangganya, siapapun itu. Mungkin karena di Jepang tidak
memiliki fanatisme, jadi, setiap warga bisa merasa lebih bebas tanpa perlu
hidup bergerombol dalam komunitasnya.
Tidak seperti Indonesia yang memiliki jadwal sholat teratur, Jepang
rupanya berbeda. Di Jepang, waktu shubuh kadang jam 02.40 dan kadang jam 05.20.
Hal ini juga mempengaruhi jadwal dan lamanya waktu puasa. Namun saat ini, di
Jepang telah ada software yang bisa diinstal sebagai pengingat sholat
dan waktu shahur berbuka. Setidaknya, muslim di Jepang sudah merasa lebih mudah
dalam hal ibadah.
Sejarah Islam di Jepang
Tidak ada catatan yang jelas maupun jejak sejarah yang
jelas mengenai kontak antara Islam dan Jepang serta kapan persisnya Islam masuk
ke Jepang. Tapi setidaknya dapat diketahui bahwa Islam masuk ke Jepang melalui
penyebaran ide/pemikiran religius dari Barat (Western) pada tahun 1877. Pada
masa itu kisah hidup Nabi Muhammad SAW diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Hal ini menyebabkan Islam mampu hadir dan diterima di tengah kalangan
intelektual Jepang, walaupun Islam pada saat itu hanya dipandang sebagai
sebentuk pengetahuan serta bagian dari sejarah budaya. Kontak lain yang juga
tidak kalah penting adalah ketika Turki Ottoman mengirimkan utusan berupa
armada angkatan lautnya ke Jepang pada tahun 1890. Tujuan dari misi diplomatic
ini adalah untuk menjalin hubungan antara dua negara dan untuk saling mengenal
satu sama lain. Armada angkatan laut ini dinamakan “Ertugrul”. Armada ini
kemudian terbalik dan kandas di tengah perjalanan pulangnya.
Dari 600 (enam ratus) penumpang, hanya 69 (enam puluh
sembilan) yang selamat.
Pemerintah maupun rakyat Jepang bersama-sama berusaha
menolong para penumpang yang selamat dan mengadakan upacara penghormatan bagi
arwah penumpang yang meninggal dunia. Mereka yang selamat, akhirnya dapat
kembali ke negara mereka berkat sumbangan yang berhasil dikumpulkan dari
seluruh rakyat Jepang. Peristiwa ini menjadi pencetus dikirimnya utusan
pemerintah Turki ke Jepang pada tahun 1891 (seribu delapan ratus sembilan puluh
satu). Hubungan yang sangat baik dengan Turki ini, juga membawa kemenangan bagi
Jepang dalam peperangan dengan Rusia yang dimulai pada tahun 1904 (seribu
sembilan ratus empat). Dikatakan, pada saat armada kapal kekaisaran Rusia
melintasi laut Baltik, Turki memberitahukan hal tersebut kepada Jepang, dan
karena itu, Jepang meraih kemenangannya. Orang Jepang yang pertama kali masuk
Islam adalah Mitsutaro Takaoka yang menjadi Muslim tahun 1909 dan kemudian
berganti nama menjadi Omar Yamaoka setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah dan
sempat pula mengunjungi Bumpachiro Ariga, dimana di kota yang menjadi bagian
dari negara India itu Omar Yamaoka sempat pula berdagang serta berkenalan
dengan Islam secara lebih mendalam. Setelah cukup lama berinteraksi dengan
masyarakat setempat, Yamaoka akhirnya mengganti namanya lagi menjadi Ahmad
Ariga. Namun para peneliti juga menyatakan bahwa orang Jepang yang pertama kali
masuk Islam bernama Torajiro Yamada. Yamada pernah mengunjungi negeri Turki
sebagai bentuk rasa simpatinya atas kematian para personel armada angkatan laut
Turki yang pernah mengunjungi Jepang. Yamada kemudian memeluk Islam dan
berganti nama menjadi Abdul Khalil. Untuk menyempurnakan Rukun Islamnya, Abdul
Khalil pun menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Kemunculan komunitas Muslim di Jepang dimulai sejak
kedatangan ratusan pengungsi Muslim dari Turki, Uzbekistan, Tadjikistan,
Kirghiztan, Kazakhtan, serta para pengungsi lain yang berasal dari Asia Tengah
serta Rusia saat kebangkitan Revolusi Bolshevik selama Perang Dunia I.
Orang-orang Muslim yang diberi Asylum (hak suaka) oleh pemerintah Jepang
tinggal di beberapa kota utama di Jepang dan kemudian membentuk komunitas
Muslim yang kecil. Sejumlah orang Jepang memeluk Islam setelah berinteraksi
dengan komunitas Muslim tersebut. Dengan adanya komunitas Muslim yang kecil ini
beberapa masjid berhasil dibangun. Masjid Kobe yang dibangun tahun 1935 serta
Masjid Tokyo yang dibangun tahun 1938 merupakan masjid-masjid terpenting di
Jepang. Satu hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hanya sedikit Muslim
Jepang yang dilibatkan dalam pembangunan masjid-masjid tersebut serta tidak ada
satu pun Muslim Jepang yang menjadi Imam di tiap masjid tersebut.
Selama Perang Dunia II, sebuah “Islamic Boom” terjadi
di Jepang. Trend ini dibawa oleh pemerintahan militer melalui berbagai macam
organisasi serta research center yang concern ke kajian seputar Islam serta Muslim
World. Dengan kata lain bahwa selama Perang Dunia II, terdapat lebih dari 100
buku serta jurnal kajian seputar Islam yang dipublikasikan di Jepang. Namun
sayangnya berbagai macam organisasi serta research center yang tumbuh subur
tersebut tidak berada di bawah control atau dikelola orang Islam sehingga para
pengkaji Islam ini bisa memakai nama Islam untuk tujuan apapun. Padahal tujuan
para pengkaji Islam ini semata-mata hanyalah untuk menjadikan militer Jepang
mendapatkan pengetahuan yang dalam serta wawasan yang luas tentang Islam dan
Muslim di negara-negara jajahan Jepang di China serta Asia Tenggara. Akibatnya,
setelah Perang Dunia II berakhir tahun 1945, berbagai organisasi serta research
center ini menghilang dengan cepat.
“yang lain terjadi akibat adanya “Arab Boom” setelah
terjadinya peristiwa “oil shock” tahun 1973. Pada saat itu King Faisal
menaikkan harga minyak sehingga negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat
kelimpungan dan perekonomiannya sempat mengalami decline (kemerosotan). Media massa
Jepang melakukan pemberitaan besar-besaran mengenai Muslim World secara umum
dan Arab World secara khusus setelah menyadari pentingnya negara-negara Arab
bagi ekonomi Jepang. Dengan adanya pemberitaan besar-besaran ini banyak orang
Jepang yang sebelumnya tidak tahu apa-apa mengenai Islam mendapat kesempatan
untuk mengenal Islam lewat tampilan suasana penyelenggaraan ibadah Haji di
Mekah serta mendengar suara adzan dan bacaan Al-Quran. Di samping banyaknya
upaya sungguh-sungguh untuk mempelajari Islam dan banyak yang memeluk Islam.
Namun dengan berakhirnya efek oil shock, maka berakhir pula segala nostalgia
ini. Ketertarikan orang-orang Jepang pada Islam menghilang secara cepat.Islamic
Boom”
Menurut salah seorang Muslim Jepang, Nur Ad-Din Mori,
beberapa tahun mendatang akan terjadi perkembangan Islam yang signifikan di
Jepang. Hal ini ditandai dengan kembalinya lima pelajar Muslim ke Jepang
setelah mereka menyelesaikan studinya tentang Islam di negara-negara Arab. Dua
lulusan berasal dari Umm al-Qura University, Mekah, satu lulusan berasal dari
Islamic University, Madinah, dan satu lagi berasal dari Dawa College, Tripoli
dan terakhir berasal dari Qatar University. Meskipun para pelajar yang concern
ke studi Islam ini jumlahnya tidak signifikan, namun hal itu sudah cukup bagus
mengingat sebelumnya hanya ada enam pelajar yang concern ke Islamic Studies
selama 20 tahun terakhir. Islam merupakan sebuah agama yang memberi penekanan
pada pentingnya ilmu dan kita tidak dapat menegakkan Islam tanpa memahaminya (belajar).
Nori merasa bahwa segenap upaya yang dilakukan untuk mengembangkan Islam di
Jepang sekarang ini mengalami sedikit penurunan. Mori juga mengeluhkan
permasalahan lain yang dihadapi oleh para Muslim di Jepang : hanya ada sedikit
orang yang bisa memberi pengajaran tentang Islam kepada masayakat local dengan
menggunakan bahasa Jepang. Sejarah dakwah di Jepang pada 14 tahun terakhir
didasarkan pada upaya-upaya Muslim asing (orang-orang Muslim yang berasal dari
luar Jepang) yang tinggal di Jepang. Mereka umumnya membentuk komunitas kecil
serta menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keislaman di Jepang, sambil menuntut
ilmu atau bekerja di Jepang.
Setelah Perang Dunia II, komunitas Muslim Turki
merupakan komunitas terbesar di Jepang. Jepang pasca perang merupakan sebuah
negara yang terkenal dengan simpatinya yang besar terhadap orang-orang Muslim
yang berasal dari Asia Tengah, menganggap mereka sebagai sekutu Uni Soviet.
Pada saat itu terdapat beberapa orang Jepang yang bekerja sebagai mata-mata
yang mengadakan interaksi langsung dengan komunitas Muslim ini. Beberapa
diantaranya terbuka matanya tentang Islam dan kemudian memeluk Islam setelah
perang berakhir. Ada juga yang pergi ke Asia Tenggara seperti Malaysia sebagai
tentara selama Perang Dunia II berlangsung. Ketika menembaki wilayah Malaysia
dari udara, sang pilot Jepang ini menginstruksikan anak buahnya untuk
mengucapkan kalimat Tauhid “Laa Ilaha illallohu”. Dan ketika mereka ditembak
jatuh oleh tentara musuh di wilayah Malaysia, mereka melontarkan kalimat Tauhid
agar diberi perlakuan yang baik oleh penduduk setempat. Dan memang mereka
diberi perlakuan yang layak. Para tentara Jepang yang menetap di Malaysia ini
akhirnya tetap menjaga kalimat Tauhid itu sampai sekarang. Mereka disebut
Muslim generasi tua. Mereka menjadi sebuah kelompok minoritas Muslim Jepang
pasca perang, dan hidup bersama-sama dengan komunitas-komunitas Muslim yang
berasal dari negara lain, yang pada saat itu baru terbentuk. Secara umum,
orang-orang Jepang pada saat itu mempunyai prasangka negative (prejudice) yang
kuat terhadap Islam dan pengetahuan serta pemahaman mereka mengenai komunitas
internasional amatlah terbatas. Sebagai contoh, dalam sebuah artikel yang
dimuat di sebuah majalah tahun 1958, lima pilar Islam (rukun Islam) digambarkan
dengan membuat judul “The Strange Customs of Mohammedans (Adat-Istiadat
Muhammad yang Aneh)”
Orang-orang Jepang memiliki sebuah stereotip terhadap
citra Islam sebagai sebuah agama aneh yang berasal dari negara-negara
berkembang. Bahkan pada saat sekarang pun, meskipun telah dilakukan perbaikan,
citra semcam ini belum bisa dihapus sepenuhnya. Beberapa tahun yang lalu,
seorang penulis terkenal yang concern dalam bidang social mengatakan pada salah
satu program acara TV bahwa Islam merupakan sebuah agama yang pengikutnya
menyembah matahari.
Invasi Jepang terhadap China dan negara-negara Asia
Tenggara selama Perang Dunia II menyebabkan orang-orang Jepang dapat
berinteraksi dengan orang-orang Muslim. Orang-orang Jepang yang memeluk Islam
karena interaksinya dengan orang-orang Muslim di negara-negara yang mereka
invasi menjadi komunitas yang mapan pada tahun 1953 dengan terbentuknya
organisasi Muslim Jepang yang pertama kali yakni Japan Muslim Association di
bawah kepemimpinan almarhum Sadiq Imaizumi. Anggota-anggotanya yang pada saat
pengukuhan berjumlah 65 orang bertambah menjadi dua kali lipat sebelum Sadiq
Imaizumi meninggal. Presiden Japan Muslim Association adalah almarhum Umar
Mita, seorang pemimpin yang penuh dedikasi. Mita merupakan tipikal Muslim
generasi tua, yang belajar Islam dalam wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Jepang (wilayah invasi). Dia pada saat itu bekerja di perusahaan Perkeretapian
Manshu, yang sebenarnya turut mengontrol wilayah yang diinvasi oleh Jepang yang
berada di sebuah propinsi yang terletak di timur laut China. Melalui
interaksinya dengan Muslim China, dia akhirnya yakin soal kebenaran Islam dan
akhirnya memeluk Islam. Ketika dia kembali ke Jepang setelah perang berakhir,
dia menunaikan ibadah Haji. Untuk pertama kalinya, Mita menerjemahkan Al-Quran
ke dalam bahasa Jepang agar sesuai dengan perspektif Muslim. Jadi hanya setelah
Perang Dunia II-lah bisa dikatakan bahwa sebuah komunitas Muslim Jepang yang
sejati telah benar-benar terbentuk. Terlepas dari sukses awalnya, untuk selanjutnya
perkembangan Japan Muslim Association mengalami kesulitan merekrut anggota.
Walaupun banyak organisasi Islam yang didirikan sejak
tahun 1900-an, masing-masing hanya memiliki sedikit anggota yang aktif. Tidak
ada estimasi yang dapat dipercaya (ekurat) tentang populasi Muslim Jepang. Data
yang menyatakan bahwa jumlah total Muslim Jepang adalah 30.000 orang terlalu
dilebih-lebihkan. Beberapa orang menyatakan bahwa jumlah total populasi Muslim
Jepang sebanyak hanya ada beberapa ratus orang. Mungkin ini merupakan jumlah
Muslim Jepang yang benar-benar mempraktekkan Islam. Ketika diminta untuk
memberikan estimasi mengenai jumlah Muslim Jepang yang sebenarnya, Abu Bakar
Marimoto mengatakan bahwa total jumlah mereka seluruhnya seribu orang, jika
kita tidak melakukan pengecualian terhadap mereka yang masuk Islam karena
pernikahan dan mereka yang tidak mempraktekkan Islam dengan sungguh-sungguh,
mungkin jumlahnya mencapai beberapa ribu orang.
Rupanya perkembangan yang tergolong lambat ini
merupakan akibat dari lingkungan eksternal. Atmosfer agama tradisional Jepang
dan kecenderungan pembangunan negara Jepang yang terlalu materialistic juga
perlu dijadikan bahan pertimbangan mengapa perkembangan Islam di Jepang lambat.
Terdapat perbeadan orientasi antara generasi Muslim Jepang yang lama dengan
yang baru.
Bagi generasi Muslim Jepang yang lama, Islam disamakan
dengan agama yang ada di Malaysia, Indonesia atau China dan yang lainnya. Namun
bagi generasi Muslim Jepang yang baru, negara-negara Asia Tenggara dan Timur
ini tidak terlalu menarik, karena orientasi mereka adalah Barat, dan mereka
lebih dipengaruhi oleh Islam seperti yang ada di negara-negara Arab. Muslim
Jepang generasi lama sudah pernah hidup berdampingan dengan Muslim non-Jepang
dan hal ini merupakan sebuah contoh yang bagus akan adanya semangat
persaudaraan. Namun di sisi lain kita tidak bisa menafikan adanya efek samping
dari ini semua, yakni islam menjadi sesuatu yang asing bagi orang Jepang pada
umumnya. Bagaimana bisa menaklukkan dinding penghalang ini merupakan sebuah
persoalan yang harus dipecahkan. Hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab
oleh Muslim Jepang generasi baru. Ketika berkunjung ke negara-negara Muslim,
pertanyaan yang selalu diajukan oleh audien adalah “Berapa persen orang Jepang
yang Muslim dari seluruh total populasi?”.
Sejarah perkembangan Islam di Jepang menunjukkan bahwa
terdapat gelombang orang-orang yang memeluk Islam. Faktanya, kampanye-kampanye
religius yang sudah banyak dilakukan tidak terlalu banyak menuai sukses dalam
menyebarkan “agama baru” ini. Data statistic mengindikasikan bahwa 80 % dari
total populasi percaya pada Buddhism atau Shintoism dimana 0,7 % adalah
penganut Nasrani. Hasil terakhir yang diperoleh berdasarkan polling yang
dilakukan oleh majalah bulanan Jepang menyatakan bahwa terdapat sebuah
gelombang protes yang penting seputar keberadaan agama. Hanya satu dari empat
orang Jepang percaya akan dogma-dogma agama. Kurangnya kepercayaan terhadap
dogma-dogma agama umumnya terjadi pada kaum muda Jepang umur 20 tahun dengan
angka mencapai 85 %. Para pelaku dakwah yang direpresentasikan oleh komunitas
Muslim di Jepang dengan estimasi jumlah mereka sebanyak 100 ribu orang sendiri
dirasa amat kecil jika dibandingkan dengan total populasi penduduk Jepang yang
mencapai lebih dari 20 juta orang. Para pelajar dan mahasiswa bersama dengan
para pekerja yang berada dalam situasi genting melakukan perluasan segmen
komunitas mereka. Mereka terkonsentrasi di kota-kota besar seperi Hiroshima,
Kyoto, Nagoya, Osaka dan Tokyo namun jarang yang terorganisir secara rapi dalam
unit-unit yang mapan untuk melakukan program-program dakwah yang efektif.
Faktanya, asosiasi para pelajar Muslim serta masyarakat local mengorganisir
camp-camp secara periodic serta melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
pemahaman bagaimana mengajarkan Isam secara benar dan tepat serta untuk
memperkuat hubungan persaudaraan diantara sesama Muslim.
Tidak ada kelanjutan dari upaya-upaya untuk bertahan
dengan situasi yang menuntut penyesuaian-penyesuaian bagaimana di satu sisi
harus menjalani gaya hidup yang modern dan di sisi lain harus menyeru orang
pada perbaikan jiwa agar tercipta keseimbangan hidup. Kesulitan-kesulitan yang
kemudian dihadapi oleh orang-orang Muslim adalah dalam hal pengadaan fasilitas
komunikasi, perumahan, pendidikan anak, atau makanan halal serta buku-buku
Islam yang pada saat itu, tahun 1980-an masih sangat sulit. Dan hal ini
merupakan factor-faktor tambahan yang menjadi penghalang bagi jalannya dakwah
di Jepang. Kewajiban untuk berdakwah seringkali dirasakan sebagai kewajiban
seorang Muslim untuk mengajarkan Islam kepada non-Muslim. Dan banyak Muslim
yang merasa bahwa kegiatan mereformasi (islaah) serta memperbaharui (tajdid)
itu amat diperlukan, sehingga otomatis hal tersebut juga mempengaruhi bentuk-bentuk
dakwah yang dilakukan oleh komunitas-komunitas Muslim yang eksis di Jepang.
Sebuah kondisi yang menuju perbaikan serta kemajuan
dalam hal pengetahuan Islam serta kehidupan (living condition) demi
keberhasilan dakwah amat diperlukan di Jepang. Satu hal yang harus dipahami
adalah bahwa jika tindakan pengabaian serta ketidakpedulian oleh warga negara
Jepang yang Muslim terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan persoalan
jamaah dirubah, maka resiko yang harus ditanggung komunitas akan bisa diatasi
dan dicairkan melalui distorsi keyakinan Islam yang amat hebat, yang terus
tumbuh. Kemungkinan tersebut pada kenyataannya bersentuhan dengan keterbukaan
permanent orang-orang muslim terhadap pengaruh adat-istiadat Jepang dan
ritual-ritual tradisional seperti menundukkan kepala amat dalam serta
berpartisipasi secara kolektif dalam acara-acara yang bersifat religiuis dan
berkunjung ke kuil. Mungkin permasalahan yang muncul adalah ketika keterlibatan
pada anak Muslim dalam perayaan-perayaan semacam itu akan menjadikan mereka
target empuk transmisi dan penanaman budaya non-Islam dan kebiasaan soaial.
Komunitas Islam di Jepang amat membutuhkan kehadiran lembaga-lembaga Islam di
seluruh Jepang.
Terdapat upaya-upaya permanent untuk membangun atau
merubah unit-unit pemukiman menjadi masjid-masjid di banyak kota dan dengan
pertolongan dari Allah Yang Maha Kuasa, juga ingin membangun
perusahaan-perusahaan yang diharapkan akan menghasilkan buah-buahan.
Terdapatnya miskonsepsi dalam pengajaran Islam diperkenalkan oleh media Barat
hharus diluruskan dengan sebuah pendekatan yang lebih efisien yang diambil
dengan penuh pertimbangan terhadap adanya keistimewaan masyarakat jepang yang
merupakan salah satu masyarakat yang paling terpelajar di dunia. Karena adanya
distribusi yang tidak merata, maka terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jepang
tidak tersedia di ruang public. Literatur Islam benar-benar sulit ditemui di
toko buku atau perpustakaan umum kecuali beberapa essay yang ditulis dalam
bahasa Inggris serta buku-buku yang dijual dengan harga yang relative mahal.
Akibatnya, tidak heran jika kita hanya menemukan bahwa pengetahuan orang-orang
Jepang mengenai Islam hanya terbatas seputar poligami, Sunni dan Syiah,
Ramadhan, Mekah, Allah adalah Tuhan-nya orang Islam, dan Islam adalah agamanya
Muhammad. Akankah Islam bergaung lebih keras di Jepang? Dengan terdapatnya
bukti-bukti yang signifikan mengenai terdapatnya tanggung jawab untuk berdakwah
serta penilaian yang rasional terhadap adanya keterbatasan dan kapabilitasnya,
komunitas Muslim menunjukkan komitmen yang lebih kuat untuk melaksanakan
kewajiban dakwahnya dengan cara-cara yang lebih terorganisir. Di masa yang akan
datang diharapkan masa depan Islam dan para pemeluknya akan lebih baik daripada
sebelumnya, tentunya dengan mengharapkan pertolongan Allah.
Prediksi serta harapan Nur Ad-Din Mori yang dia
gulirkan pada tahun 1980-an ternyata menjadi kenyataan. Sekarang, setelah dunia
memasuki abad ke-21 dan seiring dengan pembangunan negaranya, masyarakat Jepang
menjadi semakin menginternasional. Menjadi bangsa yang terbuka bagi dunia,
Jepang giat memberikan bantuan, termasuk beasiswa bagi para pelajar berprestasi
dari berbagai negara termasuk negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim
seperti Indonesia sehingga tidaklah mengherankan jika mayoritas populasi Muslim
di Jepang adalah orang asing dan yang paling banyak adalah orang Indonesia,
selain India dan Pakistan. Jumlah populasi Muslim Indonesia di Jepang sendiri
mencapai 20.000 (dua puluh ribu) orang.
Populasi Muslim Indonesia di Jepang ini giat melakukan
kegiatan-kegiatan keislaman yang berada di bawah payung berbagai macam
organisasi dan lembaga, mulai dari yang bersifat social semacam PMIJ
(Persaudaraan Muslim Indonesia Jepang), FLP (Forum Lingkar Pena) Jepang, sampai
yang bersifat politis seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Jepang dan KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Jepang. Biasanya orang-orang yang
berafiliasi dalam organisasi serta lembaga tersebut mengadakan kegiatan dalam
bentuk camp-camp yang merupakan salah satu tradisi di sana. Tidak hanya orang
Indonesia saja yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mereka selenggarakan,
ternyata orang-orang Jepang pun tertarik mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.
Setelah terjadi peristiwa teror 11 September 2001 (di New York), masyarakat
Jepang juga memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Islam. Selain
organisasi dan lembaga yang dikelola Muslim asing, Muslim Jepang juga memiliki
organisasi dan lembaga keislaman yang mereka kelola sendiri, seperti Japan Association
of Middle East Studies (JAMES). JAMES ini aktif menyelenggarakan kajian-kajian
(dalam bentuk seminar maupun diskusi) seputar Islam. Dan dari hasil pengkajian
Islam yang intensif dilakukan di kampus-kampus terkenal di Jepang itu lahirlah
sarjana-sarjana Islam Jepang sekaliber Prof. Sachiko Murata, pengarang buku The
Tao of Islam yang terkenal itu. Prof. Sachiko Murata sendiri akhirnya memeluk
Islam setelah belajar Islam di Fakultas Teologi University of Tokyo.
Japan Muslim Association yang sudah berdiri sejak 1953
sendiri sekarang ini sangat giat melakukan penerjemahan dan menerbitkan kitab
suci Al-Quran, Hadits Nabi, serta buku tentang cara sholat. Hal ini merupakan
sebuah kemajuan yang cukup signifikan mengingat beberapa tahun yang lalu untuk merekrut
anggota saja masih sulit dilakukan oleh organisasi pertama yang menjadi
afiliasi utama Muslim Jepang ini.
Selain itu juga ada Hokkaido Islamic Society (H.I.S.)
yang tujuan pendiriannya adalah untuk meayani kebutuhan orang-orang Muslim,
terutama Muslim asing yang tinggal di Hokkaido, jumlahnya kira-kira 150 orang.
H.I.S. merupakan sebuah organisasi non-politis yang concern ke penerapan
ajaran-ajaran Islam (hokum Islam) dengan tetap menghormati hokum yang
diterapkan Jepang. Dengan kata lain, komunitas ini mencoba untuk menjawab
tantangan zaman menggunakan Islam sebagai rujukan (Islam Worldwide). H.I.S.
didirikan tahun 1992 oleh orang-orang Muslim yang menetap di Hokkaido.
Meskipun begitu, orang asli Jepang yang memeluk Islam
masih sangat sedikit, yakni sekitar 70.000 (tujuh puluh ribu) orang saja dari
total populasi penduduk Jepang yang mencapai 120.000.000 (seratus dua puluh
juta) orang. Seorang Guru Besar Fakultas Teologi Universitas Doshisha, Hassan
Ko Nakata, yang memeluk Islam setelah mempelajari Islam di Fakultas Agama Islam
University of Tokyo selama 3 tahun, yang pada 9 Maret 2005 lalu berceramah di
Pesantren Cigadog, mengatakan bahwa perkembangan Islam di Jepang juga banyak
dipengaruhi oleh banyaknya wanita-wanita Jepang yang menjadi Muslim karena
menikah dengan pria Muslim asing. Pemeluk Islam di Jepang adalah bukan sejak
lahir, namun setelah dewasa barulah menjadi pengikut Islam atas kemauan
sendiri. Namun sekali lagi, jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan
dengan total populasi penduduk Jepang.
Saya yakin bahwa ini adalah kesempatan yang paling
baik untuk menyiarkan agama Islam di kalangan Bangsa Jepang. Sebab
ketidaktahuan yang menjalar di belakang benda duniawi telah menyebabkan bangsa
yang menyebut dirinya maju itu menjadi mangsa atau korban kekosongan jiwa. Dan
Islam adalah satu-satunya agama yang sanggup mengisi kekosongan jiwa mereka.
Kalaulah langkah-langkah teratur dilakukan untuk dakwah Islam di Jepang
sekarang, maka tidak akan lebih dari dua atau tiga turunan, seluruh bangsa ini
telah memeluk Islam. Saya menegaskan bahwa usaha serupa akan merupakan
pertolongan yang besar buat Islam di Timur Jauh, sekaligus merupakan nikmat
terbesar bagi kemanusiaan di bagian dunia ini.
Sumber majalah
Al-Mu’tashim
Kehidupan Islam Di Jepang
Jepang sendiri mulai banyak pemeluk islam sejak usai
perang dunia kedua. Banyak sekali tentara yang dinas ke luar negerinya dan
kembali dalam keadaan menjadi muslim. Saat itulah islam mulai berkembang subur
di negeri ini. Dan seperti inilah kehidupan islam di Jepang.
Jepang
Memiliki Banyak Masjid
Toleransi
Beragama
Sepertihalnya
Indonesia, di Jepang juga diberi kemudahan untuk setiap masyarakat dalam
memilih agama. Tidak ada fanatisme, dan hal itu membuat islam berkembang bebas
di sana. Kebebasan beragama itu juga dilindungi oleh pemerintah. Bahkan, warga
Jepang diperbolehkan tidak memiliki agama. Sebab, di Jepang agama tidak
tercatat dalam dokumen apapun. Agama hanya aktivitas yang dijalani
masyarakatnya.
Muslim
Terbanyak di Jepang Adalah Warga Indonesia
Tidak
Ada Kampung Muslim
Memiliki Waktu
Sholat yang Berbeda
Sebagai muslim yang tinggal di Jepang, dibutuhkan
istiqomah yang lebih kuat. Sebab di negeri ini agama dianggap tidak terlalu
penting. Namun, keuntungan dari anggapan itu, islam memiliki jalan untuk
berkembang di sana. Bagaimana menurutmu?
Perkembangan
Islam di Jepang
Mosleminfo, Tokyo–Perkembangan Islam terus berkembang pesat di Jepang, meskipun julahnya masih minoritas di negeri sekura tersebut.
Sebuah sumber seperti dilaporkan Daily Sabah
edisi Ahad (31/5) menyebutkan, diperkirakan jumlah umat Islam di Jepang sekitar
70.000-120.000 orang. ) Sumber lain menyatakan sekitar 110.000-120.000 warga
muslim. Dari jumlah itu sekitar 10.000 adalah warga asli Jepang.
Perkembangan jumlah umat Islam itu, diiringi dengan
berkembangnya lembaga kegiatan keislaman dalam bentuk yayasan Islam dan Dewan
Masjid.
Di antaranya yang cukup terkenal adalah Islamic Center Jepang, Asosiasi
Muslim
Jepang, Federasi
Perdamaian Muslim
Jepang, Jepang
Islamic Trust, Lingkaran Islam Jepang, Masjid Tokyo, Masjid Muslim Kobe, Masjid
Nagoya, Masjid Kanazawa Muslim Society, dan masih banyak yang lain.
Adapun Masjid yang pertama dibangun, yaitu Masjid Kobe
tahun 1935, dengan bantuan pendanaan dari Muslim India. Kemudian tahun 1938
dibangun masjid pertama di ibukota Tokyo, dibangun oleh pendatang Tatar Muslim
yang melarikan diri dari revolusi Rusia. Tatar Muslim merupakan kelompok etnis
terbesar di Jepang pada 1930-an.
Jauh sebelumnya, ada akhir tahun 1870, sebuah Biografi
Nabi Muhammad diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, membantu penyebaran Islam
dan mencapai orang-orang Jepang.
“Adapun awal kedatangan Islam ke Jepang diperkirakan
awal tahun 1900, ketika Muslim Tatar melarikan diri dari tekanan
Rusia,” laporan menyebutkan.
Saat ini terdapat sekitar 200 masjid yang terdapat di
Jepang, dan masih banyak komunitas yang memiliki rencana untuk berusaha
membangun Masjid lainnya dalam waktu dekat.
Pendidikan Islam
Dengan semakin meningkatnya jumlah Muslim di Jepang,
maka semakin meningkat pula kebutuhan komunitas Muslim tersebut. Maka, mulailah
difokuskan pada pendidikan tentang Islam, tujuaanya untuk mengetahui
nilai-nilai Islam secara ilmiah dalam masyarakat yang beragam.
Shumei Okawa, seorang sarjana Muslim berpengaruh,
menjadi tokoh rujukan dalam akademik Islam dan aktif dalam pertukaran studi
Jepang-Islam.
Okawa mencoba menulis terjemahan Al-Quran dalam Bahasa
Jepang saat ia di dalam penjara dengan tuduhan penjahat perang oleh pasukan
Sekutu.
Prof. Toshihiko Izutsu adalah tokoh lain yang mengajar
di Universitas Keio, dan fasih dalam 10 bahasa, termasuk Perancis, Persia,
Sanskerta, Cina, Rusia dan Yunani.
Tahun 1958, Izutsu menyelesaikan terjemahan Al-Quran
dalam bahasa Japang. Karya ini merupakan poin penting dan sebuah prestasi yang
sangat berguna bagi orang-orang Jepang untuk memahami Islam.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
kita harus terus berdoa agar umat islam di jepang terus tumbuh berkembang.
ReplyDelete