Islam di Inggris
Realstreet.co.uk/Al Arabiya Sebuah poster yang ditempelkan di sebuah bus
tingkat di kota London, Inggris mempromosikan Islam yang cinta damai.
LONDON, KOMPAS.com — Jumlah umat Muslim di Inggris untuk kali pertama
menembus angka tiga juta jiwa. Demikian data Badan Nasional Statistik (ONS),
yang dirilis pada akhir Januari 2016. Data ONS menunjukkan, warga Muslim di
Inggris berjumlah 3.114.992 orang pada 2014 atau setara 5,4 persen dari total
populasi. Menurut mingguan Mail on Sunday yang mendapatkan data ONS,
kenaikan jumlah umat Muslim ini disebabkan imigrasi dan tingkat kelahiran.
Di beberapa kawasan di ibu kota London, proporsi penduduk Muslim
mencapai hampir 50 persen, seperti di Tower Hamlets dan Newham di London timur.
Mingguan ini memperkirakan, jika tren ini berlanjut, umat Muslim akan menjadi warga mayoritas di dua kawasan tersebut dalam kurun 10 tahun mendatang. Sementara itu, wilayah di luar kota London yang memiliki proporsi warga Muslim cukup signifikan adalah Blackburn (29 persen), Slough (26 persen), Luton (25,7 persen), Birmingham (23 persen), Leicester (20 persen), dan Manchester (18 persen). Mengomentari data ini, juru bicara Dewan Muslim Inggris mengatakan bahwa data statistik ini menunjukkan keberagaman masyarakat Inggris modern. Islam adalah salah satu agama dengan pertumbuhan tertinggi di Inggris. Pada 1991, jumlah warga Muslim di Inggris tercatat hanya 950.000 jiwa atau sekitar 1,9 persen dari total penduduk.
Mingguan ini memperkirakan, jika tren ini berlanjut, umat Muslim akan menjadi warga mayoritas di dua kawasan tersebut dalam kurun 10 tahun mendatang. Sementara itu, wilayah di luar kota London yang memiliki proporsi warga Muslim cukup signifikan adalah Blackburn (29 persen), Slough (26 persen), Luton (25,7 persen), Birmingham (23 persen), Leicester (20 persen), dan Manchester (18 persen). Mengomentari data ini, juru bicara Dewan Muslim Inggris mengatakan bahwa data statistik ini menunjukkan keberagaman masyarakat Inggris modern. Islam adalah salah satu agama dengan pertumbuhan tertinggi di Inggris. Pada 1991, jumlah warga Muslim di Inggris tercatat hanya 950.000 jiwa atau sekitar 1,9 persen dari total penduduk.
Muslim Inggris Adakan Festival Muslim Pertama
Diskusi
antarmuslimah di Inggris
REPUBLIKA.CO.ID, MALDEN -- Muslim Inggris
menyelenggarakan festival Muslim pertama di kawasan itu. Acara yang dinamakan
Muslim Fest tersebut akan berlangsung pada tanggal 25 September di City Hall Plaza
di Malden, Massachusetts. Direktur Muslim Fest, Mohammad Shadid mengatakan,
festival ini dimaksudkan untuk merayakan keragaman komunitas Muslim dan
menciptakan kesadaran yang lebih besar pada warisan budaya yang ada. "Budaya
dan citra Muslim telah terdistorsi oleh politisi dan para teroris yang tidak
mewakili Islam sama sekali," ujar Mohammad Shadid, seperti dilansir
Cbslocal.com (18/9). Sementara itu, Wali Kota Malden, Gary Christenson
menambahkan, festival ini dapat mempererat silaturahim antarkomunitas Muslim
untuk ke depannya dan menjadi ajang untuk berbagi tradisi dan budaya yang
begitu kaya. Muslim Fest diadakan secara
gratis dan terbuka untuk umum. Acara meliputi pertunjukan musik, tari, puisi,
acara komedi dan layar seni bela diri, serta kegiatan anak-anak dan pasar
tradisional yang menjual karya seni, pakaian dan makanan.
London Lebih Islami daripada Negara Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Islam adalah agama
terbesar kedua di Inggris. Sebagian besar didominasi imigran dari Asia Selatan
(khususnya Bangladesh, Pakistan, dan India) atau keturunan imigran dari wilayah
itu. Ada pula komunitas lain yang berasal dari Timur Tengah, Afghanistan,
Malaysia, dan Somalia serta sebagian kecil dari negara-negara Afrika, seperti
Nigeria, Uganda, dan Sierra Leone. Menurut Sensus Nasional 2011, terdapat 2,7
juta Muslim yang tinggal di Inggris dan Wales, naik hampir satu juta dari
sensus sebelumnya. Sebanyak lima persen dari jumlah itu adalah kalangan dewasa,
sedangkan 9,1 persen merupakan anak di bawah usia lima tahun. Sebagian besar
Muslim bermukim di Bradford, Luton, Blackburn, Birmingham, London, dan
Dewsbury. Selain itu, populasi Muslim juga dapat ditemui di High Wycombe,
Slough, Leicester, Derby, Manchester, Liverpool, dan kota-kota pabrik dari
Northern England. Secara umum, umat Islam di Inggris menikmati kebebasan
menjalankan praktik keagamaan. Sarjana muslim, Maulana Syed Ali Raza Rizvi,
berpendapat bahwa di Inggris Muslim lebih bebas mempraktikkan keyakinan mereka.
Ini bila dibandingkan dengan negara-
negara di Eropa lainnya dan tak sedikit negara-negara Islam. "London lebih
Islami daripada banyak negara Muslim secara umum," ujar Rizvi dalam forum
tokoh lintas agama di London seperti dilansir telegraph.co.uk(9/3).
Acara ini juga dihadiri oleh Kardinal Vincent Nichols,
pemimpin Gereja Katolik Roma di Inggris dan Wales dan Kepala Rabbi Efraim
Mirvis.
Islam di Inggris Semakin Eksis
Sejumlah kota besar di Inggris,
seperti London, Liverpool dan Manchester pemeluk Islamnya terus bertambah.
Badan Statistik di Inggris memprediksikan 10 tahun ke depan daerah-daerah
tersebut mayoritas penduduknya Muslim. Berikut kisah Hisan AM (22), mahasiswi
asal Indonesia yang sejak 2015 lalu sedang kuliah di Institute of Education ,
University College London (UCL). Inggris merupakan negara dengan populasi
Muslim terbanyak ketiga di Uni Eropa, setelah Jerman dan Perancis. Populasi
Muslim di Inggris berdasarkan Kantor Statistik Nasional (ONS) adalah 3 juta
jiwa atau sekitar 5.4% dari total populasi Inggris dan sebagian besar berasal
dari luar Uni Eropa. Hampir setengah populasi Muslim di Inggris (47.2%)
merupakan warganegara Inggris keturunan India dan Pakistan. Kebanyakan dari
mereka merupakan imigran dari Asia Selatan dan Afrika yang datang berbondong-bondong
pada tahun 1950-an hingga 1970-an.
Saat
ini, populasi British Muslims terkonsentrasi di kota London (daerah Tower
Hamlet dan Newham), Bradford, Luton, Birmingham, Leicester, Manchester dan
Liverpool. Hal ini dikarenakan tingginya angka kelahiran di wilayah itu. Di
beberapa daerah di London misalnya, separuh penduduknya Islam dan diprediksi
dalam 10 tahun ke depan daerah-daerah tersebut mayoritas penduduknya Muslim. Di
sisi lain, para mualaf asal Inggris juga berperan banyak pada awal penyebaran
Islam di Inggris. Di antaranya Marmaduke (Muhammad) Pickthall, yakni seorang
novelis yang menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris. Ia terkenal
karena karyanya berupa terjemahan dan penjelasan al-Qur’an. Selain itu, dikenal
juga karena berani menolak melakukan propaganda yang ditujukan kepada Muslim
Inggris untuk mendukung Inggris perang melawan Turki.
Selain
Muhammad Pickthall, mualaf lain yaitu Abdullah Quilliam juga membantu
mendirikan Islamic Centre dan masjid pertama di Liverpool pada tahun 1889 yang
sanggup menampung ratusan orang. Ada juga Lord Stanley anggota parlemen Islam
pertama di Inggris pada tahun 1869. Sementara itu, Lady Evelyn (Zainab)
Cobbold, merupakan Muslimah Inggris pertama yang menunaikan ibadah haji tahun 1933
pada usia 65 tahun. Tidak hanya itu, Muslim Inggris keturunan Pakistan dan
Bangladesh juga semakin banyak terlibat dan memiliki posisi penting di
pemerintahan serta partai politik Inggris. Para Muslim tersebut di antaranya
adalah Baroness Warsi, Muslimah pertama yang duduk di Kabinet pada tahun 2010.
Pernah menjabat Sekjen Partai Konservatif, menteri senior di Kementerian Luar
Negeri dan menteri di Departemen Dalam Negeri. Selain Baroness Warsi, ada pula
Baroness Uddin, Muslimah pertama yang menjabat sebagai anggota parlemen Inggris
pada tahun 1998.Pada saat dilantik sebagai anggota parlemen, beliau menyelipkan
sumpahnya demi “Almighty Allah” dalam ikrar pengambilan sumpah jabatan. Beliau
dikenal karena aktivitasnya dalam pemberdayaan perempuan dan hak-hak penyandang
disabilitas. Ada juga Sajid Javid, politisi Muslim ternama dari Partai
Konservatif; Salma Yacoob, mantan ketua Respect Party serta Lauren Booth, adik
ipar Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris.
Jumlah
mahasiswa Islam di perguruan tinggi yang ada di Inggris cukup banyak. Mereka
membentuk Islamic Societies di kampus-kampus. Banyak universitas yang
menyediakan ruangan untuk shalat bagi para mahasiswa. Beberapa kampus bahkan
juga menyediakan tempat untuk berwudhu.
Di
sisi lain, gambaran menyesatkan tentang Islam dan Muslim di media mendorong
Islamic Societies di kampus-kampus dan para mahasiswa Muslim meluruskan citra
tersebut. Berbagai acara terbuka untuk umum digelar demi memberikan penjelasan
mengenai Islam, sambil terus menginformasikan dan mendidik mahasiswa Muslim
tentang agama mereka sendiri. Islamic Societies di perguruan tinggi aktif
menggelar acara-acara, seperti diskusi mengenai isu-isu Islam dan dunia modern,
halaqah serta Islamic circle (pengajian) mingguan. Bahkan beberapa kali pernah
menyelenggarakan event menarik seperti Islamic Awareness Week yang bertujuan
mengenalkan Islam serta meluruskan kesalapahaman terkait Islam. Beberapa
universitas bahkan pernah membagikan bunga mawar yang di selipkan dengan Hadits-hadits
serta membuka booth untuk para mahasiswi mencoba menggunakan hijab.
Usaha-usaha
yang dilakukan mahasiswa Muslim itu disambut dengan tangan terbuka oleh
mahasiswa Inggris. Walau perbedaan budaya dan bahasa, identitas bersama sebagai
Muslim mampu menjembatani perbedaan tersebut. Untuk urusan makanan, beberapa
kantin di kampus-kampus yang memiliki banyak mahasiswa Muslim juga menyediakan
makanan halal. Apabila tidak ada menu halal di kantin, mahasiswa Muslim dapat
memilih menu vegetarian yang selalu tersedia. Begitu pula di kota-kota dengan
konsentrasi Muslim yang besar seperti London, Birmingham, Manchester,
Liverpool, berbagai daging dengan logo halal dapat ditemukan di swalayan besar.
Toko-toko yang dikelola oleh British Muslims tersebut banyak tersebar di
berbagai kota di Inggris. Peraturan pemerintah mewajibkan semua produk makanan
harus mencantumkan semua isi bahan-bahan di dalam produk tersebut. Hal ini
memudahkan penganut Islam untuk menghindari makanan yang mengandung bahan-bahan
tidak halal. Namun, di Inggris segelintir orang masih saja mendiskriminasi
keberadaan Islam. Hal ini dialami adik teman saya yang pernah mendapat
perlakuan tidak menyenangkan. Mereka diteriaki dan dimaki dengan kata-kata
kasar, dipaksa melepas jilbab, diminta kembali ke negara asal atau dicap
sebagai teroris. Peristiwa itu biasanya terjadi setelah adanya serangan teror
(seperti kasus Charlie Hebdo di Paris) atau dilakukan oleh orang mabuk di
lingkungan yang didominasi warga kulit putih.
SUARA
HIDAYATULLAH-APRIL 2016
Deretan Bangsawan Inggris Yang
Memeluk Islam Di Era Victoria
Beberapa bulan yang lalu publik
muslim dunia telah digemparkan dengan berita terpilihnya seorang Muslim, Sadiq
Khan menjadi walikota London. Pasalnya selama ini inggris dikenal sebagai
Negara yang sangat pro dengan Negara Amerika Serikat. Kabar tersebut juga
memicu perdebatan dari masyarakat luas tentang masuknya islam pertama kali di
inggris.
Seperti yang dilansir oleh Aljazirah
sebenarnya bibit agama Islam sudah lama masuk di
inggris. Tepatnya pada akhir akhir masa Era Victoria, kala itu banyak bangsawan
termasuk beberapa putri kerajaan yang mulai masuk islam. hingga sampai saat ini
bibit tersebut berkembang menjadi populasi muslim yang besar. Saat ini ada
lebih dari 2,7 juta umat muslim yang hidup di inggris dan wales. Nah siapa
sajakah bangsawan dari kerajaan inggris yang mulai masuk islam di akhir era
Victoria. berikut ini kami berikan informasinya.
Berikut Deretan Bangsawan Inggris Yang Memeluk
Islam Di Era Victoria :
1. William Quilliam (1856-1932)
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Agama
Islam di Inggris telah ada sejak beberapa abad silam. Karenanya, tak heran bila
agama yang dibawa Rasulullah SAW mendapat tempat di hati warga Inggris.
Sejumlah tempat ibadah pun akhirnya berhasil didirikan.
Namun, belakangan ini, seiring dengan gencarnya phobia terhadap umat Islam, agama yang mulia ini kerap dijadikan bahan ledekan oleh mereka yang tak memahami Islam. Walau begitu, hal tersebut tak menyurutkan niat seseorang yang diberi hidayah Allah untuk terus menyuarakan Islam. Pada pertengahan abad ke-19, seorang tokoh kenamaan Inggris mencoba memahami Islam. Dan akhirnya, ia pun menemukan kedamaian di dalamnya. Bertempat di sebuah bangunan yang kini sudah tampak kusam. Bahkan, harian The Independent di Inggris, pernah memuat tulisan berjudul "Forgotten Champion of Islam: One Man and His Mosque" yang ada pada edisi 2 Agustus 2007. Bangunan yang terletak di kawasan Brougham Terrace No 8, West Derby Street, Liverpool, Inggris tak ubahnya seperti sebuah rumah hancur. Demikian tulis harian The Independent. Bangunan bercat putih kusam dengan bagian pintu depan yang terlihat reyot dan pintu belakang yang penuh dengan coretan grafiti serta sarang burung dara yang menghiasi bagian atap bangunan dan jamur yang melekat di hampir seluruh permukaan dinding ini menyimpan cerita panjang mengenai Islam di negeri Ratu Elizabeth II ini. Bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah perkembangan Islam di Inggris pada abad ke-19 dan 20 Masehi ini adalah milik William Henry Quilliam. Komunitas Muslim di kota Liverpool sudah sepantasnya berterima kasih kepada William. Berkat jasanya, syiar Islam bisa merambah ke kota yang terletak di bagian barat laut Inggris. Dan, masyarakat Muslim di sana bisa menjalankan ibadah dan berbagai kegiatan lainnya secara bersama di sebuah bangunan yang memadai. Pada awalnya, tepatnya pada 1889, bangunan milik William ini difungsikan sebagai Islamic center dengan nama Liverpool Muslim Institute. Namun, dalam perkembangan berikutnya, bangunan Liverpool Muslim Institute ini juga difungsikan sebagai masjid dan sekolah bagi komunitas Muslim Liverpool. Sejarah mencatat, ini merupakan bangunan masjid dan Islamic center pertama yang didirikan di Inggris.
Namun, belakangan ini, seiring dengan gencarnya phobia terhadap umat Islam, agama yang mulia ini kerap dijadikan bahan ledekan oleh mereka yang tak memahami Islam. Walau begitu, hal tersebut tak menyurutkan niat seseorang yang diberi hidayah Allah untuk terus menyuarakan Islam. Pada pertengahan abad ke-19, seorang tokoh kenamaan Inggris mencoba memahami Islam. Dan akhirnya, ia pun menemukan kedamaian di dalamnya. Bertempat di sebuah bangunan yang kini sudah tampak kusam. Bahkan, harian The Independent di Inggris, pernah memuat tulisan berjudul "Forgotten Champion of Islam: One Man and His Mosque" yang ada pada edisi 2 Agustus 2007. Bangunan yang terletak di kawasan Brougham Terrace No 8, West Derby Street, Liverpool, Inggris tak ubahnya seperti sebuah rumah hancur. Demikian tulis harian The Independent. Bangunan bercat putih kusam dengan bagian pintu depan yang terlihat reyot dan pintu belakang yang penuh dengan coretan grafiti serta sarang burung dara yang menghiasi bagian atap bangunan dan jamur yang melekat di hampir seluruh permukaan dinding ini menyimpan cerita panjang mengenai Islam di negeri Ratu Elizabeth II ini. Bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah perkembangan Islam di Inggris pada abad ke-19 dan 20 Masehi ini adalah milik William Henry Quilliam. Komunitas Muslim di kota Liverpool sudah sepantasnya berterima kasih kepada William. Berkat jasanya, syiar Islam bisa merambah ke kota yang terletak di bagian barat laut Inggris. Dan, masyarakat Muslim di sana bisa menjalankan ibadah dan berbagai kegiatan lainnya secara bersama di sebuah bangunan yang memadai. Pada awalnya, tepatnya pada 1889, bangunan milik William ini difungsikan sebagai Islamic center dengan nama Liverpool Muslim Institute. Namun, dalam perkembangan berikutnya, bangunan Liverpool Muslim Institute ini juga difungsikan sebagai masjid dan sekolah bagi komunitas Muslim Liverpool. Sejarah mencatat, ini merupakan bangunan masjid dan Islamic center pertama yang didirikan di Inggris.
Siapa sebenarnya sosok
William Henry Quilliam ini? Laman Wikipedia menyebutkan bahwa pria kelahiran
Liverpool, 10 April 1856 ini berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya, Robert
Quilliam, adalah seorang pembuat jam. Sejak kecil William sudah mendapatkan
pendidikan yang memadai. Oleh kedua orang tuanya ia disekolahkan di Liverpool
Institute dan King William's College. Di kedua lembaga pendidikan ini, ia
mempelajari bidang hukum. Pada 1878, William memulai kariernya sebagai seorang
pengacara. William tumbuh dan dibesarkan sebagai seorang Kristen. Agama Islam
baru dikenalnya ketika ia mengunjungi wilayah Perancis selatan pada 1882. Sejak
saat itu, ia mulai banyak mempelajari mengenai Islam dan ajarannya.
Ketertarikannya terhadap Islam semakin bertambah manakala ia berkunjung ke
Aljazair dan Tunisia. Berdakwah
Pada 1887, sekembalinya dari mengunjungi Maroko, William merealisasikan keinginannya untuk berpindah keyakinan ke agama Islam. Setelah masuk Islam, ia mengganti namanya menjadi Abdullah Quilliam. Dengan menyandang nama baru ini, William gencar mempromosikan ajaran Islam kepada masyarakat Liverpool. Untuk mendukung syiar Islam di kota Liverpool, ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga khusus bagi orang-orang yang ingin mengetahui dan belajar tentang Islam. Maka, pada 1889, ia pun mendirikan Liverpool Muslim Institute. Guna menarik minat warga kota Liverpool, lembaga yang didirikannya ini tetap buka pada saat hari Natal. Tak hanya sebatas menjadi pusat informasi Islam. Abdullah kemudian memfungsikan bangunan Liverpool Muslim Institute menjadi tempat beribadah bagi komunitas Muslim Liverpool. Bangunan Masjid Liverpool Muslim Institute ini mampu menampung sekitar seratus orang jamaah.
Pada 1887, sekembalinya dari mengunjungi Maroko, William merealisasikan keinginannya untuk berpindah keyakinan ke agama Islam. Setelah masuk Islam, ia mengganti namanya menjadi Abdullah Quilliam. Dengan menyandang nama baru ini, William gencar mempromosikan ajaran Islam kepada masyarakat Liverpool. Untuk mendukung syiar Islam di kota Liverpool, ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga khusus bagi orang-orang yang ingin mengetahui dan belajar tentang Islam. Maka, pada 1889, ia pun mendirikan Liverpool Muslim Institute. Guna menarik minat warga kota Liverpool, lembaga yang didirikannya ini tetap buka pada saat hari Natal. Tak hanya sebatas menjadi pusat informasi Islam. Abdullah kemudian memfungsikan bangunan Liverpool Muslim Institute menjadi tempat beribadah bagi komunitas Muslim Liverpool. Bangunan Masjid Liverpool Muslim Institute ini mampu menampung sekitar seratus orang jamaah.
Pendirian masjid ini
kemudian diikuti oleh berdirinya sebuah perguruan tinggi Islam di kota
Liverpool dan sebuah panti asuhan bernama Madina House. Sebagai pimpinan
perguruan tinggi Islam, Abdullah menunjuk Haschem Wilde dan Nasrullah
Warren. Meski berstatus sebagai lembaga
pendidikan Islam, perguruan tinggi yang didirikan William ini tidak hanya
menerima murid dari kalangan keluarga Muslim saja. Murid dari keluarga
non-Muslim pun diperbolehkan untuk belajar di sana. Guna menarik minat warga
non-Muslim untuk mempelajari Islam, pihak pengelola kerap menyelenggarakan
acara debat mingguan dan komunitas sastra.
William yang sejak muda dikenal aktif sebagai penulis sastra ini berupaya
menarik simpati masyarakat non-Muslim di Liverpool melalui karya-karya
sastranya. Upaya-upaya yang ditempuhnya untuk menyebarluaskan ajaran Islam
melalui karya sastra dan lembaga-lembaga amal yang didirikannya itu berbuah
manis. Dalam rentang waktu sepuluh tahun berdakwah, ia berhasil mengislamkan
lebih dari 150 warga asli Inggris, baik dari kalangan ilmuwan, intelektual,
maupun para pemuka masyarakat. Bahkan,
ibunya sendiri yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai seorang
aktivis Kristen tertarik untuk masuk Islam setelah membaca tulisan-tulisannya.
Berbagai tulisannya mengenai Islam ini ia terbitkan melalui media mingguan The
Islamic Riview dan The Crescent yang terbit dari 1893 hingga 1908. Keduanya
beredar luas secara internasional. Harian The Independent menulis bahwa William
memanfaatkan ruang bawah tanah masjid sebagai tempat untuk mencetak karya-karya
tulisnya.
Disamping itu, ia juga menerbitkan tiga edisi buku dengan judul The Faith of Islam pada 1899. Bukunya ini sudah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa dunia. Ratu Victoria dan penguasa Mesir termasuk di antara tokoh dunia yang pernah membaca bukunya ini. Berkat The Faith of Islam, dalam waktu singkat nama Abdullah Quilliam dikenal luas di seluruh negeri-negeri Muslim. Berkat bukunya ini juga ia kemudian banyak menjalin hubungan dengan komunitas Muslim di Afrika Barat. Berkat karyanya ini pula, ia mampu menerima berbagai penghargaan dari para pemimpin dunia Islam. Dia mendapatkan gelar Syekh al-Islam dari Sultan Ottoman (Turki Usmani), Abdul Hamid II pada 1894 dan diangkat sebagai atase khusus negeri Persia untuk Liverpool. Ia juga mendapat sejumlah hadiah berupa uang dari pemimpin Afghanistan. Uang tersebut ia gunakan untuk mendanai perguruan tinggi Islam miliknya di Liverpool.menyukai buku tersebut dan kemudian membuat salinanya untuk anak- anaknya.
Disamping itu, ia juga menerbitkan tiga edisi buku dengan judul The Faith of Islam pada 1899. Bukunya ini sudah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa dunia. Ratu Victoria dan penguasa Mesir termasuk di antara tokoh dunia yang pernah membaca bukunya ini. Berkat The Faith of Islam, dalam waktu singkat nama Abdullah Quilliam dikenal luas di seluruh negeri-negeri Muslim. Berkat bukunya ini juga ia kemudian banyak menjalin hubungan dengan komunitas Muslim di Afrika Barat. Berkat karyanya ini pula, ia mampu menerima berbagai penghargaan dari para pemimpin dunia Islam. Dia mendapatkan gelar Syekh al-Islam dari Sultan Ottoman (Turki Usmani), Abdul Hamid II pada 1894 dan diangkat sebagai atase khusus negeri Persia untuk Liverpool. Ia juga mendapat sejumlah hadiah berupa uang dari pemimpin Afghanistan. Uang tersebut ia gunakan untuk mendanai perguruan tinggi Islam miliknya di Liverpool.menyukai buku tersebut dan kemudian membuat salinanya untuk anak- anaknya.
2. Lady Evelyn Cobbold (1867-1963)
Lady Evelyn Cobbold Pada tahun 1900, Lady Evelyn
melakukan perjalanan tanpa suaminya. Ia kembali ke Afrika Utara tahun 1911,
pada usia 43 tahun, dan melakukan perjalanan di Mesir. Pada tahun 1912, buku
tentang perjalanannya tersebut diterbitkan dengan judul Wayfarers in the Libyan
Desert. Sejak saat itulah dan seterusnya, pengakuan dirinya sebagai seorang
Muslim semakin meningkat. Lady Evelyn kemudian mengubah namanya menjadi Lady
Zainab.
Setiap musim dingin Lady Zainab mengunjungi Mesir dan sejak tahun 1915
ia menjalin persahabatan dengan Marmaduke Pickhall, dengan seorang Inggris
Muslim, yang menghasilkan salah satu penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa
Inggris yang sangat dihargai.
Pada tahun 1920, informasi yang bersifat anekdot
menyebarkan bahwa masuk Islam-nya Lady Evelyn menjadi penyebab dari
kerenggangan hubungannya dengan keluarga Cobbold. Akhirnya, pada tahun 1922
Evelyn dan suaminya resmi bercerai. Evelyn memperoleh harta gono-gini yang
sangat banyak, termasuk hutan berisi rusa di Glencarron. Harta tersebut
menjadikan dirinya sebagai wanita terkaya di wilayahnya. Setelah kematian
suaminya pada tahun 1929, Evelyn mulai serius untuk melakukan perjalanan haji
ke Mekkah.
Keseriusannya pergi berhaji diwujudkan dengan mengajukan permohonan ke
Hafiz Waba, Menteri Arab Saudi di London, yang kemudian menuliskan surat
permohonan resmi kepada Raja Abdul Aziz di Riyadh. Lama permohonan tersebut
dibalas. Karena bukan tipikal Evelyn untuk menunggu, ia kemudian mengirimkan
surat perkenalan ke Harry St. John (Abdullah( Philby di Jeddah. Philby sendiri
telah menjadi Muslim sejak tahun 1930. Sambil menunggu izin dari Raja, Philby-lah
yang mengatur perjalanan menggunakan mobil ke Madinah. Akhirnya, pada tahun 1933, keinginan evelyn
untuk menunaikan ibadah haji terwujud setelah Raja Abdul Aziz mengabulkan
permohonannya. Demikianlah kisah Lady
Evelyn Cobbold, seorang wanita bangsawan Inggris pertama yang menunaikan haji
ke Mekkah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Lady Evelyn-lah wanita asli kelahiran
Inggris pertama yang melakukan perjalanan haji. Kisah perjalanan haji Evelyn
dituliskan dalam buku yang berjudul Pilgrimage to Mecca (Berhaji ke Mekka).
Dalam sejarahnya, tidak banyak fakta yang ditemukan bahwa Evelyn secara
rutin melaksanakan ibadah shalat. Namun, diyakini bahwa ia telah
mendeklarasikan syahadat dan berhaji menjadi puncak pembuktiannya sebagai
Muslim. Lady Evelyn Zainab meninggal 30 tahun setelah berhaji, tepatnya pada
Januari 1963, salah satu bulan terdingin dalam sejarah Inggris. Evelyn
dimakamkan menurut syariat Islam di kawasan Glencarron. [firmansyah/islampos]
3. Rowland Allanson-Winn (1855-1935)
REPUBLIKA.CO.ID,
Lord Headley Al-Farooq merupakan negarawan dan penulis terkemuka Inggris. Ia
merupakan lulusan Cambrigde. Setelah lulus, ia lebih banyak aktif menjalani
dinas kemiliteran. Karier militernya selesai, Al-Farooq mulai menulis.
Buku yang paling terkenal ia terbitkan salah satunya adalah Jurnal Salisbury.
Jurnal ini berisi cerita tentang kebangkitan Barat terhadap Islam.
Selesai menulis itu, di luar dugaan Al-Farooq justru menjadi Muslim. Ia pun
berganti nama menjadi Syaikh Rahmatullah Al-Farooq.
"Keputusan saya itu dinilai karena saya dipengaruhi umat Islam.
Tapi, bukan itu sebabnya, saya justru menjadi Muslim karena bertahun-tahun
mempelajari Islam," kata Al-Farooq seperti dikutip arabnews, Jumat
(3/5). Al-Farooq begitu gembira ketika
semua teori dan kesimpulan yang didapatnya sesuai dengan ajaran Islam.
"Saya bisa pahami bahwa Yesus lebih dekat dengan Islam ketimbang apa yang
dipahami gereja sekarang ini," kenang dia.
Sebagai satu contoh saja, Al-Farooq menyebutkan
soal syahadat. Dalam Islam, syahadat merupakan satu wujud kesaksian dan
komitmen terhadap Allah dan Rasul-Nya. Namun, hal itu justru diubah menjadi
satu kunci menuju keselamatan.
"Jadi, yang bisa saya tangkap, dalam
pandangan Trinitas, Tuhan itu bisa menjadi seorang yang baik namun juga jahat.
Saya merasa bersyukur melalui Yesus bisa mengetahui kebenaran," kata
Al-Farooq.
4. Marmaduke Pickthall (1875-1936)
Muhammad Marmaduke Pickthall adalah
seorang intelektual Muslim Barat yang terkenal dengan karya terjemahan Alqurannya
yang puitis dan akurat dalam bahasa Inggris. Ia merupakan pemeluk Kristen
Anglikan yang kemudian berpindah agama memeluk Islam. Sosoknya juga dikenal
sebagai seorang novelis, jurnalis, kepala sekolah serta pemimpin politik dan
agama.
Terlahir dengan nama William Pickthall pada tanggal 7 April tahun 1875. Dia berasal dari keluarga kelas menengah di Suffolk, Inggris. Ayahnya Charles Grayson Pickthall adalah seorang Pendeta Anglikan. Karenanya tak mengherankan jika William tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga penganut Kristen Anglikan yang taat.
Ketika usianya menginjak lima tahun, sang ayah meninggal. Tak lama berselang keluarganya pun memutuskan untuk menjual tempat tinggal mereka di Suffolk dan pindah ke kota London. Kepindahan tersebut sempat membuat William depresi dan sakit-sakitan. Sifat pemalu yang ada pada dirinya, membuat dia sulit untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Terlebih lagi ketika ibunya Mary O'Brien memasukannya ke Harrow, sebuah sekolah swasta elite khusus bagi murid laki-laki. Satu-satunya yang menjadi teman penghiburnya saat menimba ilmu di Harrow adalah Winston Churchill.
Saat di Harrow, William mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap ilmu bahasa. Selepas tamat dari Harrow, ia mulai mempelajari sejumlah bahasa, di antaranya Gaelik (bahasa orang Skotlandia) dan Welsh (bahasa orang Wales). Karena kemahirannya dalam penguasaan kedua bahasa ini, maka salah seorang gurunya di Harrow mendaftarkan William untuk mengikuti ujian seleksi penerimaan pegawai di Departemen Luar Negeri. Namun ia gagal dalam ujian. Kegagalan tersebut tidak membuat William patah arang. Ia kemudian menghabiskan waktunya untuk mempelajari bahasa Arab dengan harapan suatu saat ia bisa memperoleh pekerjaan sebagai seorang konsuler di Palestina. Di usianya yang belum genap 18 tahun, ia memutuskan untuk berlayar ke Port Said, sebuah kota pelabuhan yang berada di kawasan timur laut Mesir .
Pembela Muslim .
Perjalanan ke Port Said ini menjadi awal mula petualangannya ke negara-negara muslim di kawasan Timur Tengah dan Turki. Keahliannya dalam berbahasa Arab telah memikat penguasa Ottoman (Turki Usmaniyah). Atas undangan dari pihak Kesultanan Ottoman, William yang kala itu belum menjadi seorang Muslim, mendapat tawaran untuk belajar mengenai kebudayaan Timur. Selama masa Perang Dunia I tahun 1914-1918, William banyak menulis surat dukungan terhadap Turki Usmaniyah. Saat propaganda perang dikumandangkan tahun 1915 yang mengakibatkan pembantaian di Armenia, dia secara terang-terangan menentangnya dan menyatakan bahwa kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada pemerintah Turki atas kejadian tersebut. Pada saat banyak imigran Muslim asal India di London dibujuk oleh Kementerian Luar Negeri untuk menyediakan bahan-bahan propaganda dukungan terhadap Inggris dalam perang melawan Turki, ia tidak bergeming. Ia tetap tegas dengan pendiriannya guna membela saudaranya sesama Muslim. Begitu juga saat komunitas Muslim di Inggris diberikan pilihan apakah setia terhadap sekutu (Inggris dan Prancis) atau justru mendukung Jerman dan Turki, jawaban yang diberikan William cukup mengejutkan. Dia tetap pada pendiriannya tidak akan mendukung negaranya itu. Perjalanan ke negara-negara Islam dan Turki ini, telah membuat William banyak bersentuhan langsung dengan agama Islam. Dari situ kemudian mulai muncul rasa ketertarikan terhadap ajaran Islam. Maka, di tahun 1917 dia memutuskan untuk memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Marmaduke Pickthall.
Terlahir dengan nama William Pickthall pada tanggal 7 April tahun 1875. Dia berasal dari keluarga kelas menengah di Suffolk, Inggris. Ayahnya Charles Grayson Pickthall adalah seorang Pendeta Anglikan. Karenanya tak mengherankan jika William tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga penganut Kristen Anglikan yang taat.
Ketika usianya menginjak lima tahun, sang ayah meninggal. Tak lama berselang keluarganya pun memutuskan untuk menjual tempat tinggal mereka di Suffolk dan pindah ke kota London. Kepindahan tersebut sempat membuat William depresi dan sakit-sakitan. Sifat pemalu yang ada pada dirinya, membuat dia sulit untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Terlebih lagi ketika ibunya Mary O'Brien memasukannya ke Harrow, sebuah sekolah swasta elite khusus bagi murid laki-laki. Satu-satunya yang menjadi teman penghiburnya saat menimba ilmu di Harrow adalah Winston Churchill.
Saat di Harrow, William mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap ilmu bahasa. Selepas tamat dari Harrow, ia mulai mempelajari sejumlah bahasa, di antaranya Gaelik (bahasa orang Skotlandia) dan Welsh (bahasa orang Wales). Karena kemahirannya dalam penguasaan kedua bahasa ini, maka salah seorang gurunya di Harrow mendaftarkan William untuk mengikuti ujian seleksi penerimaan pegawai di Departemen Luar Negeri. Namun ia gagal dalam ujian. Kegagalan tersebut tidak membuat William patah arang. Ia kemudian menghabiskan waktunya untuk mempelajari bahasa Arab dengan harapan suatu saat ia bisa memperoleh pekerjaan sebagai seorang konsuler di Palestina. Di usianya yang belum genap 18 tahun, ia memutuskan untuk berlayar ke Port Said, sebuah kota pelabuhan yang berada di kawasan timur laut Mesir .
Pembela Muslim .
Perjalanan ke Port Said ini menjadi awal mula petualangannya ke negara-negara muslim di kawasan Timur Tengah dan Turki. Keahliannya dalam berbahasa Arab telah memikat penguasa Ottoman (Turki Usmaniyah). Atas undangan dari pihak Kesultanan Ottoman, William yang kala itu belum menjadi seorang Muslim, mendapat tawaran untuk belajar mengenai kebudayaan Timur. Selama masa Perang Dunia I tahun 1914-1918, William banyak menulis surat dukungan terhadap Turki Usmaniyah. Saat propaganda perang dikumandangkan tahun 1915 yang mengakibatkan pembantaian di Armenia, dia secara terang-terangan menentangnya dan menyatakan bahwa kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada pemerintah Turki atas kejadian tersebut. Pada saat banyak imigran Muslim asal India di London dibujuk oleh Kementerian Luar Negeri untuk menyediakan bahan-bahan propaganda dukungan terhadap Inggris dalam perang melawan Turki, ia tidak bergeming. Ia tetap tegas dengan pendiriannya guna membela saudaranya sesama Muslim. Begitu juga saat komunitas Muslim di Inggris diberikan pilihan apakah setia terhadap sekutu (Inggris dan Prancis) atau justru mendukung Jerman dan Turki, jawaban yang diberikan William cukup mengejutkan. Dia tetap pada pendiriannya tidak akan mendukung negaranya itu. Perjalanan ke negara-negara Islam dan Turki ini, telah membuat William banyak bersentuhan langsung dengan agama Islam. Dari situ kemudian mulai muncul rasa ketertarikan terhadap ajaran Islam. Maka, di tahun 1917 dia memutuskan untuk memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Marmaduke Pickthall.
Bahkan sebelumnya William sempat menjadi pembicara pada diskusi yang
diadakan Muslim Literary Society bertajuk 'Islam and Progress' tanggal 29
Nopember 1917 di Notting Hill, London Barat. Setelah memeluk Islam, William
banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan syiar Islam.
Tahun 1919, ia aktif di Biro Informasi Islam yang berkedudukan di London serta
beberapa usaha penerbitan media Islam lainnya seperti Muslim Outlook. Usai
merampungkan novelnya berjudul Early Hours tahun 1920, dia mendapat penugasan
di India sebagai editor di surat kabar Bombay Chronicle. Kemudian di tahun 1927
William pindah ke penerbitan jurnal tiga bulanan Islamic Culture selaku editor
yang berkantor di Hyderabad. Ada satu
lagi sumbangsihnya selama tinggal di Hyderabad terkait dengan upaya menegakkan
syiar Islam. Tahun 1925, Pickthall diundang oleh Komite Umat Muslim di Madras
untuk memberikan kuliah umum tentang segala aspek mengenai Islam. Koleksi dari
bahan-bahan kuliahnya ini sudah dipublikasikan tahun 1927 dengan harapan agar
kalangan non-Muslim lainnya dapat mengerti apa itu agama Islam.
Awal 1935 Pickthall kembali ke Inggris. Tahun 1936 ia berpindah ke St Ives dan meninggal di kota kecil itu pada tanggal 19 Mei 1936. Ia dimakamkan di pemakaman Muslim di Brookwood, Surrey (dekat Woking, Inggris) empat hari kemudian. Oleh kaum Muslim Inggris, Pickthall dijuluki sebagai "pejuang agama" dan "pelayan Islam sejati".
Awal 1935 Pickthall kembali ke Inggris. Tahun 1936 ia berpindah ke St Ives dan meninggal di kota kecil itu pada tanggal 19 Mei 1936. Ia dimakamkan di pemakaman Muslim di Brookwood, Surrey (dekat Woking, Inggris) empat hari kemudian. Oleh kaum Muslim Inggris, Pickthall dijuluki sebagai "pejuang agama" dan "pelayan Islam sejati".
Menerjemahkan Alquran .
Sebenarnya sudah sejak lama saat baru masuk Islam, William mempunyai obsesi menerjemahkan kitab suci Alquran ke dalam bahasa Inggris. Dia merasa adalah tanggungjawab semua umat Muslim untuk memahami Alquran dengan sebenar-benarnya. Namun obsesinya ini baru terealisasi pada tahun 1928, setelah ia berhasil menyelesaikan proyeknya dalam menerjemahkan Alquran. Hasil kerja kerasnya ini kemudian ia terbitkan pada tahun 1930 dan diberi judul 'The Meaning of the Glorious Koran'. Ribuan umat Muslim pun segera mendapat manfaat dari karya Muhammad Marmaduke Pickthall yang lantas dianggap oleh banyak kalangan sebagai karya monumental. Tak hanya itu, umat Muslim pun kemudian menyadari bahwa The Meaning of Glorious Koran diselesaikan di kota Nizamate, Hyderabad, sebuah kawasan yang di Selatan India yang didominasi umat Islam.
Seperti ilmuwan Muslim lainnya, ia tidak menerjemahkan kata Allah SWT dalam Alquran. Ia menulis dalam kata pengantarnya, ''Quran tidak bisa diterjemahkan.'' Jadi, terjemahannya tetap berdampingan dengan teks asli Alquran dalam bahasa Arab. Dalam kata pengantar dalam karyanya ini Pickthall juga menulis mengenai keutamaan Alquran dibandingkan kitab-kitab yang lainnya, "Sebelum memulai mempelajari Alquran, seseorang haruslah menyadari bahwa tidak seperti bahan bacaan lain, ini merupakan sebuah buku yang unik dan berasal dari Yang Mahatinggi, pesan-pesan abadi serta universal. Kandungan isinya tidak merujuk pada tema atau gaya tertentu, melainkan fondasi dari seluruh sistem kehidupan, mencakup segala spektrum permasalahan, yang cakupannya mulai dari ayat-ayat kepercayaan maupun perintah serta sumber pengajaran, kewajiban, hukuman bagi yang melanggar, hukum umum dan pribadi, serta solusi terhadap persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan..cerita kaum di masa lampau teriring apa-apa yang dapat dipetik pelajaran darinya.'' Karya Pickthall ini menjadi karya pertama penulisan makna Alquran dalam bahasa Inggris oleh orang Inggris asli. Selain itu, tulisan Pickthall juga menjadi salah satu dari dua karya terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris yang sangat populer. Karya lainnya ditulis oleh Abdullah Yusuf Ali.
Sebenarnya sudah sejak lama saat baru masuk Islam, William mempunyai obsesi menerjemahkan kitab suci Alquran ke dalam bahasa Inggris. Dia merasa adalah tanggungjawab semua umat Muslim untuk memahami Alquran dengan sebenar-benarnya. Namun obsesinya ini baru terealisasi pada tahun 1928, setelah ia berhasil menyelesaikan proyeknya dalam menerjemahkan Alquran. Hasil kerja kerasnya ini kemudian ia terbitkan pada tahun 1930 dan diberi judul 'The Meaning of the Glorious Koran'. Ribuan umat Muslim pun segera mendapat manfaat dari karya Muhammad Marmaduke Pickthall yang lantas dianggap oleh banyak kalangan sebagai karya monumental. Tak hanya itu, umat Muslim pun kemudian menyadari bahwa The Meaning of Glorious Koran diselesaikan di kota Nizamate, Hyderabad, sebuah kawasan yang di Selatan India yang didominasi umat Islam.
Seperti ilmuwan Muslim lainnya, ia tidak menerjemahkan kata Allah SWT dalam Alquran. Ia menulis dalam kata pengantarnya, ''Quran tidak bisa diterjemahkan.'' Jadi, terjemahannya tetap berdampingan dengan teks asli Alquran dalam bahasa Arab. Dalam kata pengantar dalam karyanya ini Pickthall juga menulis mengenai keutamaan Alquran dibandingkan kitab-kitab yang lainnya, "Sebelum memulai mempelajari Alquran, seseorang haruslah menyadari bahwa tidak seperti bahan bacaan lain, ini merupakan sebuah buku yang unik dan berasal dari Yang Mahatinggi, pesan-pesan abadi serta universal. Kandungan isinya tidak merujuk pada tema atau gaya tertentu, melainkan fondasi dari seluruh sistem kehidupan, mencakup segala spektrum permasalahan, yang cakupannya mulai dari ayat-ayat kepercayaan maupun perintah serta sumber pengajaran, kewajiban, hukuman bagi yang melanggar, hukum umum dan pribadi, serta solusi terhadap persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan..cerita kaum di masa lampau teriring apa-apa yang dapat dipetik pelajaran darinya.'' Karya Pickthall ini menjadi karya pertama penulisan makna Alquran dalam bahasa Inggris oleh orang Inggris asli. Selain itu, tulisan Pickthall juga menjadi salah satu dari dua karya terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris yang sangat populer. Karya lainnya ditulis oleh Abdullah Yusuf Ali.
Posted
by Spirit Jaurney at 11:54 PM
SEJARAH ISLAM DI INGGRIS
Islam mulai tersentuh di
Inggris sekitar abad 16 namun mulai berkembang sekitar abad 18. Awal masuknya
islam ke Inggris berawal dari imigran dari Yaman, Gujarrat, dan
negara timur tengah lainnya. Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun
1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para pendatang
muslim itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk pemukiman baru
di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat Newcastle), London,
dan Liverpool. Lama kelamaan umat muslim yang berada di inggris membuat
masjid untuk beribadah mereka, walaupun hanya beberapa masjid yang baru di
bangun. Umat muslim yang berada di inggris juga banyak melakukan kegiatan
sosial dan partisipasinya di dalam universitas yang ada di inggris. Organisasi-organisasi islam juga mereka
ciptakan di negri inggris, diantaranya organisasi jamaat al-islam, The
Muslim Brotherhood, The Union of Muslim Organization, The Federation of Student
Islamic Societis (FOSIS) dan masih banyak lagi.
Sejarah
Masuk islam abad 16 – 17 di Inggris
Pada abad XVI-XVII kekuatan
armada laut Muslim sangat mendominasi laut Mediterranean. Ekspansi Muslim telah
mencapai Istanbul sebagai pusat imperium Turki Usmani, Aleppo sebagai
jalur penting yang dilalui silk roat, Beirut sebagai pelabuhan
besar yang disinggahi kapal-kapal Eropa, Jerusalem sebagai kota yang banyak
diminati para peziarah; Cairo sebagai kota pusat perdagangan; dan Fez sebagai
kota yang sangat maju dan terkenal pada saat itu. Ketika armada Spanyol dipandang
sebagau ancaman yang menghantui Inggris, Ratu Elizabeth pada pertengahan tahun
1580 tidak ragu-ragu untuk meminta Sultan Murad (penguasa Turki Usmani)
membantu armada laut Inggris melawan orang-orang Spanyol. Ketimbang dengan
negara-negara Eropa, Inggris lebih menyukai menjalin hubungan perdagangan
secara luas dengan negeri-negeri Muslim. Orang Inggris yang pertama kali
memeluk Islam yang namanya tetap bertahan dalam catatan sumber-sumber literatur
Inggris seperti The Voyage Made to Tripoli (1583) adalah John Nelson. Ia
adalah putera perwira rendah anggota pasukan pengawal Ratu Inggris.
Pada tahun 1636 telah dibuka
jurusan bahasa Arab pada Universitas Oxford. Dan diketahui bahwa Raja Inggris
Charles I telah mengoleksi manuskrip-manuskrip yang berbahasa Arab dan Persia.
Perpustakaan Bodleian di Oxford memiliki manuskrip surat al-Walid (Sultan
Maroko) yang ditujukan kepada Raja Charles I. Kekacauan perang sipil mungkin menjadi
pendorong beberapa orang Inggris untuk memutus hubungan tradisi yang baik,
sehingga sebuah catatan yang dibuat tahun 1641 dengan mengacu kepada sebutan
“sebuah sekte penganut Muhammad” (a sect of Mahomatens) dinyatakan “telah
ditemukan di sini, di London”. Pada sekitar tahun 1646 Raja Charles diasingkan
ke Oxford setelah dikepung oleng angkatan bersenjata pimpinan Cromwell.
Pertempuran terburuk pecah dan berakhir pada kekalahan pasukan yang setia
kepada raja. Pada bulan Desember 1648, Dewan Mechanics dari New Commonwealth
menyuarakan sebuah toleransi bagi berbagai kelompok agama termasuk Muslim.
Setahun kemudian, 1649, terjadi even penting dalam perjalanan sejarah Muslim di
Inggris di mana Al-Quran untuk pertama kalinya diterjemahkan di Inggris
oleh Alexander Ross dan kemudian dicetak. Pencetakan itu sampai menghasilkan
edisi kedua. Fakta ini membuktikan bahwa terjemahan al-Quran mengalami
jangkauan sirkulasi yang luas di kalangan masyarakat Inggris.
Ketika Cromwell menjadi penguasa
tunggal Inggris di tahun 1649, acuan kepada Islam dan kaum Muslim menjadi
bagian dari diskusi yang menggejala pada saat itu. Musuh-musuh Cromwell
menyerang kaum revolusioner karena mereka tidak menaruh respek kepada para
pendeta dan menolak ajaran dan pendapat resmi petinggi Gereja Anglikan.
Musuh-musuh Cromwell mencemooh dengan mengatakan, “Sungguh, jika
pengikut-pengikut Kristiani mau bahkan rajin membaca dan mengamati hukum dan
sejarah Muhammad, mereka boleh jadi merasa malu ketika melihat betapa tekun dan
bersemangat para pengikut Muhammad dalam mengerjakan ketaatan kewajiban,
kesalehan dan amal ibadah; betapa tulus ikhlas, suci dan takzimnya di dalam
masjid, begitu taat kepada para ulama mereka. Bahkan orang Turki terhormat
sekalipun tidak akan mencoba melakukan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan
muftinya.” Kaum revolusioner dikritik karena mereka hanya mengikuti
otoritas-otoritas keagamaan yang dideklarasikan oleh mereka sendiri.
Sementara, sultan sekalipun sangat memperhatikan nasihat-nasihat mufti dalam
persoalan keagamaan. Penulis-penulis lain yang tidak menaruh simpati kepada
revolusi Cromwell membandingkan para profesor agama orang-orang Turki dengan
kaum puritan Cromwell. Dan layak diketahui bahwa di kalangan orang dekat
Cromwell terdapat orang-orang hebat seperti Henry Stubbe, sarjana ahli bahasa
Latin, Yunani, dan Hebrew, dan terdapat pula sahabat Cromwell yang lain,
Pocock, seorang profesor yang ahli bahasa Arab di Oxford.
Cromwell dan sekretarisnya,
John Milton, menunjukkan keakrabannya kepada al-Quran. Hal itu tergambar dalam
sebuah surat yang dikirimkan kepada penguasa Muslim Al-Jazair di bulan Juni
1656. Dalam suratnya Cromwell menyatakan: “Cromwell mengharapkan pihak yang
dikirimi surat agar mematuhi persetujuan dagang antara kedua negara
karena tabaiat agama Islam adalah ‘kami sekarang, pada saat ini, merasa perlu
untuk menyukai Anda yang telah memaklumkan diri Anda sendiri sampai saat ini
dalam segala hal untuk menjadi orang yang mencintai kebenaran, membenci kebatilan,
mematuhi amanah dalam perjanjian.’ Kata-kata terakhir menegaskan deskripsi yang
tepat mengenai Islam sebagai sebuah agama yang mengajak kepada kebenaran dan
menanggalkan perbuatan batil.” Cromwell banyak mengutip teks-teks al-Quran
dalam berkomunikasi melalui surat. Tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslim di
seberang lautan, tetapi juga orang-orang Kristen yang tinggal di England dan
kepulauan Inggris selebihnya. Ilmuwan dari Universitas Cambridge, Isaac Newton,
tercatat sebagai orang sangat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim Arab.
Pada tahun 1674, dengan penuh resiko dan keberanian menolak untuk berpegang
pada ajaran suci trinitas. Michael White, penulis biografi Newton menyatakan,
Newton secara fanatik menentang konsep trinitas.
Pada abad XVII teks-teks berbahasa Arab dalam
bidang matematika, astronomi, kimia dan kedokteran merupakan tema sentral bagi
program pendidikan yang lebih tinggi di Inggris. Untuk memperoleh akses
kepada pengetahuan lebih lanjut pada saat itu, bukan hanya penerjemahan yang
dimulai di Oxford dan Cambridge, tetapi juga persiapan untuk melatih sebuah
generasi sarjana yang ahli berbahasa Arab. Seorang pengunjung di Westminster
School mencatat dalam buku hariannya, “Saya mendengar dan melihat sejenis
latihan pada pemilihan para sarjana di Westminster School untuk dikirim ke
Universitas, baik yang berbahasa Latin, Yunani, Hebrew maupun Arab. Kemampuan linguistik sangat penting karena
menurut Isaac Borrow, profesor matematika Cambridge, penguasaan bahasa Arab perlu
untuk penguasaan lebih lanjut pengetahuan-pengetahuan tersebut. Para tokoh
intelektual Muslim yang kenamaan dikenal dengan nama-nama mereka yang sudah
“berbau” Inggris: Alfarabi, Algazel, Abensina, Abenrusd, Abulfeda, Abdiphaker,
Almanzor, Alhazen. Water Salmon termasuk di antara mereka yang menyusun ilmu
fisika praktis (1692) dari ‘Geber Arab’, atau ahli kimia, Jabir bin Hayyan.
Robert Boyle (ahli kimia yang dikenal oleh setiap siswa sekolah)
mempelajari sains dari literatur berbahasa Arab dengan tujuan agar mampu
menghadapi tantangan dari konsepsi tradisional dalam pengetahuan kontemporer.
Newton mewariskan lebih dari sejuta kata dalam subyek kimia dengan kata-kata
asli berbahasa Arab.
Sejarah
Peradaban Islam Mulai Abad 18
Imigrasi muslim ke Inggris
mulai berlangsung pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 melalui pendaratan
para pelaut yang direkrut oleh East India Company (Perusahaan India Timur) dari
Yaman, dan Gujarrat. Saat awal imigran muslim India dan
Pakistan menetap di Inggris,pengaruh warisan kultural kerajaan dan struktur
politik Negara setempat yang saling mendukung memperkuat dorongan Negara
komunalisme. Selama hampir satu abad, umat islam harus belajar hidup dengan
status minoritas dan jauh dari kekuasan politik di anak benua India, masyarakat
inggris pasca perang memberi ruang bagi identitas kebangsaan yang
paralel. Setelah dibukanya terusan Suez
pada tahun 1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para
pendatang muslim itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk
pemukiman baru di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat
Newcastle), London, dan Liverpool. Komunitas muslim di negara itu memiliki akar
budaya yang berbeda satu sama lain. M. Ali Kettani, dalam bukunya
"Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini" mengatakan imigran pertama ke
Inggris adalah orang Yaman dari Aden. Mereka menghimpun diri di Cardif dan
di situ membangun salah satu masjid pertama di negeri itu pada tahun 1870.
Sebelum pergantian abad, datang kelompok muslim lain dari India dan
menetap di dekat London, di sana mereka membangun masjid Shah Jehan di Woking.
Sekitar abad ke-19, sejumlah
pengusaha muslim juga telah berniaga ke kerajaan Inggris. Salah satunya
adalah perusahaan terkenal "Mohamed’s Baths” yang didirikan oleh Sake Deen
Muhamed (1750-1851). Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad ke-19 mulai
masuk juga kelompok intelektual ke Inggris. Hal ini terlihat tatkala pada
periode antara 1893 hingga 1908, sebuah jurnal mingguan bernuansa Islami dengan
nama "The Cresent", mulai disebarkan di Liverpool. Pendiri jurnal ini
adalah seorang muslim keturunan bangsawan Inggris yang bernama William Henry
Quilliam, yang ditengah komunitas muslim dikenal sebagai Syekh Abdullah Quilliam,
yang berprofesi sebagai pengacara. Dia masuk Islam pada tahun 1887 setelah lama
bermukim di Aljazair dan Maroko. william Henry Quilliam (Syekh Abdullah
Quilliam) bahkan memelopori pembangunan sebuah masjid yang sangat aktif dan
menjadi pusat dakwah di wilayah Inggris.
Di samping itu, pada tahun
1930-an, gagasan rencana pembangunan masjid pusat di London juga muncul sebagai
respons atas pembangunan masjid di Paris pada tahun 1926 yangjuga mendapat
perhatian dara Raja Goerge IV pada tahun 1944. Namun, berbagai kendala
seperti terjadinya Perang Dunia II dan masalah yang dihadapi pemerintah lnggris
akibat kemerdekaan India dan Pakistan, menyebabkan pembangunan masjid tertunda
hingga tahun 1970-an. Baru pada tahun 1977, Masjid Pusat London dengan Islamic
Cultural Center (Pusat Kebudayaan Islam)-nya akhirnya diresmikan dan
dewasa ini menjadi terkenal. Pertambahan jumlah masjid dalam
perkembangan-perkembangan selanjutnya di Inggris sesungguhnya mencerminkan
peningkatan jumlah komunitas muslim di Inggris. Peningkatan itu berhubungan
erat dengan tahapan sejarah imigrasi kaum muslim secara besar-besaran dari
berbagai negeri muslim ke Inggris tahun 1950-an, dan sebagai akibat penyatuan
kembali keluarga imigran yang diterapkan awal tahun 1960-an, terutama
dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Selain itu, sehubungan dengan terbitnya
"Commonwealth Immigration Act" (Undang-undang Imigrasi
Persemakmuran), tahun 1962, yang semakin memberikan kemudahan untuk menjadi
warga negara Inggris bagi warga negara bekas jajahan Inggris, juga
turut mendorong laju migrasi ini.
Pola distribusi pemukiman muslim tidak merata,
baik secara geografis maupun etnis. Kendati demikian, ada konsentrasi tertentu,
misalnya penduduk muslim India di West Midlands, Arab dan Iran di Cardif
Liverpool, dan Birmingham. Turki-Cyiprus di wilayah Timur London, serta
Pakistan dan Bangladesh di Bradford. Begitu signifikannya komunitas muslim
Pakistan dan Bangladesh itu di Bradford, sampai orang menyebutnya kota ini
sebagai Islamabad-nya Inggris. Dari perspektif mazhab, muslim di Inggris
mayoritas bermazhab Hanafi, sisanya Syaf i, Ja'fari atau
Ismaili.
Sumber
referensi :
http://peradabanislaminggris.blogspot.com/2013/06/sejarah-peradaban-islam-di-negara.html
http://ilmu-ngawortepak.blogspot.com/2013/03/awal-masuk-dan-perkembangan-islam-di.html
http://www.referensimakalah.com/2011/08/perkembangan-islam-di-inggris-abad-xvi_2468.html
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment