Islam di Filipina
- Selasa, 3
Mei 2016
Islamedia – Filipina merupakan negara di
kawasan Asia tenggara yang pada zaman dahulu kala memiliki populasi Muslim
sangat besar, yakni mencapai angka 98%. Filipina saat ini masuk dalam wilayah
Kesultanan Brunei yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Namun kondisi itu berubah drastis ketika kehadiran
penjajah Spanyol pada tahun 1565, secara perlahan umat Islam mengalami
penindasan dan secara terus menerus jumlah muslim terus mengalami penurunan
yang signifikan. Segala hal yang berkaitan dengan Islam dihilangkan secara
sistematis oleh penjajah Spanyol
Ibukota Filipina yang saat ini bernama Manila
merupakan hasil skenario jahat penjajah Spanyol. Dahulu nama kota ini adalaha
Amanilah yang diambil dari bahasa Arab “Fi Amannillah” yang memiliki arti
“dibawah perlindungan Allah SWT”.
Saat itu kaum muslim Filipina bertekad menjadikan kota
Amanillah (Manila) menjadi kota Islam terbesar se Asia Tenggara. Mereka pun
sudah menerapkan Syariat Islam selama berabad-abad di bawah pengaruh Negara
Khilafah Islam di Timur Tengah. Pekerjaan kaum muslim Filipina saat itu
kebanyakan adalah pedagang, petani, dan nelayan.
Kedatangan penjajah Katolik Spanyol pada tahun 1565
dengan misi Gold, Glory dan Gospel, telah merubah semuanya. 4 tahun kemudian
atau tahun 1569 kota Amanillah direbut oleh penjajah Spanyol. Para penduduk
Muslim kota tersebut mengalami penindasan dan penganiyayaan yang berujung
kepada kematian. Selain itu penjajah Spanyol juga dengan menghalalkan berbagai
macam cara melakukan ancaman kekerasan dan memaksa warga memeluk Kristen
Katolik. Gerakan Kristenisasi saat itu sangan massif dilakukan di wilayah
Filipina Utara dan Tengah.
Muslim Filipinan yang
tidak mau untuk memeluk Katolik kemudian melarikan diri ke
wilayah selatan Filipina untuk menyelamatkan akidahnya. Mereka berhasil membuat
pertahanan yang kuat dan terus melawan Spanyol lewat perang Gerilya. Dari
sinilah kemudian penjajah Spanyol memberi nama kaum muslim Filipina dengan nama
orang Moro. Nama ini diambil dari sebutan kepada keturunan Arab Spanyol yang
beragama Islam yang dahulu menguasai Andalusia ( Spanyol ) yaitu orang Moor.
Aksi
Demonstrasi Muslimah Moro Menuntut Keadilan
Penjajah Spanyol tidak tinggal diam, mereka merekrut
orang-orang Indo Kristen (orang Filipina yang sudah dikristenkan) untuk
berperang melawan kaum muslim yang sebenarnya masih saudara sebangsa mereka.
Perjuangan kaum muslim Filipina baik melawan penjajah
Spanyol maupun dengan orang Indo Kristen, terus berlangsung sampai tahun 1898.
Saat ini Kristen berhasil menjadi agama mayoritas di
Filipina, negeri yang dahulu 98% warganya muslim telah berubah negara kristen.
Populasi pemeluk Islam hanya bersisa 5%, populasi kristen 90%, sisanya memeluk
Budha dan atheis. [islamedia]
Muslim di Filipina Minoritas di Negeri
Sendiri
Islam masuk
ke Filipina sebelum penjelajah Spanyol menginjakkan kaki di tanah negeri ini.
Itu dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara Cina pada zaman Dinasti
Yuan, 1280-1368. Muslim di Filipina biasanya dikenali sebagai masyarakat Moro.
Mereka umumnya berdiam di Pulau Mindanao (pulau kedua terluas di Filipina),
Kepulauan Sulu, Palawan, Basilan, dan pulau-pulau sekitarnya. Secara geografis,
gugusan pulau-pulau ini berada di selatan Filipina, sedangkan bagian utara
negeri ini adalah gugusan Kepulauan Luzon.
Sejumlah literatur menyebutkan,
istilah 'Moro' merujuk kepada kata Moor, Mariscor, atau Muslim. Kata Moor
berasal dari istilah latin, Mauri, sebuah istilah yang sering digunakan
orang-orang romawi kuno untuk menyebut penduduk wilayah Aljazair barat dan
Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di wilayah Filipina dan menemukan sebuah
bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat seperti orang-orang Moor di
Spanyol Andalusia, mereka mulai menyebut orang-orang di Filipina dengan istilah
Moro. Dalam sejarahnya, Islam masuk ke Filipina, tidak lama setelah Islam
berkembang di dunia Melayu. Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya
kepulauan Sulu dan Mindanao pada 1380 M yang dibawa oleh seorang tabib dan
ulama Arab bernama Karimul al Makhdum (Syeikh Makhdum). Banyak pedagang dan dai
Muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum. Mereka berdiam di sana dan mengajarkan Islam
kepada penduduk setempat.
Ini berarti, kedatangan Islam di
Filipina jauh lebih awal daripada kedatangan kolonial Barat, khususnya bangsa
Spanyol yang masuk ke kawasan itu pada 1566 M.
Adalah Raja Baguinda, seorang pangeran dari Minangkabau, Sumatra Barat,
tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan
tersebut. Raja Baguinda tiba di Kepulauan Sulu setelah berhasil mendakwahkan
Islam di Kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas kerja kerasnya, Kabungsuwan
Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, pun akhirnya memeluk Islam. Dari
sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem
pemerintahan dan peraturan hukum, yaitu Manguindanao Code of Law, atau Luwaran
yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan
Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di
Provinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan
ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.
Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada di bawah kekuasaan
pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar datuk atau raja.
Versi lain menyebutkan, Islam
datang di Kepulauan Filipina jauh sebelum kedatangan Villalobos--seorang
penjelajah Spanyol yang memasuki Filipina pada 1542. Islam sudah dikenal di beberapa
daerah di Filipina pada abad ke-8 sampai 10, yakni tatkala Islam mengembangkan
sayap ke segenap penjuru dunia. Ketika itu, saudagar-saudagar Arab sudah
menginjakkan kaki ke kawasan Asia Tenggara, termasuk ke Kepulauan Filipina. Ini
dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara Cina pada zaman Dinasti
Yuan (1280-1368). Disebutkan bahwa pada
kurun ini Kepulauan Jolo di barat daya Mindanao, sudah menjadi pusat
perdagangan, disinggahi saudagar-saudagar Arab, Muangthai, Indonesia, dan
India. Di Jolo, kebudayaan Islam berkembang pesat sementara penduduk asli
Filipina lainnya, termasuk Mindanao, masih terbilang primitif. Para saudagar
Arab pun memperlihatkan pengaruh besar. Mereka pula yang mula-mula mendirikan
kesultanan Islam. Syeikh Abu Bakar, orang Arab kelahiran Makkah,
pada 1450 mendirikan pemerintahan di Buansa (Jolo). Di bawah pemerintahan Abu
Bakar, pengkajian Islam mulai dilaksanakan secara luas. Lembaga-lembaga politik
dibentuk sesuai dengan garis-garis Islam. Para dai dikirim ke luar Buansa untuk
mengislamkan penduduk di sekitarnya. Awal abad ke-15, Raja Baguinda mendirikan
kesultanan di tepi Sungai Kotabato. Islam terus menjalar ke utara dan pada abad
ke-16 pengaruhnya sampai ke Kepulauan Visayas, Teluk Manila. Kemudian, di
sanalah terjadi bentrokan dengan orang Spanyol.
Sejak masuknya orang-orang
Spanyol ke Filipina, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik
ekspedisi ilmiah Ferdinand de Magellans. Spanyol menaklukkan wilayah utara
dengan mudah tanpa perlawanan berarti, tapi tidak demikian halnya dengan
wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan
perlawanan sangat gigih, berani, dan pantang menyerah. Tentara kolonial Spanyol
harus bertempur mati-matian dengan jarak kilometer demi kilometer untuk
mencapai Mindanao-Sulu. Kesultanan Sulu pada akhirnya takluk pada 1876 M. Sekalipun gagal menundukkan Mindanao dan
Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari
teritorialnya. Pada 1898 M, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika
Serikat melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan
diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Ini dibuktikan
dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan
kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, serta kebebasan
mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro.
Namun, traktat tersebut
dianggap hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak,
karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum
revolusioner Filipina utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum
revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser
kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903
M), Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah Provinsi Moroland dengan alasan
untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Malapetaka
Sejatinya, kedatangan bangsa Eropa dan Amerika, boleh dikata, merupakan malapetaka bagi Moro. Migrasi secara besar-besaran tak bisa dihindari. Konflik budaya, kekuasaan, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya, membuat Mindanao panas. Buntutnya, muncul persoalan multikompleks. Golongan Islam merasa bahwa mereka adalah pewaris sah Mindanao dan daerah-daerah yang pernah dikuasai Islam. Sementara itu, para migran--umumnya beragama berbeda--mayoritas telah merasa secara sah pula mendiaminya.
Sejatinya, kedatangan bangsa Eropa dan Amerika, boleh dikata, merupakan malapetaka bagi Moro. Migrasi secara besar-besaran tak bisa dihindari. Konflik budaya, kekuasaan, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya, membuat Mindanao panas. Buntutnya, muncul persoalan multikompleks. Golongan Islam merasa bahwa mereka adalah pewaris sah Mindanao dan daerah-daerah yang pernah dikuasai Islam. Sementara itu, para migran--umumnya beragama berbeda--mayoritas telah merasa secara sah pula mendiaminya.
Muncul pula kecurigaan bahwa
pemerintah terlalu berpihak sebelah. Orang Moro yang kebanyakan hidup bertani
tak percaya pada pemerintah Filipina. Mereka lebih percaya pada para datuk yang
menjadi pemimpin lokal. Segala undang-undang dan hukum yang dikeluarkan
pemerintah cenderung diabaikan. Soal tanah, misalnya, mereka lebih mendengar
fatwa datuk. Sesuai tradisi, tanah adalah kepunyaan marga (clan) dan diatur
oleh datuk. Datuk pula yang berhak mengendalikan hukum adat, seperti tradisi
peradilan agama, poligami, perkawinan, dan perceraian. Sebaliknya, pemerintah menganggap umat Islam
Mindanao sengaja mengisolasi diri dari golongan lain. Mereka dituduh antipati
terhadap pemerintah, bahkan cenderung menunjukkan sikap bermusuhan. Pemerintah
merasa telah berusaha semaksimal mungkin untuk membangun Mindanao. Misalnya,
dengan mengadakan perbaikan di bidang kesempatan kerja, ekonomi, sosial, dan
budaya. Inilah, agaknya, yang perlu diurai: mendekatkan kesamaan dalam
perbedaan.
Kekecewaan terhadap kebijakan
pemerintah pada akhirnya melahirkan perlawanan baru. Dibentuklah apa yang
disebut sebagai Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation
Front (MLF) pada 1971. Perkembangan berikutnya, MLF sebagai induk perjuangan
Bangsa Moro akhirnya terpecah: Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan
Nurulhaj Misuari dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat
Hashim. Namun, dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari
mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas
Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani
(1993). Kini, melihat kondisi Muslim di
Filipina Selatan, ada yang menyebutnya sebagai minoritas di negeri sendiri.
bur/berbagai sumber
Ramadhan di
Filipina, Mencari Jejak Sejarah Islam
Agus Mustofa
di depan ribuan makam tentara Amerika yang gugur dalam Perang Dunia II di
American Cemetery & Memorial di kawasan Taguig City, Manila, Sabtu (20/6).
| FOTO: Agus Mustofa For Jawa Pos. Pada 19–21 Juni lalu penulis buku seri
tasawuf modern Agus Mustofa diundang secara khusus oleh Kedutaan Besar RI di
Manila, Filipina, untuk memberikan pengajian. Berikut catatan perjalanan mantan
wartawan Jawa Pos itu dari Negeri Aquino. SINGAPORE Airlines tujuan Manila
(19/6) yang saya tumpangi transit 5 jam di Singapura. Artinya, saya masih butuh
waktu sekitar 4 jam lagi untuk sampai di Manila, Filipina. Tak ada pilihan,
karena penerbangan lain yang direncanakan oleh KBRI Manila untuk saya ternyata
tak menyisakan tempat duduk. Entah kenapa, penerbangan menuju Manila hari itu
begitu penuh. Bahkan, pesawat jenis Boeing 777-200 double jet yang saya tumpangi
pun sesak oleh penumpang.
Sekitar pukul 11 malam pesawat berkode
SQ918 itu mendarat di Ninoy Aquino International Airport, Manila. Di antara
kerumunan penjemput terlihat staf KBRI Fuad Helmi beserta dua mahasiswa yang
mengacungkan selembar karton bertulisan nama saya.
’’Maaf Pak Agus, terpaksa transit lama di Singapura. Kami tidak bisa memperoleh jadwal yang lebih baik dari SQ karena waktu pemesanan yang sedemikian sempit,’’ ujar staf KBRI asal Medan itu membuka pembicaraan. Udara Manila menjelang tengah malam terasa hangat. Pada Juni ini, belahan bumi utara memang sedang musim panas. Kami mampir di sebuah rumah makan Indonesia untuk sekadar membasahi tenggorokan yang terasa haus karena puasa di cuaca panas. Sekalian, membeli makanan untuk sahur. Menunya khas Indonesia, resto itu buka semalaman untuk melayani umat Islam makan sahur. Kami sampai di KBRI dini hari. Pada musim panas seperti saat ini, puasa di Manila sedikit lebih panjang daripada di Indonesia. Waktu subuh sekitar pukul 04.00 dan Magrib pukul 18.30. Semakin ke utara, semakin panjang siangnya. Tepat 21 Juni, matahari sedang berada di titik balik paling utara kawasan ekuator, di lintang 23,5 derajat. Dengan demikian, di kawasan yang jauh lebih ke utara lagi sedang terjadi malam-malam yang terang karena dihadiri matahari.
’’Maaf Pak Agus, terpaksa transit lama di Singapura. Kami tidak bisa memperoleh jadwal yang lebih baik dari SQ karena waktu pemesanan yang sedemikian sempit,’’ ujar staf KBRI asal Medan itu membuka pembicaraan. Udara Manila menjelang tengah malam terasa hangat. Pada Juni ini, belahan bumi utara memang sedang musim panas. Kami mampir di sebuah rumah makan Indonesia untuk sekadar membasahi tenggorokan yang terasa haus karena puasa di cuaca panas. Sekalian, membeli makanan untuk sahur. Menunya khas Indonesia, resto itu buka semalaman untuk melayani umat Islam makan sahur. Kami sampai di KBRI dini hari. Pada musim panas seperti saat ini, puasa di Manila sedikit lebih panjang daripada di Indonesia. Waktu subuh sekitar pukul 04.00 dan Magrib pukul 18.30. Semakin ke utara, semakin panjang siangnya. Tepat 21 Juni, matahari sedang berada di titik balik paling utara kawasan ekuator, di lintang 23,5 derajat. Dengan demikian, di kawasan yang jauh lebih ke utara lagi sedang terjadi malam-malam yang terang karena dihadiri matahari.
Sabtu pagi (20/6) saya diajak Fuad
untuk berkeliling Metro Manila guna mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan
sejumlah masjid yang menjadi pusat dakwah Islam di negara yang lebih dari 80
persen warganya beragama Katolik tersebut. Dari Distrik Makati yang menjadi
pusat bisnis Metro Manila, kami meluncur ke American Cemetery & Memorial di
kawasan Taguig City. Di situlah dimakamkan dan diabadikan nama ribuan tentara
Amerika korban Perang Dunia II, baik yang jasadnya sudah ditemukan maupun yang
hilang tak tentu rimba. Lokasinya berada di kompleks apartemen dan perumahan
elite seluas 60 hektare. Rumput dan pepohonannya sangat terawat, jauh lebih
bagus daripada beberapa lapangan golf yang kami lewati. Sebagian besar tentara
yang dimakamkan di sana beragama Kristen. Ditandai dengan nisan berbentuk
salib. Berjajar rapi di padang rumput yang berbukit-bukit. Di antaranya juga
terlihat nisan berbentuk bintang David yang menunjukkan di dalamnya terkubur
tentara beragama Yahudi. Tak jauh dari situ, terpampang ribuan nama di
pilar-pilar lebar disertai diorama dan peta Perang Dunia yang memakan banyak
korban itu. Meskipun tidak ramai, American Cemetery & Memorial tersebut
menjadi salah satu objek wisata menarik bagi wisatawan mancanegara.
Dari Taguig City, kami menuju
Manila City melewati Kedutaan Amerika Serikat. Lokasinya yang luas persis
berada di tepi pantai, terlihat kapal-kapal besar. Konon, lokasi itu dipilih
supaya tentara Amerika Serikat mudah mengakses kedutaannya dari arah laut.
Maklum, Filipina adalah negara yang pernah dijajah AS (1898–1946) dan diberi
kemerdekaan setelah dikuasai 48 tahun. Sebelumnya Filipina dijajah Spanyol
(1521–1898). Dan, jauh sebelum itu, negara kepulauan yang berhadapan dengan
Samudra Pasifik tersebut terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil dan kesultanan
Islam (900–1521). Di antaranya adalah Kerajaan Tondo, Kerajaan Cebu, Kerajaan Manila,
Kerajaan Butuan, Kesultanan Maguindanao, dan Kesultanan Sulu. Mereka kemudian
dikalahkan Spanyol yang menjajahnya lebih dari tiga setengah abad.
Pengaruh pendudukan yang
sedemikian lama itu terlihat dari keberhasilan mereka mengubah gaya hidup warga
Filipina serta mengubah agama mayoritas yang semula didominasi Islam menjadi
Katolik hingga sekarang. Itu mirip dengan yang terjadi di Cordoba,
Spanyol. Yang menarik, kemerdekaan yang
diakui negara bukanlah kemerdekaan yang diberi Amerika pada 1946, melainkan
kemerdekaan dari penjajahan Spanyol 12 Juni 1898. Dengan begitu, beberapa hari
yang lalu masyarakat Filipina baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-117.
Sedangkan 4 Juli 1946 hanya diakui sebagai Philippines-American Friendship Day
alias Hari Persahabatan Filipina-AS belaka.
Di Taguig City, kami juga berkunjung ke pusat dakwah Islam. Di antaranya
adalah Blue Mosque di kawasan Mindanao Ave, Maharlika Village. Di pintu
gerbangnya terdapat papan bertulisan: Blue Mosque and Cultural Center. Bukan
hanya masjid dalam arti sebagai tempat ibadah salat, tapi juga sebagai pusat
kegiatan budaya Islami.
Kami disambut seorang laki-laki
yang ramah bernama Jadjurie H. Arasa. Dia adalah administrator alias ketua
takmir Blue Mosque. Lelaki berperawakan sedang itu berasal dari Pulau Mindanao,
Filipina Selatan, yang memang dominan penduduk muslim. ’’Umat Islam di Filipina
sekitar 20 juta, termasuk warga Mindanao. Sedangkan di kawasan Metro Manila
jumlahnya sekitar 3,5 juta,’’ paparnya. Sebagai gambaran, penduduk Filipina
saat ini sekitar 105 juta, 12 juta di antaranya tinggal di Metro Manila. Lelaki
yang beristri perempuan Kinabalu, Malaysia, itu menerima kami di ruang kerjanya
yang sejuk. Dia mengaku beberapa kali datang ke Indonesia sejak zaman Presiden
Soeharto sampai Presiden SBY. Termasuk bertemu dengan Gus Dur dan Amien Rais
yang memberikan dukungan kepada umat Islam Filipina dalam memperjuangkan
hak-haknya.
’’Pak Yusril Ihza Mahendra
(pengacara, mantan Menkum HAM, Red) juga pernah ke sini,’’ ungkapnya sambil menunjuk
AC yang mendinginkan ruang kerjanya sebagai bantuan Yusril yang beristri
perempuan Filipina. Jadjurie adalah
sekretaris organisasi pembebasan Islam Moro MNLF (Moro Islamic Liberation
Front) yang memperjuangkan otonomi daerah bagi warga Mindanao yang dominan
muslim. Salah satu tugas utama Jadjurie adalah menggalang dukungan
internasional agar mereka memperoleh kebebasan sebagai daerah otonomi yang bisa
mengelola kepentingan umat Islam secara lebih leluasa. Ada banyak kalangan
internasional yang telah mengunjungi Blue Mosque. Dari album fotonya, lelaki
energik itu menunjukkan sejumlah tokoh yang berfoto bersama dirinya. Di
antaranya, para duta besar, pejabat Kemenlu, dan pejabat pemerintahan dari
berbagai negara seperti AS, Inggris, Turki, Kuwait, Mesir, Uni Emirat Arab,
Iran, Arab Saudi, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam. Mereka memberikan
perhatian lebih baik atas upaya Blue Mosque dalam menyampaikan syiar Islam
Filipina secara moderat lewat jalur budaya dan diplomasi.
source : Laporan: Agus Mustofa, Manila, Filipina (http://goo.gl/aI2T60)
source : Laporan: Agus Mustofa, Manila, Filipina (http://goo.gl/aI2T60)
Islam Berkembang Subur di Filipina
Rep: c34/
Red: Angga Indrawan
Muslim
Filipina
REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Islam adalah agama terbesar kedua di Filipina. Jangkauannya tidak hanya tersebar di Mindanao, tetapi juga di sejumlah provinsi lain.
REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Islam adalah agama terbesar kedua di Filipina. Jangkauannya tidak hanya tersebar di Mindanao, tetapi juga di sejumlah provinsi lain.
Islam sudah hadir di Filipina sebelum kedatangan
penjajah Spanyol dan Katolik Roma. Pada abad ke-14, pedagang Muslim di Filipina
memperkenalkan Islam di bagian selatan hingga menyebar ke utara hingga Manila.
Berabad-abad kemudian, Islam tetap menjadi bagian integral dari sejarah dan
budaya negara tersebut.
Dilansir Rappler, Senin (20/7), Kantor Statistik
Nasional (NSO) mencatat, jumlah penganut Islam pada 2010 tercatat sebanyak
5.127.084 penduduk. Angka itu meningkat hampir sepertiga atau 32,7%, dari
jumlah 3.862.409 pada tahun 2000.
Mayoritas Muslim Filipina tinggal di kelompok pulau
Mindanao, dengan setidaknya 4.838.060 Muslim di sana, atau 94% dari penduduk
Islam di negara itu.
Sebagian Mindanao dikenal sebagai Wilayah Otonomi
Muslim Mindanao (ARMM), rumah bagi setidaknya 2.979.814 Muslim, atau 58% dari
populasi Muslim di Filipina. ARMM terdiri dari provinsi Basilan, Lanao del Sur,
Maguindanao, Sulu, dan Tawi-Tawi, tetapi tidak termasuk Isabela City di Basilan
dan Cotabato City di Maguindanao.
Lima provinsi ARMM tersebut memiliki penganut Islam
terbanyak di Filipina. Salah satunya di Metro Manila, yang mencatat sekitar
105.094 penghuni Muslim.
Sekolah
Katolik di Filipina serukan otonomi Muslim
Para
pendukung perdamaian dan kelompok Gereja menyerukan para legislator Filipina
mengesahkan RUU yang membuat wilayah otonomi Muslim di Mindanao selama reli di
Manila pada 19 Januari.
Lembaga pendidikan Katolik Filipina telah
bergabung dalam seruan untuk pengesahan rancangan undang-undang (RUU) yang akan
membuat daerah otonomi Muslim di Mindanao. UUD Bangsamoro yang diusulkan adalah
sebuah RUU yang kini sedang digodok oleh legislator, jika disahkan, akan
mendirikan entitas politik baru yang diusulkan yang dikenal sebagai Bangsamoro
di Mindanao. Jika Kongres gagal mengesahkan RUU tersebut di mana banyak
pengamat khawatir kesepakatan damai dengan pemberontak Moro bisa menimbulkan
masalah lagi. Kelompok pemberontak telah berjuang untuk otonomi yang lebih
besar selama lebih dari empat dekade.
“Kepala eksekutif telah berperan untuk menempa
perdamaian abadi,” kata Rene Salvador San Andres, direktur eksekutif Asosiasi
Pendidikan Katolik Filipina. “Sudah waktunya bagi legislator untuk sahkan RUU
itu,” katanya. Gus Miclat, ketua gerakan All-Out Peace mengatakan warga
Filipina yang “kehilangan waktu yang signifikan” karena itu ia mendesak
legislator untuk melihat urgensi RUU itu sebagai komponen penting untuk peta
jalan menuju perdamaian sejati.” San Andres mengatakan kepada para siswa dari
sekolah-sekolah Katolik selama aksi damai pada 19 Januari di Manila bahwa RUU
itu “bukan legislasi biasa.”
“RUU ini dibuat untuk mewujudkan keadilan sosial,”
kata San Andres, seraya menambahkan bahwa RUU itu untuk memperbaiki kesalahan
masa lalu. Suster Maria Arnold Noel, pendukung pengesahan RUU itu mengatakan
perjanjian damai yang dinegosiasikan di Mindanao adalah satu-satunya cara untuk
mengakhiri konflik panjang di wilayah tersebut.
“Sebagai umat Katolik kita harus mempromosikan
perdamaian dan mendorong Kongres untuk melakukan hal yang sama,” kata Suster
Noel.
“Adalah konyol bahwa kita sebagai penganut Kristen,
tapi kita terus melakukan diskriminasi terhadap umat Muslim,” katanya. Miriam
Coronel-Ferrer, negosiator perdamaian pemerintah dengan kelompok-kelompok Islam
di Mindanao, memperingatkan bahwa penghentian para pejuang Front Pembebasan
Islam Moro mungkin tak terwujud kalau Kongres gagal mengesahkan RUU tersebut.
Sumber: ucannews.com
Apa dan Siapa Bangsa Moro
Voa-Islam.com - Penduduk Philipina Selatan, sebagaimana halnya
warga Thailand Selatan, sebagian Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, serta
sebagian penduduk Indonesia berasal dari rumpun antropologi yang sama yaitu
Austronesian / Malayo Polenesian. Maka.tak heran jika memiliki kesamaan
ciri-ciri fisik dan bahasa yang hampir sama. Dalam bahasa Tagalog ( Filipino )
yang kini menjadi bahasa nasional Philipine, terdapat kurang lebih 5000
kata-kata yang hampir sama dengan bahasa melayu ( Indonesia ) walau
kadang artinya berbeda. Seperti pintu, kanan, murah, mahal, gunting, aku( ako
), kita, balai dan hitungan angka ( 1 sampai 10 )yang amat mirip dengan bahasa
Indonesia, Jawa dan Sunda sekaligus.
Kesamaan ini semakin kental ketika kebetulan mereka
sama-sama beragama Islam. Ketika muslim Melayu Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand Selatan, Brunei dan Philippina berkumpul bersama-sama,
katakanlah ketika ibadah haji di tanah suci, maka tak ada yang dapat memastikan
asal kewarganegaraan mereka. Selain, ketika mereka mulai berbicara tentunya.
Sayangnya, eksistensi dan status muslim nusantara
tersebut tidaklah sama. Muslim menjadi mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan
Brunei. Namun menjadi minoritas di Thailand, Singapura, dan Philippina. Memang,
menjadi mayoritas tidak menjamin hidup lebih baik, namun terlebih lagi ketika
menjadi minoritas. Demikianlah yang terjadi dengan minoritas muslim Moro di
Mindanao Philippine.
Apa dan Siapa Bangsa Moro
Salah Jubair dalam bukunya Bangsamoro : A Nation
Under Endless Tyranny (1999) menyebutkan bahwa istilah Moro atau Bangsamoro
(“bangsa” disini memiliki arti yang sama dengan “bangsa” dalam bahasa
Indonesia) adalah istilah yang berasal dari penjajah Spanyol (Spaniards). Sama
halnya dengan sebutan etnis lain di Philippina seperti ‘Indio” dan
“Filipino”. Kata “Moro” sendiri diadopsi dari bangsa Mauri atau
Mauritania di Afrika yang kemudian juga dikenakan kepada bangsa Berbers di
Afrika Utara dan juga kepada kaum muslimin yang datang dan menaklukkan Spanyol
berabad-abad silam. Maka, istilah Moro akhirnya tidak merujuk
kepada kelompok etnis, ras, waktu dan geografis tertentu, namun lebih merujuk
kepada kelompok orang yang berafiliasi kepada agama tertentu, dalam hal ini
adalah Islam.
Muslim di Philippina terdiri atas 13 kelompok
etnolinguistik, masing-masing Iranun, Magindanaon, Maranao, Tao-Sug,
Sama, Yakan, Jama Mapun, Ka'agan, Kalibugan, Sangil, Molbog, Palawani and
Badjao. Ada pula muslim di kalangan penduduk pribumi (indigenous people)
Mindanao seperti Teduray, Manobo, Bla-an, Higaonon, Subanen, T'boli, dan
lain-lain. Selain itu penduduk Muslim juga dapat diketemukan di Luzon
maupun Visayas kendati tidakdalam jumlah yang signifikan. Muslim yang
mendiami Mindanao, pulau Basilan, Palawan, Sulu dan kepulauan Tawi-Tawi
kemudian disebut sebagai Bangsamoro (Lingga, 2004). Data tahun
2005 menyebutkan total muslim di Philippina berjumlah 5% (4.5 juta jiwa) dari
total penduduk Philippina.
Peran Pendakwah Minangkabau, Makassar dan Ternate
Indonesia, tepatnya warga Minangkabau, Makassar dan
Ternate patut berbangga. Penyebaran Islam di Mindanao tak lepas dari peran
pendakwah Minangkabau masa silam. Salah Jubair (1999) menyebutkan sejarah
keislaman Bangsamoro berakar sejak tahun 1310 M dengan ditemukannya nisan
seorang pemimpin dan pendakwah Islam generasi awal di Mindanao.
Penyebaran Islam di Sulu dan Mindanao diyakini berasal
dari para pedagang, guru-guru dan sufi keturunan Arab yang berlayar hingga ke
Sulu dan Mindanao (hampir sama dengan model penyebaran Islam di Indonesia).
Mereka kemudian mengislamkan dan menikahi penduduk setempat. Masjid pertama di
Philippines tercatat berada di Tubig-Indangan di Pulau Simunul. Didirikan oleh
Makhdum Karim alias Sharif Awliya, keturunan Arab, sekitar tahun 1380.
Berikutnya para musafir keturunan Arab secara berturut-turut membangun
kesultanan Sulu pada 1390, dan kesultanan Maguindanao dan Buayan pada akhir
abad ke 15
Abhoud Syed M. Lingga (2004) menyebutkan bahwa Sultan
pertama Sulu (Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang
memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra. Sultan ini menikah
dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau (‘Menangkabaw’ dalam
istilah di Mindanao).
Di Mindanao, Sharif Muhammad Kabungsuwan, pendiri
kesultanan Maguindanao tiba di Mindanao pada 1515. Ayahnya berasal dari
Arab dan ibunya adalah keluarga kesultanan Johor (kini bagian dari
Malaysia). Sementara itu, Sultan Sulu ke -7 adalah memiliki darah Brunei
(kini Brunei Darussalam).
Kesultanan Makassar dan Ternate masa silam turut
memainkan peranan penting di Mindanao. Ketika Gubernur Spanyol Corcuera
menyerbu Sulu pada 1638, Rajah Bongsu, Sultan Sulu, mendapat bantuan dari para
prajurit Makassar. Sementara itu, kesultanan Ternate kerap membantu Sultan
Buisan di Maguindanao dalam perangnya melawan kolonial Spanyol (Lingga, 2004).
Sampai kini masih cukup banyak keturunan Indonesia
yang tinggal di Mindanao. Namun kini lebih banyak berasal dari Sulawesi Utara,
utamanya kepulauan Sangir Talaud dan Miangas (Pulau Miangas adalah pulau
terluar Indonesia yang berjarak sangat dekat dengan Mindanao dan sebaliknya
amat jauh dari Manado). “Saat ini ada sekitar 8000 orang Indonesia yang
masih berkewarganegaraan Indonesia di Mindanao. Belum lagi mereka yang tak
terdaftar dan mereka yang telah berkewarganegaraan Philippina,” ujar Bernard
Loesi, konsul Indonesia di Konsulat Jenderal RI di Davao City.
Tak puas menyebarkan Islam di Mindanao, pergerakan
Islam kemudian melaju ke utara, merambah area Visayan, yaitu Cebu, Mactan,
kemudian Palawan, hingga Luzon, pulau dimana metropolitan Manila berada.
Salah Jubair (1999) mensinyalir bahwa Metropolitan Manila pada abad ke 16
adalah di bawah kekuasaan raja muslim yaitu Rajah Sulaiman Mahmud. Sama halnya
dengan daerah Tondo, Cebu dan Mactan di Visayan.
Datangnya penjajah Spanyol (Spaniards) pada tahun 1521
kemudian mengubah semuanya. Ekspansi dakwah Islam dari Selatan (Mindanao dan
Sulu) terhambat dan pertempuran terjadi di banyak tempat selama tiga abad lebih
kekuasaan kolonial Spanyol. Perang dengan Spanyol baru mereda pada tahun 1898,
yaitu saat beralihnya kekuasaan negeri Philippines dari Spanyol ke Amerika
Serikat melalui perjanjian Paris 10 December 1898.
Identitas Filipino dan Bangsa Moro
Selain mengenakan istilah “Moro” untuk menyebut
kelompok muslim di Mindanao, penjajah Spanyol juga menciptakan istilah Philippines.
Pada pertengahan abad ke -16 rombongan ekspedisi Spanyol mendarat di
Sarangani Mindanao Selatan dan mencoba untuk membangun pemukiman baru. Namun di
daerah baru tersebut mereka berbenturan dengan kemiskinan Bangsamoro sehingga
rombongan berbalik pulang. Dalam perjalanan pulang ketika melewati gugus
kepulauan Samar-Leyte, Bernardo de la Torre, salah seorang kru kapal, memberikan
nama kepulauan tersebut sebagai Filipinas, ntuk menghormati Philip,
putra mahkota kerajaan Spanyol ketika itu (di kemudian hari menjadi Raja Philip
II). Ketika Amerika Serikat menjajah Filipinas, nama tersebut
kemudian di-Inggris-kan menjadi Philippines, sampai saat ini.
Apabila Philippines adalah nama negara, maka Filipino
adalah sebutan untuk Spaniards yang lahir di Philippines. Namun sejak tahun
1898 istilah Filipino dikenakan juga untuk warga pribumi demi menggalang
dukungan warga pribumi dalam melawan Amerika Serikat. Belakangan, istilah
Filipino ini kemudian mendapatkan ‘nickname’ baru yaitu Pinoy (untuk
kaum Pria Filipino) dan Pinay (untuk kaum wanita Filipino)
Warga pribumi Philippines non Moro sebelum 1898
disebut sebagai Indios. Makna “Indios” adalah ‘native” ataupun
“pribumi”. Istilah diskriminatif ala Spaniards kepada penduduk asli Philippina
yang bermakna ras yang lebih rendah, primitif dan intelejensia terbatas.
Sebenarnya, Indios secara antropologis adalah juga termasuk ras
Indo-Malayan sama seperti Bangsamoro. Hanya saja mereka tidak memeluk
Islam maka lebih kental dengan sebutan Indios.
Sama halnya dengan etnis Dayak yang memeluk Islam di
Kalimantan. Ketika memeluk Islam mereka disebut sebagai Melayu, kendati
sebenarnya asal usul etnis tidak berubah. Tetap saja etnis Dayak. Karena ada
asumsi bahwa etnis Dayak adalah penganut kepercayaan animism/dinamism ataupun
kepercayaan lain di luar Islam.
Sebaliknya, Bangsamoro tetaplah Bangsamoro hingga
kini. Roh Islam Melayu jauh lebih dominan daripada Indios apalagi Spaniards.
Secara ras, Bangsamoro adalah ras Indo-Malayan. Ciri-ciri fisiknya
amat serupa dengan Indo Malayan lain yang kini bermukim di Indonesia, Malaysia,
Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan.
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu sebelum
datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi (Arab
Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya dengan
tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di
kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam.
Secara Etnolinguistik, semua dialek pribumi Moro, dan
juga Luzon serta Visayas, adalah berhubungan dan memiliki akar yang sama dengan
bahasa di rumpun Austronesian/ Malayo Polynesian. Tak heran, kita mudah
menemukan banyak kata-kata yang sama antara bahasa Bangsamoro dengan bahasa
Indonesia, Melayu-Sumatra, bahkan bahasa Jawa, ataupun Sunda. Kata-kata
seperti Tuhan, Raja, bichara, orangkaya, sultan, memiliki makna yang
hampir sama dengan kata-kata yang sama dalam bahasa Indonesia.
Secara afialiasi keagamaan, hampir seratus persen
penduduk Bangsamoro adalah beragama Islam. Dengan model keislaman yang kurang
lebih sama dengan penduduk Asia Tenggara yang lain.
Problem Bangsa Moro
Problem utama Bangsamoro kini adalah hak untuk
menentukan nasib sendiri (Right To Self-Determination).
Selanjutnya mungkin adalah kemiskinan, ketertinggalan pembangunan,
rendahnya pendidikan, minimnya pekerjaan, diskriminasi, dan juga stigma
sebagai teroris.
Tidak salah kalau dikatakan bahwa Bangsamoro selalu berada
dalam tirani dan penjajahan. Lepas dari penjajahan Spanyol selama lebih dari
tiga abad (1521 – 1898), Bangsamoro berada dalam kekuasaan Amerika Serikat
hampir selama lima dekade (1898 -1942). Berikutnya Jepang menguasai mereka
selama tiga tahun sampai akhirnya berada dalam kekuasaan Republic of
Philippines per 4 Juli 1946.
Perjuangan menuju kemerdekaan masih berlangsung hingga
kini. Berturut-turut lahir Moro National Liberation Front (MNLF) pada
akhir tahun 1960-an pimpinan Nur Misuari dan Moro Islamic Liberation Front
(MILF) pimpinan Salamat Hasyim (wafat pada 2003) pada tahun 1981. Lahirnya MILF
adalah respon dari ketidakpuasan terhadap MNLF yang dianggap kurang tegas dalam
memperjuangkan hak-hak Bangsamoro dan terlalu akomodatif dengan pemerintah Philippina.
Belakangan, pada awal 1990-an, lahir Abu Sayyaf Group (ASG) yang dipimpin
Abdulrajak Janjalani.
Negosiasi Bangsa Moro dan pemerintah Philippina untuk
merumuskan wujud hak menentukan nasib sendiri ini berlangsung berpuluh tahun.
Libya, Indonesia dan Malaysia adalah di antara negara-negara OKI (organisasi
konferensi Islam) yang rajin memfasilitasi perundingan ini. Pencapaian
terakhir Bangsamoro dalam ikhtiar menuju kemerdekaan ini adalah dicapainya
status otonomi khusus dengan nama ARMM (Autonomous Region of Muslim Mindanao)
pada 1 Agustus 1989, buah perjanjian antara pemerintah Philippina dan
MNLF. Saat ini ARMM terdiri atas enam propinsi yaitu tiga di daratan
Mindanao (Maguindanao, Lanao del Sur, Shariff Kabunsuan) dan tiga di kepulauan
Sulu (Sulu, Basilan, dan Tawi-Tawi). Jumlah penduduk di enam propinsi mayoritas
muslim tersebut mencapai hampir tiga juta jiwa.
Disamping ARMM, bentuk akomodasi lain terhadap
Bangsamoro oleh pemerintah Philippina adalah pemberlakuan Code of Muslim
Personal Laws of the Philippines pada tahun 1977 yang mengatur urusan hukum
keluarga (perkawinan, perceraian, kewarisan) masyarakat muslim Philippine.
Selanjutnya, beberapa mahkamah syari’ah dibentuk dan hakim-hakim syari’ah
ditunjuk . Di bidang ekonomi Islam, Philippine Amanah Bank, yang beroperasi di
kalangan muslim, dibentuk pada tahun 1974 oleh mantan Presiden Ferdinand
Marcos.
Sejatinya, tak ada kebijakan pemerintah Philippina (
seperti halnya di negeri-negeri yang muslim nya minoritas) yang secara
terang-terangan mendiskriminasikan penduduk muslim. Namun berhubung mayoritas
penduduk Philippina adalah Kristen (Katholik dan Protestan), maka banyak
kebijakan yang memang dirumuskan sesuai dengan kehendak mayoritas dan akhirnya
merugikan minoritas.
Sebagai contoh, kebijakan memindahkan penduduk
Filipino non muslim ke Mindanao (seperti juga halnya di Pattani Thailand
Selatan, Xinjiang di China dll ) atas nama pembangunan, akhirnya cenderung
meminggirkan kaum minoritas di Mindanao, yaitu Bangsamoro. Akibatnya kemiskinan,
kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah cerita
yang yang lain. “Penduduk muslim sukar mendapatkan pekerjaan di
kantor-kantor pemerintah maupun di pertanian umum, hanya karena mereka muslim,”
tutur Evelyn, muslimah Moro yang tinggal di Mandug Barangay, Davao City.
Masa Depan Bangsa Moro
Bangsa Moro kini hidup di tengah ketidaksinkronan.
Ruh-nya adalah Islam Melayu sementara jasadnya adalah Pinoy (Philippines).
Hampir sama dengan minoritas muslim Thailand Selatan yang hidup di tengah
negeri Buddhist. Muhammad al Hasan (1978) menyikapi situasi ini
sebagai berikut : “Kami, Moros dan Filipinos adalah dua kelompok manusia yang
berbeda, yang memiliki ideologi, budaya, dan sejarah yang berbeda. Kami juga
memiliki konsep kedaulatan yang berbeda. Menurut Filipinos, kedaulatan berada
di tangan rakyat Filipino, sedangkan kami sepenuhnya percaya bahwa kedaulatan
adalah milik Allah Subhanahu Wata ‘Ala.” Selanjutnya, Muhamad al Hasan
mengatakan :
“Budaya kami sangat dipengaruhi oleh kepercayaan,
ajaran, dan prinsip-prinsip Islam, yang sangat bertentangan secara diametral
dengan kebudayaan Filipino yang sangat terpengaruh budaya kaum kolonial.”
Maka, perjuangan Bangsamoro ke depan adalah
perjuangan bernegosiasi. Menegosiasikan masa depannya sebagai minoritas.
Menegosiasikan hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri di tengah
mayoritas Pinoy yang bersamaan ras, bahasa, dan warna kulit-nya namun
berbeda agama, kultur, maupun ideologi. Perjuangan yang tidak mudah,
karena kemiskinan, pengangguran, rendahnya pendidikan, dan stigma sebagai
teroris senantiasa melekati mereka. (aa.voa-islam)
Sumber : heru susetyo.multiply.com /dengan perubahan
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Perkembangan Islam di Philipina bukti kejamnya sistem Imperalisme bangsa eropa, sebuah negara harus sirna karena sebuah sistem pemerintahan yang dipaksakan. dan anehnya itu datang dari negara yang mendewakan Demokrasi. harusnya kita harus terus berpijak pada Asas persamaan, keadilan dan kemerdekaan menyatakan identitas sebagai sebuah negara.
ReplyDelete