Islam di Filipina

1 comment


Filipina Negeri Muslim yang Dimurtadkan: Dahulu 98% Muslim, Kini Muslim Tersisa 5%
- Selasa, 3 Mei 2016 

Islamedia – Filipina merupakan negara di kawasan Asia tenggara yang pada zaman dahulu kala memiliki populasi Muslim sangat besar, yakni mencapai angka 98%. Filipina saat ini masuk dalam wilayah Kesultanan Brunei yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Namun kondisi itu berubah drastis ketika kehadiran penjajah Spanyol pada tahun 1565, secara perlahan umat Islam mengalami penindasan dan secara terus menerus jumlah muslim terus mengalami penurunan yang signifikan. Segala hal yang berkaitan dengan Islam dihilangkan secara sistematis oleh penjajah Spanyol
Ibukota Filipina yang saat ini bernama Manila merupakan hasil skenario jahat penjajah Spanyol. Dahulu nama kota ini adalaha Amanilah yang diambil dari bahasa Arab “Fi Amannillah” yang memiliki arti “dibawah perlindungan Allah SWT”.
Saat itu kaum muslim Filipina bertekad menjadikan kota Amanillah (Manila) menjadi kota Islam terbesar se Asia Tenggara. Mereka pun sudah menerapkan Syariat Islam selama berabad-abad di bawah pengaruh Negara Khilafah Islam di Timur Tengah. Pekerjaan kaum muslim Filipina saat itu kebanyakan adalah pedagang, petani, dan nelayan.
Kedatangan penjajah Katolik Spanyol pada tahun 1565 dengan misi Gold, Glory dan Gospel, telah merubah semuanya. 4 tahun kemudian atau tahun 1569 kota Amanillah direbut oleh penjajah Spanyol. Para penduduk Muslim kota tersebut mengalami penindasan dan penganiyayaan yang berujung kepada kematian. Selain itu penjajah Spanyol juga dengan menghalalkan berbagai macam cara melakukan ancaman kekerasan dan memaksa warga memeluk Kristen Katolik. Gerakan Kristenisasi saat itu sangan massif dilakukan di wilayah Filipina Utara dan Tengah.
Muslim Filipinan yang tidak mau untuk memeluk Katolik kemudian melarikan diri ke wilayah selatan Filipina untuk menyelamatkan akidahnya. Mereka berhasil membuat pertahanan yang kuat dan terus melawan Spanyol lewat perang Gerilya. Dari sinilah kemudian penjajah Spanyol memberi nama kaum muslim Filipina dengan nama orang Moro. Nama ini diambil dari sebutan kepada keturunan Arab Spanyol yang beragama Islam yang dahulu menguasai Andalusia ( Spanyol ) yaitu orang Moor.

Aksi Demonstrasi Muslimah Moro Menuntut Keadilan
Penjajah Spanyol tidak tinggal diam, mereka merekrut orang-orang Indo Kristen (orang Filipina yang sudah dikristenkan) untuk berperang melawan kaum muslim yang sebenarnya masih saudara sebangsa mereka.
Perjuangan kaum muslim Filipina baik melawan penjajah Spanyol maupun dengan orang Indo Kristen, terus berlangsung sampai tahun 1898.
Saat ini Kristen berhasil menjadi agama mayoritas di Filipina, negeri yang dahulu 98% warganya muslim telah berubah negara kristen. Populasi pemeluk Islam hanya bersisa 5%, populasi kristen 90%, sisanya memeluk Budha dan atheis. [islamedia] 

 Muslim di Filipina Minoritas di Negeri Sendiri
 Islam masuk ke Filipina sebelum penjelajah Spanyol menginjakkan kaki di tanah negeri ini. Itu dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara Cina pada zaman Dinasti Yuan, 1280-1368. Muslim di Filipina biasanya dikenali sebagai masyarakat Moro. Mereka umumnya berdiam di Pulau Mindanao (pulau kedua terluas di Filipina), Kepulauan Sulu, Palawan, Basilan, dan pulau-pulau sekitarnya. Secara geografis, gugusan pulau-pulau ini berada di selatan Filipina, sedangkan bagian utara negeri ini adalah gugusan Kepulauan Luzon. 
             Sejumlah literatur menyebutkan, istilah 'Moro' merujuk kepada kata Moor, Mariscor, atau Muslim. Kata Moor berasal dari istilah latin, Mauri, sebuah istilah yang sering digunakan orang-orang romawi kuno untuk menyebut penduduk wilayah Aljazair barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di wilayah Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat seperti orang-orang Moor di Spanyol Andalusia, mereka mulai menyebut orang-orang di Filipina dengan istilah Moro. Dalam sejarahnya, Islam masuk ke Filipina, tidak lama setelah Islam berkembang di dunia Melayu. Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada 1380 M yang dibawa oleh seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul al Makhdum (Syeikh Makhdum). Banyak pedagang dan dai Muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum. Mereka berdiam di sana dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat. 
             Ini berarti, kedatangan Islam di Filipina jauh lebih awal daripada kedatangan kolonial Barat, khususnya bangsa Spanyol yang masuk ke kawasan itu pada 1566 M.  Adalah Raja Baguinda, seorang pangeran dari Minangkabau, Sumatra Barat, tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Raja Baguinda tiba di Kepulauan Sulu setelah berhasil mendakwahkan Islam di Kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas kerja kerasnya, Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, pun akhirnya memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.  Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum, yaitu Manguindanao Code of Law, atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di Provinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada di bawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar datuk atau raja. 
              Versi lain menyebutkan, Islam datang di Kepulauan Filipina jauh sebelum kedatangan Villalobos--seorang penjelajah Spanyol yang memasuki Filipina pada 1542. Islam sudah dikenal di beberapa daerah di Filipina pada abad ke-8 sampai 10, yakni tatkala Islam mengembangkan sayap ke segenap penjuru dunia. Ketika itu, saudagar-saudagar Arab sudah menginjakkan kaki ke kawasan Asia Tenggara, termasuk ke Kepulauan Filipina. Ini dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara Cina pada zaman Dinasti Yuan (1280-1368).  Disebutkan bahwa pada kurun ini Kepulauan Jolo di barat daya Mindanao, sudah menjadi pusat perdagangan, disinggahi saudagar-saudagar Arab, Muangthai, Indonesia, dan India. Di Jolo, kebudayaan Islam berkembang pesat sementara penduduk asli Filipina lainnya, termasuk Mindanao, masih terbilang primitif. Para saudagar Arab pun memperlihatkan pengaruh besar. Mereka pula yang mula-mula mendirikan kesultanan Islam.     Syeikh Abu Bakar, orang Arab kelahiran Makkah, pada 1450 mendirikan pemerintahan di Buansa (Jolo). Di bawah pemerintahan Abu Bakar, pengkajian Islam mulai dilaksanakan secara luas. Lembaga-lembaga politik dibentuk sesuai dengan garis-garis Islam. Para dai dikirim ke luar Buansa untuk mengislamkan penduduk di sekitarnya. Awal abad ke-15, Raja Baguinda mendirikan kesultanan di tepi Sungai Kotabato. Islam terus menjalar ke utara dan pada abad ke-16 pengaruhnya sampai ke Kepulauan Visayas, Teluk Manila. Kemudian, di sanalah terjadi bentrokan dengan orang Spanyol. 
               Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik ekspedisi ilmiah Ferdinand de Magellans. Spanyol menaklukkan wilayah utara dengan mudah tanpa perlawanan berarti, tapi tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani, dan pantang menyerah. Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian dengan jarak kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu. Kesultanan Sulu pada akhirnya takluk pada 1876 M.  Sekalipun gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Pada 1898 M, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, serta kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. 
                Namun, traktat tersebut dianggap hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M), Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah Provinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Malapetaka
Sejatinya, kedatangan bangsa Eropa dan Amerika, boleh dikata, merupakan malapetaka bagi Moro. Migrasi secara besar-besaran tak bisa dihindari. Konflik budaya, kekuasaan, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya, membuat Mindanao panas. Buntutnya, muncul persoalan multikompleks. Golongan Islam merasa bahwa mereka adalah pewaris sah Mindanao dan daerah-daerah yang pernah dikuasai Islam. Sementara itu, para migran--umumnya beragama berbeda--mayoritas telah merasa secara sah pula mendiaminya. 
                Muncul pula kecurigaan bahwa pemerintah terlalu berpihak sebelah. Orang Moro yang kebanyakan hidup bertani tak percaya pada pemerintah Filipina. Mereka lebih percaya pada para datuk yang menjadi pemimpin lokal. Segala undang-undang dan hukum yang dikeluarkan pemerintah cenderung diabaikan. Soal tanah, misalnya, mereka lebih mendengar fatwa datuk. Sesuai tradisi, tanah adalah kepunyaan marga (clan) dan diatur oleh datuk. Datuk pula yang berhak mengendalikan hukum adat, seperti tradisi peradilan agama, poligami, perkawinan, dan perceraian.  Sebaliknya, pemerintah menganggap umat Islam Mindanao sengaja mengisolasi diri dari golongan lain. Mereka dituduh antipati terhadap pemerintah, bahkan cenderung menunjukkan sikap bermusuhan. Pemerintah merasa telah berusaha semaksimal mungkin untuk membangun Mindanao. Misalnya, dengan mengadakan perbaikan di bidang kesempatan kerja, ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah, agaknya, yang perlu diurai: mendekatkan kesamaan dalam perbedaan. 
               Kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah pada akhirnya melahirkan perlawanan baru. Dibentuklah apa yang disebut sebagai Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971. Perkembangan berikutnya, MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah: Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim. Namun, dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).  Kini, melihat kondisi Muslim di Filipina Selatan, ada yang menyebutnya sebagai minoritas di negeri sendiri. bur/berbagai sumber

Copyright © 2015 republika.co.id, All right reserved

Ramadhan di Filipina, Mencari Jejak Sejarah Islam


Agus Mustofa di depan ribuan makam tentara Amerika yang gugur dalam Perang Dunia II di American Cemetery & Memorial di kawasan Taguig City, Manila, Sabtu (20/6). | FOTO: Agus Mustofa For Jawa Pos. Pada 19–21 Juni lalu penulis buku seri tasawuf modern Agus Mustofa diundang secara khusus oleh Kedutaan Besar RI di Manila, Filipina, untuk memberikan pengajian. Berikut catatan perjalanan mantan wartawan Jawa Pos itu dari Negeri Aquino. SINGAPORE Airlines tujuan Manila (19/6) yang saya tumpangi transit 5 jam di Singapura. Artinya, saya masih butuh waktu sekitar 4 jam lagi untuk sampai di Manila, Filipina. Tak ada pilihan, karena penerbangan lain yang direncanakan oleh KBRI Manila untuk saya ternyata tak menyisakan tempat duduk. Entah kenapa, penerbangan menuju Manila hari itu begitu penuh. Bahkan, pesawat jenis Boeing 777-200 double jet yang saya tumpangi pun sesak oleh penumpang.
            Sekitar pukul 11 malam pesawat berkode SQ918 itu mendarat di Ninoy Aquino International Airport, Manila. Di antara kerumunan penjemput terlihat staf KBRI Fuad Helmi beserta dua mahasiswa yang mengacungkan selembar karton bertulisan nama saya.
’’Maaf Pak Agus, terpaksa transit lama di Singapura. Kami tidak bisa memperoleh jadwal yang lebih baik dari SQ karena waktu pemesanan yang sedemikian sempit,’’ ujar staf KBRI asal Medan itu membuka pembicaraan. Udara Manila menjelang tengah malam terasa hangat. Pada Juni ini, belahan bumi utara memang sedang musim panas. Kami mampir di sebuah rumah makan Indonesia untuk sekadar membasahi tenggorokan yang terasa haus karena puasa di cuaca panas. Sekalian, membeli makanan untuk sahur. Menunya khas Indonesia, resto itu buka semalaman untuk melayani umat Islam makan sahur. Kami sampai di KBRI dini hari. Pada musim panas seperti saat ini, puasa di Manila sedikit lebih panjang daripada di Indonesia. Waktu subuh sekitar pukul 04.00 dan Magrib pukul 18.30. Semakin ke utara, semakin panjang siangnya. Tepat 21 Juni, matahari sedang berada di titik balik paling utara kawasan ekuator, di lintang 23,5 derajat. Dengan demikian, di kawasan yang jauh lebih ke utara lagi sedang terjadi malam-malam yang terang karena dihadiri matahari.
            Sabtu pagi (20/6) saya diajak Fuad untuk berkeliling Metro Manila guna mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan sejumlah masjid yang menjadi pusat dakwah Islam di negara yang lebih dari 80 persen warganya beragama Katolik tersebut. Dari Distrik Makati yang menjadi pusat bisnis Metro Manila, kami meluncur ke American Cemetery & Memorial di kawasan Taguig City. Di situlah dimakamkan dan diabadikan nama ribuan tentara Amerika korban Perang Dunia II, baik yang jasadnya sudah ditemukan maupun yang hilang tak tentu rimba. Lokasinya berada di kompleks apartemen dan perumahan elite seluas 60 hektare. Rumput dan pepohonannya sangat terawat, jauh lebih bagus daripada beberapa lapangan golf yang kami lewati. Sebagian besar tentara yang dimakamkan di sana beragama Kristen. Ditandai dengan nisan berbentuk salib. Berjajar rapi di padang rumput yang berbukit-bukit. Di antaranya juga terlihat nisan berbentuk bintang David yang menunjukkan di dalamnya terkubur tentara beragama Yahudi. Tak jauh dari situ, terpampang ribuan nama di pilar-pilar lebar disertai diorama dan peta Perang Dunia yang memakan banyak korban itu. Meskipun tidak ramai, American Cemetery & Memorial tersebut menjadi salah satu objek wisata menarik bagi wisatawan mancanegara.
              Dari Taguig City, kami menuju Manila City melewati Kedutaan Amerika Serikat. Lokasinya yang luas persis berada di tepi pantai, terlihat kapal-kapal besar. Konon, lokasi itu dipilih supaya tentara Amerika Serikat mudah mengakses kedutaannya dari arah laut. Maklum, Filipina adalah negara yang pernah dijajah AS (1898–1946) dan diberi kemerdekaan setelah dikuasai 48 tahun. Sebelumnya Filipina dijajah Spanyol (1521–1898). Dan, jauh sebelum itu, negara kepulauan yang berhadapan dengan Samudra Pasifik tersebut terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil dan kesultanan Islam (900–1521). Di antaranya adalah Kerajaan Tondo, Kerajaan Cebu, Kerajaan Manila, Kerajaan Butuan, Kesultanan Maguindanao, dan Kesultanan Sulu. Mereka kemudian dikalahkan Spanyol yang menjajahnya lebih dari tiga setengah abad.
              Pengaruh pendudukan yang sedemikian lama itu terlihat dari keberhasilan mereka mengubah gaya hidup warga Filipina serta mengubah agama mayoritas yang semula didominasi Islam menjadi Katolik hingga sekarang. Itu mirip dengan yang terjadi di Cordoba, Spanyol.  Yang menarik, kemerdekaan yang diakui negara bukanlah kemerdekaan yang diberi Amerika pada 1946, melainkan kemerdekaan dari penjajahan Spanyol 12 Juni 1898. Dengan begitu, beberapa hari yang lalu masyarakat Filipina baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-117. Sedangkan 4 Juli 1946 hanya diakui sebagai Philippines-American Friendship Day alias Hari Persahabatan Filipina-AS belaka.  Di Taguig City, kami juga berkunjung ke pusat dakwah Islam. Di antaranya adalah Blue Mosque di kawasan Mindanao Ave, Maharlika Village. Di pintu gerbangnya terdapat papan bertulisan: Blue Mosque and Cultural Center. Bukan hanya masjid dalam arti sebagai tempat ibadah salat, tapi juga sebagai pusat kegiatan budaya Islami. 
             Kami disambut seorang laki-laki yang ramah bernama Jadjurie H. Arasa. Dia adalah administrator alias ketua takmir Blue Mosque. Lelaki berperawakan sedang itu berasal dari Pulau Mindanao, Filipina Selatan, yang memang dominan penduduk muslim. ’’Umat Islam di Filipina sekitar 20 juta, termasuk warga Mindanao. Sedangkan di kawasan Metro Manila jumlahnya sekitar 3,5 juta,’’ paparnya. Sebagai gambaran, penduduk Filipina saat ini sekitar 105 juta, 12 juta di antaranya tinggal di Metro Manila. Lelaki yang beristri perempuan Kinabalu, Malaysia, itu menerima kami di ruang kerjanya yang sejuk. Dia mengaku beberapa kali datang ke Indonesia sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY. Termasuk bertemu dengan Gus Dur dan Amien Rais yang memberikan dukungan kepada umat Islam Filipina dalam memperjuangkan hak-haknya.
          ’’Pak Yusril Ihza Mahendra (pengacara, mantan Menkum HAM, Red) juga pernah ke sini,’’ ungkapnya sambil menunjuk AC yang mendinginkan ruang kerjanya sebagai bantuan Yusril yang beristri perempuan Filipina.  Jadjurie adalah sekretaris organisasi pembebasan Islam Moro MNLF (Moro Islamic Liberation Front) yang memperjuangkan otonomi daerah bagi warga Mindanao yang dominan muslim. Salah satu tugas utama Jadjurie adalah menggalang dukungan internasional agar mereka memperoleh kebebasan sebagai daerah otonomi yang bisa mengelola kepentingan umat Islam secara lebih leluasa. Ada banyak kalangan internasional yang telah mengunjungi Blue Mosque. Dari album fotonya, lelaki energik itu menunjukkan sejumlah tokoh yang berfoto bersama dirinya. Di antaranya, para duta besar, pejabat Kemenlu, dan pejabat pemerintahan dari berbagai negara seperti AS, Inggris, Turki, Kuwait, Mesir, Uni Emirat Arab, Iran, Arab Saudi, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam. Mereka memberikan perhatian lebih baik atas upaya Blue Mosque dalam menyampaikan syiar Islam Filipina secara moderat lewat jalur budaya dan diplomasi.

source : Laporan: Agus Mustofa, Manila, Filipina (http://goo.gl/aI2T60)
Islam Berkembang Subur di Filipina
Rep: c34/ Red: Angga Indrawan
Muslim Filipina 

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Islam adalah agama terbesar kedua di Filipina. Jangkauannya tidak hanya tersebar di Mindanao, tetapi juga di sejumlah provinsi lain.
Islam sudah hadir di Filipina sebelum kedatangan penjajah Spanyol dan Katolik Roma. Pada abad ke-14, pedagang Muslim di Filipina memperkenalkan Islam di bagian selatan hingga menyebar ke utara hingga Manila. Berabad-abad kemudian, Islam tetap menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya negara tersebut.
Dilansir Rappler, Senin (20/7), Kantor Statistik Nasional (NSO) mencatat, jumlah penganut Islam pada 2010 tercatat sebanyak 5.127.084 penduduk. Angka itu meningkat hampir sepertiga atau 32,7%, dari jumlah 3.862.409 pada tahun 2000.
Mayoritas Muslim Filipina tinggal di kelompok pulau Mindanao, dengan setidaknya 4.838.060 Muslim di sana, atau 94% dari penduduk Islam di negara itu.
Sebagian Mindanao dikenal sebagai Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM), rumah bagi setidaknya 2.979.814 Muslim, atau 58% dari populasi Muslim di Filipina. ARMM terdiri dari provinsi Basilan, Lanao del Sur, Maguindanao, Sulu, dan Tawi-Tawi, tetapi tidak termasuk Isabela City di Basilan dan Cotabato City di Maguindanao. 
Lima provinsi ARMM tersebut memiliki penganut Islam terbanyak di Filipina. Salah satunya di Metro Manila, yang mencatat sekitar 105.094 penghuni Muslim.
Sekolah Katolik di Filipina serukan otonomi Muslim
21/01/2016 

Para pendukung perdamaian dan kelompok Gereja menyerukan para legislator Filipina mengesahkan RUU yang membuat wilayah otonomi Muslim di Mindanao selama reli di Manila pada 19 Januari.
 Lembaga pendidikan Katolik  Filipina telah bergabung dalam seruan untuk pengesahan rancangan undang-undang (RUU) yang akan membuat daerah otonomi Muslim di Mindanao. UUD Bangsamoro yang diusulkan adalah sebuah RUU yang kini sedang digodok oleh legislator, jika disahkan, akan mendirikan entitas politik baru yang diusulkan yang dikenal sebagai Bangsamoro di Mindanao. Jika Kongres gagal mengesahkan RUU tersebut di mana banyak pengamat khawatir kesepakatan damai dengan pemberontak Moro bisa menimbulkan masalah lagi. Kelompok pemberontak telah berjuang untuk otonomi yang lebih besar selama lebih dari empat dekade.
“Kepala eksekutif telah berperan untuk menempa perdamaian abadi,” kata Rene Salvador San Andres, direktur eksekutif Asosiasi Pendidikan Katolik Filipina. “Sudah waktunya bagi legislator untuk sahkan RUU itu,” katanya. Gus Miclat, ketua gerakan All-Out Peace mengatakan warga Filipina yang “kehilangan waktu yang signifikan” karena itu ia mendesak legislator untuk melihat urgensi RUU itu sebagai komponen penting untuk peta jalan menuju perdamaian sejati.” San Andres mengatakan kepada para siswa dari sekolah-sekolah Katolik selama aksi damai pada 19 Januari di Manila bahwa RUU itu “bukan legislasi biasa.”
“RUU ini dibuat untuk mewujudkan keadilan sosial,” kata San Andres, seraya menambahkan bahwa RUU itu untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Suster Maria Arnold Noel, pendukung pengesahan RUU itu mengatakan perjanjian damai yang dinegosiasikan di Mindanao adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik panjang di wilayah tersebut.
“Sebagai umat Katolik kita harus mempromosikan perdamaian dan mendorong Kongres untuk melakukan hal yang sama,” kata Suster Noel.
“Adalah konyol bahwa kita sebagai penganut Kristen, tapi kita terus melakukan diskriminasi terhadap umat Muslim,” katanya. Miriam Coronel-Ferrer, negosiator perdamaian pemerintah dengan kelompok-kelompok Islam di Mindanao, memperingatkan bahwa penghentian para pejuang Front Pembebasan Islam Moro mungkin tak terwujud kalau Kongres gagal mengesahkan RUU tersebut.
Sumber: ucannews.com
Apa dan Siapa Bangsa Moro
Voa-Islam.com - Penduduk Philipina Selatan, sebagaimana halnya warga Thailand Selatan, sebagian Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, serta sebagian penduduk Indonesia berasal dari rumpun antropologi yang sama yaitu Austronesian / Malayo Polenesian. Maka.tak heran jika memiliki kesamaan ciri-ciri fisik dan bahasa yang hampir sama. Dalam bahasa Tagalog ( Filipino ) yang kini menjadi bahasa  nasional Philipine, terdapat kurang lebih 5000 kata-kata yang hampir  sama dengan bahasa melayu ( Indonesia ) walau kadang artinya berbeda. Seperti pintu, kanan, murah, mahal, gunting, aku( ako ), kita, balai dan hitungan angka ( 1 sampai 10 )yang amat mirip dengan bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda sekaligus.
Kesamaan ini semakin kental ketika kebetulan mereka sama-sama beragama Islam.  Ketika muslim Melayu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei dan Philippina berkumpul bersama-sama, katakanlah ketika ibadah haji di tanah suci, maka tak ada yang dapat memastikan asal kewarganegaraan mereka. Selain, ketika mereka mulai berbicara tentunya.
Sayangnya, eksistensi dan status muslim nusantara tersebut tidaklah sama. Muslim menjadi mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Namun menjadi minoritas di Thailand, Singapura, dan Philippina. Memang, menjadi mayoritas tidak menjamin hidup lebih baik, namun terlebih lagi ketika menjadi minoritas. Demikianlah yang terjadi dengan minoritas muslim Moro di Mindanao Philippine.
Apa dan Siapa Bangsa Moro
Salah Jubair dalam bukunya Bangsamoro : A Nation Under Endless Tyranny (1999) menyebutkan bahwa istilah Moro atau Bangsamoro (“bangsa” disini memiliki arti yang sama dengan “bangsa” dalam bahasa Indonesia) adalah istilah yang berasal dari penjajah Spanyol (Spaniards). Sama halnya dengan sebutan etnis lain di Philippina seperti ‘Indio” dan “Filipino”.  Kata “Moro” sendiri diadopsi dari bangsa Mauri atau Mauritania di Afrika yang kemudian juga dikenakan kepada bangsa Berbers di Afrika Utara dan juga kepada kaum muslimin yang datang dan menaklukkan Spanyol berabad-abad silam.  Maka, istilah Moro akhirnya tidak merujuk kepada kelompok etnis, ras, waktu dan geografis tertentu, namun lebih merujuk kepada kelompok orang yang berafiliasi kepada agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam.
Muslim di Philippina terdiri atas 13 kelompok etnolinguistik, masing-masing  Iranun, Magindanaon, Maranao, Tao-Sug, Sama, Yakan, Jama Mapun, Ka'agan, Kalibugan, Sangil, Molbog, Palawani and Badjao.  Ada pula muslim di kalangan penduduk pribumi (indigenous people) Mindanao seperti Teduray, Manobo, Bla-an, Higaonon, Subanen, T'boli, dan lain-lain.  Selain itu penduduk Muslim juga dapat diketemukan di Luzon maupun Visayas  kendati tidakdalam jumlah yang signifikan. Muslim yang mendiami Mindanao, pulau Basilan, Palawan, Sulu dan kepulauan Tawi-Tawi kemudian disebut sebagai Bangsamoro (Lingga, 2004). Data tahun 2005 menyebutkan total muslim di Philippina berjumlah 5% (4.5 juta jiwa) dari total penduduk Philippina.
Peran Pendakwah Minangkabau, Makassar dan Ternate
Indonesia, tepatnya warga Minangkabau, Makassar dan Ternate patut berbangga. Penyebaran Islam di Mindanao tak lepas dari peran pendakwah Minangkabau masa silam. Salah Jubair (1999) menyebutkan sejarah keislaman Bangsamoro berakar sejak tahun 1310 M dengan ditemukannya nisan seorang pemimpin dan pendakwah Islam generasi awal di Mindanao. 
Penyebaran Islam di Sulu dan Mindanao diyakini berasal dari para pedagang, guru-guru dan sufi keturunan Arab yang berlayar hingga ke Sulu dan Mindanao (hampir sama dengan model penyebaran Islam di Indonesia). Mereka kemudian mengislamkan dan menikahi penduduk setempat. Masjid pertama di Philippines tercatat berada di Tubig-Indangan di Pulau Simunul. Didirikan oleh Makhdum Karim alias Sharif Awliya, keturunan Arab, sekitar tahun 1380. Berikutnya para musafir keturunan Arab secara berturut-turut membangun kesultanan Sulu pada 1390, dan kesultanan Maguindanao dan Buayan pada akhir abad ke 15
Abhoud Syed M. Lingga (2004) menyebutkan bahwa Sultan pertama Sulu (Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra. Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau (‘Menangkabaw’ dalam istilah di Mindanao).
Di Mindanao, Sharif Muhammad Kabungsuwan, pendiri kesultanan Maguindanao tiba di Mindanao pada 1515.  Ayahnya berasal dari Arab dan ibunya adalah keluarga kesultanan Johor (kini bagian dari Malaysia).  Sementara itu, Sultan Sulu ke -7 adalah memiliki darah Brunei (kini Brunei Darussalam).
Kesultanan Makassar dan Ternate masa silam turut memainkan peranan penting di Mindanao. Ketika Gubernur Spanyol Corcuera menyerbu Sulu pada 1638, Rajah Bongsu, Sultan Sulu, mendapat bantuan dari para prajurit Makassar. Sementara itu, kesultanan Ternate kerap membantu Sultan Buisan di Maguindanao dalam perangnya melawan kolonial Spanyol (Lingga, 2004).
Sampai kini masih cukup banyak keturunan Indonesia yang tinggal di Mindanao. Namun kini lebih banyak berasal dari Sulawesi Utara, utamanya kepulauan Sangir Talaud dan Miangas (Pulau Miangas adalah pulau terluar Indonesia yang berjarak sangat dekat dengan Mindanao dan sebaliknya amat jauh dari Manado).  “Saat ini ada sekitar 8000 orang Indonesia yang masih berkewarganegaraan Indonesia di Mindanao. Belum lagi mereka yang tak terdaftar dan mereka yang telah berkewarganegaraan Philippina,” ujar Bernard Loesi, konsul Indonesia di Konsulat Jenderal RI di Davao City.
Tak puas menyebarkan Islam di Mindanao, pergerakan Islam kemudian melaju ke utara, merambah area Visayan, yaitu Cebu, Mactan, kemudian Palawan, hingga Luzon, pulau dimana metropolitan Manila berada.  Salah Jubair (1999) mensinyalir bahwa Metropolitan Manila pada abad ke 16 adalah di bawah kekuasaan raja muslim yaitu Rajah Sulaiman Mahmud. Sama halnya dengan daerah Tondo, Cebu dan Mactan di Visayan.
Datangnya penjajah Spanyol (Spaniards) pada tahun 1521 kemudian mengubah semuanya. Ekspansi dakwah Islam dari Selatan (Mindanao dan Sulu) terhambat dan pertempuran terjadi di banyak tempat selama tiga abad lebih kekuasaan kolonial Spanyol. Perang dengan Spanyol baru mereda pada tahun 1898, yaitu saat beralihnya kekuasaan negeri Philippines dari Spanyol ke Amerika Serikat melalui perjanjian Paris 10 December 1898.
Identitas Filipino dan Bangsa Moro
Selain mengenakan istilah “Moro” untuk menyebut kelompok muslim di Mindanao, penjajah Spanyol juga menciptakan istilah Philippines. Pada pertengahan abad ke -16 rombongan ekspedisi Spanyol mendarat di Sarangani Mindanao Selatan dan mencoba untuk membangun pemukiman baru. Namun di daerah baru tersebut mereka berbenturan dengan kemiskinan Bangsamoro sehingga rombongan berbalik pulang. Dalam perjalanan pulang ketika melewati gugus kepulauan Samar-Leyte, Bernardo de la Torre, salah seorang kru kapal, memberikan nama kepulauan tersebut sebagai Filipinas, ntuk menghormati Philip, putra mahkota kerajaan Spanyol ketika itu (di kemudian hari menjadi Raja Philip II).  Ketika Amerika Serikat menjajah Filipinas, nama tersebut kemudian di-Inggris-kan menjadi Philippines, sampai saat ini.
Apabila Philippines adalah nama negara, maka Filipino adalah sebutan untuk Spaniards yang lahir di Philippines. Namun sejak tahun 1898 istilah Filipino dikenakan juga untuk warga pribumi demi menggalang dukungan warga pribumi dalam melawan Amerika Serikat.  Belakangan, istilah Filipino ini kemudian mendapatkan ‘nickname’ baru yaitu Pinoy (untuk kaum Pria Filipino) dan Pinay (untuk kaum wanita Filipino)
Warga pribumi Philippines non Moro sebelum 1898 disebut sebagai Indios. Makna “Indios” adalah ‘native” ataupun “pribumi”. Istilah diskriminatif ala Spaniards kepada penduduk asli Philippina yang bermakna ras yang lebih rendah, primitif dan intelejensia terbatas. Sebenarnya, Indios secara antropologis adalah juga termasuk ras Indo-Malayan sama seperti Bangsamoro. Hanya saja mereka tidak memeluk Islam maka lebih kental dengan sebutan Indios.  
Sama halnya dengan etnis Dayak yang memeluk Islam di Kalimantan. Ketika memeluk Islam mereka disebut sebagai Melayu, kendati sebenarnya asal usul etnis tidak berubah. Tetap saja etnis Dayak. Karena ada asumsi bahwa etnis Dayak adalah penganut kepercayaan animism/dinamism ataupun kepercayaan lain di luar Islam.
Sebaliknya, Bangsamoro tetaplah Bangsamoro hingga kini.  Roh Islam Melayu jauh lebih dominan daripada Indios apalagi Spaniards.  Secara ras, Bangsamoro adalah ras Indo-Malayan.  Ciri-ciri fisiknya amat serupa dengan Indo Malayan lain yang kini bermukim di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan.
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi (Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam. 
Secara Etnolinguistik, semua dialek pribumi Moro, dan juga Luzon serta Visayas, adalah berhubungan dan memiliki akar yang sama dengan bahasa di rumpun Austronesian/ Malayo Polynesian. Tak heran, kita mudah menemukan banyak kata-kata yang sama antara bahasa Bangsamoro dengan bahasa Indonesia, Melayu-Sumatra, bahkan bahasa Jawa, ataupun Sunda.  Kata-kata seperti Tuhan, Raja, bichara, orangkaya, sultan, memiliki makna yang hampir sama dengan kata-kata yang sama dalam bahasa Indonesia.
Secara afialiasi keagamaan, hampir seratus persen penduduk Bangsamoro adalah beragama Islam. Dengan model keislaman yang kurang lebih sama dengan penduduk Asia Tenggara yang lain.
Problem Bangsa Moro
Problem utama Bangsamoro kini adalah  hak untuk menentukan nasib sendiri (Right To Self-Determination).  Selanjutnya mungkin adalah kemiskinan, ketertinggalan pembangunan, rendahnya  pendidikan, minimnya pekerjaan, diskriminasi, dan juga stigma sebagai teroris.
Tidak salah kalau dikatakan bahwa Bangsamoro selalu berada dalam tirani dan penjajahan. Lepas dari penjajahan Spanyol selama lebih dari tiga abad (1521 – 1898), Bangsamoro berada dalam kekuasaan Amerika Serikat hampir selama lima dekade (1898 -1942). Berikutnya Jepang menguasai mereka selama tiga tahun sampai akhirnya berada dalam kekuasaan Republic of Philippines per 4 Juli 1946.  
Perjuangan menuju kemerdekaan masih berlangsung hingga kini.  Berturut-turut lahir Moro National Liberation Front (MNLF) pada akhir tahun 1960-an pimpinan Nur Misuari dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hasyim (wafat pada 2003) pada tahun 1981. Lahirnya MILF adalah respon dari ketidakpuasan terhadap MNLF yang dianggap kurang tegas dalam memperjuangkan hak-hak Bangsamoro dan terlalu akomodatif dengan pemerintah Philippina.  Belakangan, pada awal 1990-an, lahir Abu Sayyaf Group (ASG) yang dipimpin Abdulrajak Janjalani.
Negosiasi Bangsa Moro dan pemerintah Philippina untuk merumuskan wujud hak menentukan nasib sendiri ini berlangsung berpuluh tahun. Libya, Indonesia dan Malaysia adalah di antara negara-negara OKI (organisasi konferensi Islam) yang rajin memfasilitasi perundingan ini.  Pencapaian terakhir Bangsamoro dalam ikhtiar menuju kemerdekaan ini adalah dicapainya status otonomi khusus dengan nama ARMM (Autonomous Region of Muslim Mindanao) pada 1 Agustus 1989, buah perjanjian antara pemerintah Philippina dan MNLF.  Saat ini ARMM terdiri atas enam propinsi yaitu tiga di daratan Mindanao (Maguindanao, Lanao del Sur, Shariff Kabunsuan) dan tiga di kepulauan Sulu (Sulu, Basilan, dan Tawi-Tawi). Jumlah penduduk di enam propinsi mayoritas muslim tersebut mencapai hampir tiga juta jiwa.
Disamping ARMM, bentuk akomodasi lain terhadap Bangsamoro oleh pemerintah Philippina adalah pemberlakuan Code of Muslim Personal Laws of the Philippines pada tahun 1977 yang mengatur urusan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, kewarisan) masyarakat muslim Philippine. Selanjutnya, beberapa mahkamah syari’ah dibentuk dan hakim-hakim syari’ah ditunjuk . Di bidang ekonomi Islam, Philippine Amanah Bank, yang beroperasi di kalangan muslim, dibentuk pada tahun 1974 oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos.   
Sejatinya, tak ada kebijakan pemerintah Philippina ( seperti halnya di negeri-negeri yang muslim nya minoritas) yang secara terang-terangan mendiskriminasikan penduduk muslim. Namun berhubung mayoritas penduduk Philippina adalah Kristen (Katholik dan Protestan), maka banyak kebijakan yang memang dirumuskan sesuai dengan kehendak mayoritas dan akhirnya merugikan minoritas.
Sebagai contoh, kebijakan memindahkan penduduk Filipino non muslim ke Mindanao (seperti juga halnya di Pattani Thailand Selatan, Xinjiang di China dll ) atas nama pembangunan, akhirnya cenderung meminggirkan kaum minoritas di Mindanao, yaitu Bangsamoro. Akibatnya kemiskinan, kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah cerita yang  yang lain. “Penduduk muslim sukar mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintah maupun di pertanian umum, hanya karena mereka muslim,” tutur Evelyn, muslimah Moro yang tinggal di Mandug Barangay, Davao City.
Masa Depan Bangsa Moro
Bangsa Moro kini hidup di tengah ketidaksinkronan. Ruh-nya adalah Islam Melayu sementara jasadnya adalah Pinoy (Philippines). Hampir sama dengan minoritas muslim Thailand Selatan yang hidup di tengah negeri Buddhist.  Muhammad al Hasan (1978)  menyikapi situasi ini sebagai berikut : “Kami, Moros dan Filipinos adalah dua kelompok manusia yang berbeda, yang memiliki ideologi, budaya, dan sejarah yang berbeda. Kami juga memiliki konsep kedaulatan yang berbeda. Menurut Filipinos, kedaulatan berada di tangan rakyat Filipino, sedangkan kami sepenuhnya percaya bahwa kedaulatan adalah milik Allah Subhanahu Wata ‘Ala.”  Selanjutnya, Muhamad al Hasan mengatakan :
“Budaya kami sangat dipengaruhi oleh kepercayaan, ajaran, dan prinsip-prinsip Islam, yang sangat bertentangan secara diametral dengan kebudayaan Filipino yang sangat terpengaruh budaya kaum kolonial.”
Maka, perjuangan Bangsamoro ke depan  adalah perjuangan bernegosiasi. Menegosiasikan masa depannya sebagai minoritas. Menegosiasikan hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri di tengah  mayoritas Pinoy yang bersamaan ras, bahasa, dan warna kulit-nya namun berbeda agama, kultur, maupun ideologi.  Perjuangan yang tidak mudah, karena kemiskinan, pengangguran, rendahnya pendidikan, dan stigma sebagai teroris senantiasa melekati mereka. (aa.voa-islam)
Sumber : heru susetyo.multiply.com /dengan perubahan

 


1 comment :

  1. Perkembangan Islam di Philipina bukti kejamnya sistem Imperalisme bangsa eropa, sebuah negara harus sirna karena sebuah sistem pemerintahan yang dipaksakan. dan anehnya itu datang dari negara yang mendewakan Demokrasi. harusnya kita harus terus berpijak pada Asas persamaan, keadilan dan kemerdekaan menyatakan identitas sebagai sebuah negara.

    ReplyDelete