Raja-Raja Yang Mepresentasikan Dzulqarnain3

No comments
Akhenaten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Akhenaten / Amenhotep IV
Amenophis IV, Naphu rureya, Ikhnaton

Patung Akhenaten di dekat seni Amarna

Pharaoh
Masa Pemerintahan
1353 SM – 1336 SM atau
1351– 1334 SM atau 1022-1006 SM (kronologi Baru) (Dinasti kedelapan belas Mesir)
Didahului oleh
Amenhotep III
Digantikan oleh
Smenkhkare? / Tutankhamun



Suami/istri
Nefertiti, Kiya, Maritaten?, mungkin Ankhesenpaten, saudara perempuan yang tidak dikenal namanya.
Anak
Smenkhare? Meritaten, Meketaten, Ankhesenpaaten, Neferneferuaten Tasherit,
Neferneferure, Setepenre, Tutankhamun, Ankhesenpaten-ta-sherit?
Ayah
Amenhotep III
Ibu
Tiye
Wafat
1336 atau 1334 SM
Makam
Royal Tomb of Akhenaten KV55
Monumen
Akhetaten, Gempaaten, Hwt-Benben

Akhenaten dan keluarganya menyembah Aten
Akhenaten, juga dieja Echnaton, Akhenaton, Ikhnaton, dan Khuenaten; artinya "roh Aten yang hidup") dikenal sebelum tahun ke-5 pemerintahannya sebagai Amenhotep IV (kadang ditulis dengan bentuk Yunani, Amenophis IV, dan berarti Amun dipuaskan), adalah Firaun dinasti ke-18 Mesir, terutama dikenal karena mengubah sistem agama Mesir menjadi monoteistis dengan menyembah dewa Aten. Ia adalah anak Amenhotep III dengan istrinya Tiye dan bukan anak laki-laki tertua ayahnya. Ia mulanya tidak direncanakan menjadi raja sampai kakak laki-lakinya Tuthmose meninggal. Amenhotep IV menjadi raja setelah ayahnya Amenhotep III wafat setelah memerintah 38 tahun. Istri utama Akhenaten adalah Nefertiti, yang sekarang terkenal karena patungnya di Altes Museum Berlin.
Permulaan pemerintahan
Amenhotep IV dimahkotai di Thebes dan disanalah ia mulai membangun. Ia menghiasi gerbang selatan menuju daerah kuil Amun-Re dengan gambar dirinya menyembah Re-Harakhti. Segera ia memerintahkan pembangunan kuil untuk dewa Aten di Karnak Timur. Kuil ini disebut Gempaaten (“Aten yang ditemukan dalam tanah milik Aten”). Gempaaten terdiri dari sejumlah bangunan, termasuk istana dan bangunan bernama Hwt Benben yang dipersembahkan kepada ratu Neferiti. Sejumlah kuil Aten yang dibangun di Karnak dalam periode ini termasuk Rud-menu dan Teni-menu yang dibangun dekat Pylon ke-9. Selama waktu ini ia tidak menekan penyembahan Amun, dan Imam Besar Amun masih aktif pada tahun ke-4 pemerintahannya. The king appears as Amenhotep IV dalam makam-makam sejumlah bangsawan di Thebes: Kheruef, Ramose dan makam Parennefer.
Perubahan Nama menjadi Akhenaten
Pada hari ke-13, bulan ke-8, tahun ke-5 pemerintahannya, raja tiba di lokasi kota baru, Akhetaten (sekarang dikenal sebagai Amarna). Sebulan sebelumnya Amenhotep IV secara resmi mengganti namanya menjadi Akhenaten. Amenhotep IV mengubah hampir semua gelar Firaunnya (5 fold Pharaoh titulery) pada tahun ke-5 itu. Nama yang tetap tidak diubah hanyalah prenomen atau nama tahta.










Penemuan Kembali
Riwayat raja ini sama sekali hilang dari sejarah sampai ditemukannya kembali kota Amarna pada abad ke-19. Kota Amarna, lokasi Akhetaten, kota yang dibuat raja ini untuk dewa Aten, awalnya diekskavasi oleh Flinder Petrie yang segera menumbuhkan ketertarikan dengan firaun yang aneh ini, yang makamnya digali pada tahun 1907 oleh Edward R. Ayrton. Akhenaten semakin terkenal karena penemuan di Valley of the kings, Luxor, adanya makam raja Tutankhamun, yang terbukti adalah putra Akhenaten berdasarkan tes DNA pada tahun 2010. Sebuah mummi yang ditemukan pada tahun 1907 telah diidentifikasi sebagai Akhenaten. Orang ini dan Tutankhamun mempunyai hubungan darah yang tidak diragukan, tetapi identifikasi mummi KV55 sebagai Akhenaten masih dipertanyakan. Ketenaran modern Akhenaten dan ratunya, Nefertiti, sebagian dari hubungannya dengan Tutankhamun, sebagian dari caranya yang unik dan kualitas tinggi dari seni ukir serta gambar yang dibuat pada zamannya, juga karena agama yang ia mulai.
Hubungan Internasional

Akhenaten dalam gaya khas periode Amarna.
Bukti penting pemerintahan dan kebijakan luar negeri Akhenaten didapatkan dari penemuan kumpulan Surat Amarna, yaitu sejumlah besar korespondensi diplomatik yang digali dari el-Amarna, kota modern dari lokasi kuno Akhetaten. Korespondensi ini meliputi koleksi yang tak ternilai dari tablet/lempengan tanah liat, yang dikirimkan kepada Akhetaten dari berbagai pemimpin daerah di seluruh pos militer Mesir, dan dari pemimpin negara asing (dikenali sebagai Raja-raja Agung atau "Great Kings") dari Kerajaan Mitanni, Babylon, Asyur dan Hatti. Gubernur-gubernur dan raja-raja jajahan Mesir juga sering menulis untuk meminta emas dari firaun, dan juga mengeluh karena diacuhkan dan ditipu oleh raja.
Di awal pemerintahannya, Akhenaten berselisih dengan raja Mitanni, Tushratta, yang mencoba membina hubungan dengan ayah Akhenaten untuk melawan Hittit. Tushratta mengeluh dalam beberapa surat bahwa Akhenaten mengiriminya patung berlapis emas, bukannya dari emas murni; di mana patung-patung itu merupakan sebagian mas kawin yang diterima Tushratta untuk memberikan putrinya Tadukhepa menjadi istri Amenhotep III dan kemudian Akhenaten. Surat Amarna EA 27 mengawetkan keluhan Tushratta kepada Akhenaten mengenai situasi ini.
Dari kumpulan surat-surat ini diketahui bahwa Akhenaten memberi perhatian besar atas urusan bawahan-bawahannya di Kanaan dan Siria. Akhenaten berhasil mempertahankan kekuasaan Mesir di Palestina dan pantai Fenisia, sementara menghindari konflik dengan Kerajaan Hittit yang semakin kuat di bawah pimpinan Suppiluliuma I. Satu-satunya provinsi perbatasan Mesir yang Amurru di Siria melingkari sungai Orontes pindah ke tangan orang Hittit ketika pemimpinnya, Aziru, membelot kepada Hittit. Berlawanan dengan pandangan umum bahwa Akhenaten mengabaikan hubungan luar negeri, ia dikenal memimpin paling sedikit satu penyerangan ke Nubia pada tahun ke-12 pemerintahannya dan serangan ini disebut dalam Amada stela CG 41806 dan dalam sebuah stela pendamping terpisah di Buhen.
Kematian, Pemakaman dan Pengantinya

Sarkofagus Akhenaten direkonstruksi dari pecahan-pecahan makam aslinya di Amarna, sekarang di Egyptian Museum, Kairo.
Penampilan terkahir Akhenaten dan keluarga Amarna adalah di makam Meryra II yang bertanggalkan bulan ke-2 tahun ke-12 pemerintahannya. Pada bulan Desember 2012, diumumkan bahwa inskripsi Tahun 16 III Akhet day 15 memuat penanggalan eksplisit pemerintahan Akhenaten yang juga menyebutkan kehadiran ratu Nefertiti yang masih hidup, dan inksripsi ini ditemukan dalam tambang batu kapur di Deir el-Bersha, sebelah utara Amarna. Tulisan itu menyangkut proyek pembangunan di Amarna dan memberi bukti bahwa Akhenaten dan Nefertiti masih hidup sebagai pasangan kerajaan setahun sebelum matinya Akhenaten.
Fragmentari ushabti Akhenaten dari makam aslinya di Amarna, sekarang di Brooklyn Museum.
Meskipun diterima bahwa Akhenaten mati pada tahun ke-17 pemerintahannya, muncul pertanyaan apakah Smenkhkare menjadi raja muda mungkin dua atau tiga tahun sebelumnya atau menjadi raja tunggal untuk beberapa waktu dan ini belum jelas. Jika Smenkhkare menggantikan Akhenaten, dan menjadi firaun tunggal, pemerintahannya tidaklah sampai setahun. Pengganti berikutnya adalah Neferneferuaten, seorang firaun perempuan yang memerintah Mesir selama 2 tahun dan 1 bulan. Ia kemudian digantikan oleh Tutankhaten (kemudian berganti nama menjadi Tutankhamun), sementara negara diatur oleh perdana menteri (Vizier) utama yang kemudian menjadi firaun, Ay. Tutankhamun diyakini sebagai adik laki-laki Smenkhkare dan putra Akhenaten, dengan Kiya meskipun ada pakar yang menduga Tutankhamun mungkin saja putra Smenkhkare. Tes DNA pada tahun 2010 mengindikasikan bahwa Tutankhamun benar adalah putra Akhenaten. Diduga setelah matinya Akhenaten, Nefertiti memerintah dengan nama Neferneferuaten. tetapi pakar-pakar lain percaya pemimpin wanita ini adalah Meritaten. Sebuah stela "Pemerintahan Bersama" (Co-Regency Stela), yang ditemukan dalam sebuah makam di Amarna kemungkinan menunjukkan ratu Nefertiti sebagai raja bersama, memerintah bersama Akhenaten, tetapi tidak pasti karena nama-namanya dihapus dan diukir menjadi Ankhesenpaaten dan Neferneferuaten.
Dengan kematian Akhenaten, ibadah dewa Aten yang didirikannya lambat laun kehilangan pengikut. Tutankhaten mengganti namanya menjadi Tutankhamun pada tahun ke-2 pemerintahannya dan meninggalkan kota Akhetaten, yang akhirnya menjadi puing-puing. Penggantinya, Ay dan kemudian Horemheb, membongkar kuil yang dibangun Akhenaten, termasuk kuil di Thebes, menggunakan bahannya untuk membangun kuil bagi mereka sendiri.
Akhirnya, Akhenaten, Neferneferuaten, Smenkhkare, Tutankhamun, dan Ay dihapus dari daftar resmi firaun, sehingga hanya dilaporkan bahwa Amenhotep III langsung digantikan oleh Horemheb. Ini dianggap upaya Horemheb untuk menghapus jejak penyembahan Atenisme dan para firaun yang berhubungan dari catatan sejarah. Nama Akhenaten tidak pernah muncul di daftar raja-raja yang dibuat firaun-firaun sesudahnya dan baru di akhir abad ke-19 identitasnya ditemukan kembali dan catatan pemerintahannya disusun lagi oleh para arkeolog.
Kronologi Baru
David Rohl mendapatkan argumen kuat mengenai tahun pemerintahan Akhenaten yang berbeda dengan kronologi konvensional (yang diperkirakan berdasarkan penyamaan "Sisak" dengan "Shoshenq I"). Argumen ini didasarkan pada gerhana matahari yang terjadi pada sore hari menjelang matahari terbenam (~pukul 18:09) pada tanggal 9 Mei 1012 SM, yang terlihat di kota kuno Ugarit. Kejadian sangkat langka ini didapatkan tanggalnya dengan perhitungan terbalik astronomi berdasarkan catatan pada Tablet KTU-1.78, dan berkaitan dengan terbakarnya istana raja Nikmaddu II, penguasa Ugarit, yang disebut-sebut dalam salah satu Surat Amarna(EA 151) yang dikirimkan oleh Abimilku, penguasa Tirus kepada Akhenaten pada tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten, beberapa bulan setelah ayahnya, Amenhotep III, mangkat. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Akhenaten dinobatkan menjadi raja muda untuk memerintah bersama ayahnya pada tahun 1022 SM. Amenhotep III mangkat pada tahun ke-11 pemerintahan bersama dengan Akhenaten dan sejak tahun ke-12, Akhenaten memerintah sebagai penguasa tunggal Mesir.
Berikut adalah tahun-tahun pemerintahan sejumlah raja sebelum dan sesudah zaman Akhenaten:
  • Ahmose (25 tahun) - 1194-1170 SM
  • Amenhotep I (21 tahun) - 1170-1150 SM
  • Thutmose I (12 tahun) - 1150-1139 SM
  • Thutmose II (2 tahun) - 1139-1138 SM
  • Thutmose III (54 tahun) - 1138-1085 SM
  • Hatshepsut (15 tahun) - 1131-1116 SM (pemerintahan bersama Thutmose III)
  • Amenhotep II (27 tahun) - 1085-1059 SM
  • Thutmose IV (10 tahun) - 1059-1050 SM
  • Amenhotep III (37 tahun) - 1050-1012 SM (mangkat pada tahun ke-11 Akhenaten)
  • Akhenaten (16 tahun) - 1022-1006 SM (memerintah bersama Amenhotep III selama 11 tahun)
  • Neferneferuaten - 1011-1007 SM (memerintah bersama Akhenaten selama 5 tahun)
  • Smenkhkare - 1006-1003 SM (memerintah bersama Akhenaten selama 1 tahun)
  • Tutankhamun - 1003-995 SM (memerintah sendiri selama 9 tahun)
  • Ay - 995-990? (lama pemerintahan tidak diketahui pasti)
Ini membuat Akhenaten sezaman dengan Saul dan Daud di Israel.
Referensi
1.      Akhenaten. dictionary.com. diarsipkan dari versi asli tanggal 14 October 2008. Diakses tanggal 2008-10-02.
2.      Akhenaten. Encyclopaedia Britannica.
3.      Beckerath (1997) p.190
4.      Clayton (2006), p.120
5.      Dominic Montserrat, Akhenaten: History, Fantasy and Ancient Egypt, Psychology Press, 2003, pp 105, 111
6.      Akhenaten (king of Egypt) – Britannica Online Encylopedia, Britannica.com. Diakses tanggal 2012-08-25.
7.      Robert William Rogers, Cuneiform parallels to the Old Testament, Eaton & Mains, 1912, p 252
8.      K.A Kitchen, On the reliability of the Old Testament, Wm. B. Eerdmans Publishing, 2003. p 486 Google Books
9.      Joyce A. Tyldesley, Egypt: how a lost civilization was rediscovered, University of California Press, 2005
10.  Aldred, Cyril, Akhenaten: King of Egypt ,Thames and Hudson, 1991 (paperback),   ISBN 0-550-27621-8 p 259-268
11.  Charles F. Nims , The Transition from the Traditional to the New Style of Wall Relief under Amenhotep IV, Journal of Near Eastern Studies, Vol. 32, No. 1/2 (Jan. - Apr., 1973), pp. 181-187
12.  Dodson, Aidan, Amarna Sunset: Nefertiti, Tutankhamun, Ay, Horemheb, and the Egyptian Counter-Reformation. The American University in Cairo Press. 2009, ISBN 978-977-416-304-3.
  

No comments :

Post a Comment

Islam di Miyanmar

2 comments


Muslim di desa Myanmar masih khawatir setelah serangan masjid.
Dari, BBC Indonesia
Image copyright Reuters Image caption Warga Muslim berlindung di kantor polisi setelah serangan pekan lalu.
Komunitas Muslim di satu desa di Myanmar merasa khawatir setelah serangan terhadap masjid oleh penduduk setempat, menurut para pejabat.
Puluhan polisi dikerahkan untuk menjaga desa di Burma tengah itu menyusul ketegangan antar pemeluk agama setelah sekitar 200 pemeluk Buddha menyerang satu masjid pekan lalu.

Image copyright AFP Image caption Pengurus masjid menangis setelah menyaksikan tempat ibadahnya hancur.
Serangan di desa Thuye Tha Mein yang terletak sekitar 64 kilometer dari Yangoon ini bermula dari cekcok akibat pembangunan sekolah Islam di dalam masjid, menurut organisasi hak asasi Amnesty International.
Muslim di desa itu berlindung di kantor polisi menyusul serangan tanggal 23 Juni lalu.
Amnesty juga menyerukan dilakukannya penyelidikan yang menyeluruh terkait serangan yang menyebabkan satu orang luka-luka itu. Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan agama meningkat di Myanmar dan sering dipicu oleh pihak garis keras nasionalis Buddha dengan sasaran terutama Muslim. Sejumlah komentar di Facebook BBC Burma terkait berita tentang serangan ini antara lain dari Mohamad Faisal yang menulis, "Mengapa polisi baru menjaga sekarang, Anda takut sama massa? Mengapa tidak dijaga sebelum serangan terjadi?".

Image copyright Facebook Image caption Banyak sentimen anti-Muslim dan juga kritikan terhadap polisi di Facebook BBC Burma.
Komentar lain dari Chit Chit Mandalay yang mengatakan, "Mengapa baru dijaga sekarang dan ini akan memancing kerusakan lagi," sementara Sun Power menulis, "Jangan kasar, hindari kekerasan dan kita harus bersatu."
Rentan kekerasan
Namun banyak komentar anti-Islam dalam posting di BBC Burma terkait berita serangan ini. Editor BBC Burma, Tin Htar Swe, mengatakan masyarakat Burma sangat rasis dan ini akibat pemerintah militer sebelumnya yang memainkan 'kartu nasionalis'.

Image copyright AFP Image caption Amnesty Internasional mendesak pemerintah Burma untuk melakukan penyelidikan menyeluruh.
"Pemerintah sebelumnya sengaja tidak mengambil tindakan bila ada insiden dan akibatnya kekerasan komunal dan sektarian sangat rentan... dan bisa terjadi dengan pemicu kecil apapun," kata Swe. Pemimpin partai berkuasa Aung San Suu Kyi tambah Swe, saat ini menetapkan prioritas yang lebih besar termasuk menjaga perdamaian dan konstitusi.
"Bila ia memulai membicarakan soal kekerasan, akan timbul keributan (dalam pemerintahan)," tambahnya.
Suu Kyi, peraih Hadiah Nobel Perdamaian menghadapi kritikan karena dianggap tidak mengambil sikap tegas terhadap Muslim, terutama kelompok Rohingya yang banyak tinggal di negara bagian Rakhine. Suu Kyi sendiri mengatakan meminta waktu di tengah upaya pemerintahan sipilnya untuk membangun kepercayaan antar komunitas.
Win Shwe, sekretaris masjid, mengatakan kepada kantor berita AFP, penduduk Muslim khawatir akan keselamatan mereka dan merencanakan untuk pindah ke kota terdekat sampai ketegangan mereda.
"Situasi kami masih belum aman dan kami merencanakan untuk pindah dari desa ini... kami masih takut," katanya kepada AFP.


2 comments :

Post a Comment

Raja-raja yang mencermikan Dzulqarnain Bag 2

1 comment
Alexander Agung
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas

Alexander Agung bertempur dengan Maharaja Parsi, Darius III (tiada dalam gambar). Gambar itu merupakan sebahagian daripada lukisan Yunani Abad III, Mozek Alexander, yang berasal dari Pompei tetapi kini telah hilang.
Alexander Agung atau Iskandar Agung (Alexander III dari Kekaisaran Macedonia Greek, ditransliterasikan sebagai Megas Alexandros; Julai 323 SM  ialah raja Empayar Macedonia Greek (bahasa Greek), sebuah negara di daerah timur laut Greec dan dianggap sebagai salah satu daripada pemerintah yang amat berjaya dalam sejarah dunia. Beliau menakluk hampir seluruh dunia yang dikenali oleh orang Yunani sebelum kematiannya.

Selepas penyatuan kesemua negara kota Yunani di bawah pemerintahan ayahandanya, Philip II dari Macedonia suatu tugas yang Iskandar terpaksa ulangi kerana orang Yunani selatan memberontak selepas kematian Philip), Iskandar menakluk kaisar Parsi, termasuklah Anatolia, Syria, Phoenecia, Gaza, Mesir, Bactria, serta Mesopotamia, dan memperluaskan sempadan empayarnya sehingga kawasan Punjab. Alexander menyerap orang-orang asing (bukan orang Macedonia dan Yunani) ke dalam angkatan tentera dan pentadbirannya, dan oleh itu, menyebabkan sebilangan cendekiawan memberikan penghargaan kepadanya untuk "polisi pergabungan". Beliau menggalakkan perkahwinan antara askar-askarnya dengan orang-orang asing, serta turut mengamalkan galakannya itu. Selepas dua belas tahun kempen tentera yang berterusan, Alexander meninggal dunia, mungkin disebabkan oleh demam malaria atau tifoid, atau juga virus ensafalistis. Penaklukannya mengambil kira penempatan orang Yunani serta pemerintahan kawasan asing selama berabad-abad lamanya dan tempoh itu dikenali sebagai Zaman Yunani. Alexander terus dikenang dalam sejarah dan mitos kebudayaan Yunani serta bukan Yunani. Semasa hidupnya dan khususnya, selepas kematiannya, kehandalan Alexander telah menjadi ilham sebuah tradisi kesusasteraan yang mana beliau muncul sebagai wira legenda dalam tradisi Achiles.
Gelaran yang lain
Alexander juga dikenali:
Dalam Arda Wiraz Namag, sebuah karya bahasa Parsi  Zaman Pertengahan Zoroaster, sebagai "Alexander Keji" kerana penaklukan Empayar Parsi serta pemusnahan ibu kota Persepoliks. Bagaimanapun, dalam tradisi Parsi kemudian sehingga Iran pada hari ini, beliau telah dikenali sebagai Eskandar  dan juga disanjung sewaktu pembinaan Dinding Agung Sadd-e Eskandar oleh Dinasti Parthia.
dalam tradisi-tradisi Timur Tengah sebagai Dhul-Qarnayn dalam bahasa Arab dan Dul-Qarnayim dalam bahas Ibrani dan bahas Aramia (bertanduk dua), kerana gambarnya pada duit-duit syiling yang ditempah semasa pemerintahannya kelihatan seakan-akan dua tanduk biri-biri jantan Amun yang merupakan salah satu daripada dewa Mesir.
sebagai Sikandar dalam bahasa Hindi, istilah "Sikandar" digunakan di India sebagai sinonim untuk "pakar" atau "terlalu mahir".
Kehidupan Awal
Alexander Agung ialah anak kepada Maharaja Philip II dari Raja Macedonia dan Puteri Olympias dari Epirus. Kononnya, Menurut Plutarch (Alexander 3.1,3), Olympias dibuntingkan oleh Zeus Ammon, dan bukannya Philip yang takut akan Olympias dan kegemaran Olympias untuk tidur dengan ular. (Namun ini tidak boleh diterima seccara logik) Plutarch (Alexander 2.2-3) menceritakan bahawa kedua-dua Philip dan Olympias bermimpi tentang anak yang akan dilahirkan. Olympias bermimpi tentang dentuman guruh dan kilat yang memanah rahimnya. Dalam mimpi Philip, baginda mengecap rahim isterinya dengan mohor singa. Berasa cemas oleh mimpi-mimpi itu, baginda berunding dengan peramalnya, Aristander dari Telmessus, yang menentukan bahawa isterinya hamil dan anaknya akan mempunyai sifat singa. Menurut lima orang ahli sejarah kuno (Arrian, Curtias, Diodorus, Justin dan Plutarch), selepas lawatannya ke tempat-tempat Amun di Siwa, khabar-khabar tersebar bahawa ramalannya telah mendedahkan ayahanda Iskandar sebagai Zeus, dan bukannya Philip. Menurut Plutarch (Alexander 2.1), ayahandanya adalah dari keturunan Heracles melalui Caranus, dan ibundanya dari keturunan Aeacus melalui Neoptolemus dan Achilles.
Aristotle ialah guru peribadi Alexander. Beliau memberikan latihan yang teliti kepada Iskandar dalam bidang retorik dan kesusasteraan serta merangsangkan minatnya terhadap sains perubatan dan falsafah. Aristotle juga memberikan beliau sebuah salinan Illiad dan sebilah pisau yang beliau sentiasa sorokkan di bawah bantal pada waktu malam.

Kebangkitan Macedonia
Ketika Philip mengetuai serangan terhadap Byzantium pada 340 SM, Alexander yang berumur 16 tahun dilantik untuk memerintah Macedonia. Pada 339 SM, Philip mengambil isteri kedua, dan menyebabkan ibunda Alexander, Olympias, berasa sedih. Ini pula menyebabkan perkelahian antara Alexander dengan ayahandanya, sehingga pewarisan takhta Alexander terhadap Macedonia hampir-hampir terjejas.

.
Arca Alexander di Brithis Musium
Pada tahun 338 SM, Philip mencipta Liga Corinth. Alexander juga membantu ayahandanya dalam Perang Chaeronea yang berlaku pada tahun itu. Sayap pasukan askar berkuda yang diketuai oleh Iskandar memusnahkan Kumpulan Suci dari Thebes, kor elit yang sebelum itu dianggap tidak dapat dikalahkan. Philip berpuas hati dengan merampas Boeotia daripada Thebes dan meninggalkan sekumpulan garison di dalam kubu kota.
Pada tahun 336 SM, Philip dibunuh sewaktu menyertai istiadat perkahwinan anak perempuannya, Cleopatra dari Macedonia, dengan Maharaja Alexander dari Epirus. Pembunuhnya Pausanias yang merupakan seorang bangsawan muda yang bersungut, dikatakan bekas kekasih Philip yang berdendam dengannya kerana baginda tidak mengendahkan satu rungutan yang dikemukakan olehnya. Pada suatu masa, pembunuhan Philip dianggap telah dirancang dengan pengetahuan dan penglibatan Alexander atau Olympias. Lagi satu kemungkinan adalah Darius III yang merupakan Maharaja Parsi yang baru sahaja menaiki takhta. Plutarch menyebut sepucuk surat berang dari Alexander kepada Darius yang menyalahkan Darius dan wazir agungnya, Bagoas, terhadap pembunuhan ayahandanya. Surat itu menyatakan bahawa Darius ialah orang yang bercakap besar dengan bandar-bandar Yunani tentang bagaimana baginda dapat membunuh Philip.
Selepas kematian Philip, angkatan tentera mengisytiharkan Alexander yang berumur 20 tahun sebagai maharaja baru untuk Empayar Macedonia. Bandar-bandar Yunani seperti Athens dan Thebes, yang telah dipaksa berikrar untuk taat setia kepada Philip, melihat maharaja baru itu sebagai peluang untuk menuntut balik kemerdekaan penuh mereka. Alexander bertindak dengan pantas dan Thebes, yang paling aktif menentanginya, menyerah sewaktu baginda muncul di depan pintu kotanya. Orang-orang Yunani yang berhimpun di Segenting Corinth, dengan kekecualian Sparta yang tunggal, memilihnya sebagai komander untuk menentangi Parsi. Darjah kebesaran itu dahulunya telah dikurniakan kepada ayahandanya.
Pada tahun yang berikut, yaitu 335 SM, Alexander berasa lapang untuk bertempur dengan Thrace dan Illyria supaya dapat memperoleh Danube sebagai sempadan utara untuk kerajaan Macedonia. Sewaktu baginda berkempen dengan berjaya di utara, orang Thebes dan Athens memberontak sekali lagi. Alexander bertindak balas dengan segera, dan sewaktu bandar-bandar yang lain teragak-agak tentang apa yang hendak dibuat selanjutnya, Thebes memutuskan untuk menentang dengan segala keupayaan mereka pada kali ini. Penentangan itu sia-sia; pada akhirnya, bandar itu ditewas dengan banyak petumpahan darah. Orang-orang Thebes menghadapi penderitaan yang amat teruk sewaktu bandar mereka dibakar dan wilayah mereka dibahagikan kepada bandar-bandar Boeotia. Tambahan pula, kesemua orang-orang bandar itu dijual sebagai hamba, kecuali bagi pendeta-pendeta, ketua-ketua parti pro-Macedonia dan keturunan-keturunan Pindar yang merupakan rumah tunggal yang tidak dikacau. Pengakhiran Thebes menakutkan Athens untuk menyerah, dan Athens sanggup menerima desakan Alexander untuk membuang semua ketua parti anti-Macedonia, terutamanya Demosthenes.
Tempo Penalukan Kejatuhan Empayar Parsi

Angkatan tentera Alexander melintasi Hellespont dengan kira-kira 35,000 orang askar yang terdiri khusus daripada orang Macedonia dan orang Yunani, dan termasuk juga sebilangan orang Thrace, Paionia dan Illyria. Selepas kemenangan awal menentang angkatan Parsi dalam Perang Granicus, Alexander menerima penyerahan kalah oleh ibu kota daerah Parsi serta perbendaharaan Sardis dan menuju ke arah pantai Ionia. Di Halicarnassus, Alexander berjaya membuat pengepungan yang pertama dari bayang yang berikutnya, dan akhirnya memaksa musuhnya, Memnon dari Rhodes yang merupakan kapten askar upahan dan Orontobates, pelindung Parsi dari Caria, untuk berundur melalui laut. Alexander meninggalkan Caria dalam tangan Ada (perempuan) yang merupakan pemerintah Caria sebelum digulingkan oleh adiknya, Pixodarus. Dari Halicarnassus, Alexander menuju ke Lycia yang bergunung-ganang serta dataran Pamphylia, dan mengawal semua bandar di persisiran pantai. Oleh sebab tiada pelabuhan yang utama dari Pamphylia, Alexander menuju ke pedalaman.

1 comment :

Post a Comment

Islam di Laos

1 comment


Muslim Laos di Tengah Rezim Komunis
Posted by Hisyam Ad dien 10:20 PM             

               Laos adalah salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang berbatasan dengan Myanmar dan Cina di sebelah barat laut, Vietnam di timur, Kamboja di selatan, dan Thailand di sebelah barat. Dari Abad ke-14 hingga abad ke-18, negara ini disebut Lan Xang atau Negeri Seribu Gajah.

               Beribu kota Vientiane, Laos dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pemerintahan komunis yang masih tersisa di dunia.  Mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Buddha Theravada. Karena itu, tak mengherankan kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia TenggaraAgama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya, seperti Thailand dan Burma (Myanmar saat ini). Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw.  Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tinggal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
              Di sini, mereka memiliki sebuah masjid dengan ukuran yang sangat besar dan menjadi kebanggaan Muslim Laos. Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk azan. Ornamen lain adalah tulisan-tulisan dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan Inggris, yang terdapat dalam masjid.
Selain kelompok Muslim Chin Haw, ada lagi kelompok Muslim lainnya di Laos, yaitu komunitas Tamil yang berasal dari selatan India. Muslim Tamil dikenal dengan nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di Malaysia dan Phuket (Thailand). Mereka masuk ke Vientiane melalui Saigon. Mereka juga memiliki sebuah masjid yang bentuknya mirip dengan masjid di Tamil.  Para jamaah Muslim India Selatan inilah yang mendominasi masjid di Vientiane. Di ibukota Laos ini, hanya terdapat dua buah masjid, yakni Masjid Al-Azhar dan Masjid Al-Jamia. Masjid ini dibangun oleh kaum pendatang dari India. Masjid ini tak pernah sepi dari jamaah. Apalagi pada perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, masjid ini selalu dipenuhi oleh jamaah. Jamaah Muslim ini kebanyakan berasal dari India, Pakistan, dan Bangladesh.  Walaupun berada di lingkungn padat dan sebagian besar penduduknya pemeluk agama Buddha, aktivitas dan kegiatan keagamaan di masjid ini berjalan normal. Bahkan, sebagian warga Vientiane sangat akrab dengan komunitas Muslim di sini. Mereka semua mengetahui ada masjid di daerah Prabang Road ini. 
                Hubungan antar agama di Vientiane juga sangat baik. Bahkan, ketika adzan berkumandang, komunitas non-Muslim di Vientiane tak merasa terganggu.  Masjid ini juga banyak dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara. Jamaah tetap di masjid ini kebanyakan warga dari negara tetangga, juga para diplomat dari negara Muslim di Vientiane, termasuk dari Malaysia, Indonesia, dan Palestina. Bangunan masjid di Vientiane juga dilengkapi dengan bangunan madrasah untuk anak-anak Muslim belajar agama Islam.  Selain di Vientiane, ada lagi komunitas Muslim lainnya di Laos. Namun, jumlahnya sangat sedikit. Umumnya, mereka lebih memilih tinggal di kota kecil di luar Vientiane. Sebagian orang menyatakan ada sebuah masjid kecil di Sayaburi, di tepi barat Mekong, tidak jauh dari Nan. Sayaburi dulu pernah dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi orang asing.
             
Pengungsi Kamboja Laos merupakan salah satu negara yang kaya dengan keberagaman etnis. Saat ini, jumlah penduduk Laos mencapai 6,2 juta jiwa. Setengah dari populasi penduduk Laos berasal dari etnis Lao atau yang dikenal masyarakat lokalnya sebagai Lao Lum. Selain mendominasi dari segi jumlah penduduk, mereka juga mendominasi pemerintahan dan komunitas masyarakat di Laos. Mereka yang berasal dari etnis ini memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk kawasan timur laut Thailand. Mereka berasal dari dataran rendah Mekong yang hidup mendominasi di Vientiane dan Luang Prabang. Secara tradisional, mereka juga mendominasi pemerintahan dan masyarakat Laos.
 Keberagaman etnis ini juga tampak pada komunitas Muslim di sana. Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer Meraah.
                Mereka melarikan diri ke negara tetangga mereka, Laos, setelah pemimpin rezim, Pol Pot, menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Kamboja Cham Muslim dari tanah Kamboja. Sebagai pengungsi, kehidupan mereka terbilang miskin. Selain itu, mereka mengalami trauma akibat pengalaman hidup di bawah tekanan rezim Khmer sejak 1975.
Semua masjid di Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi.  Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi yang diharamkan oleh Islam.  Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang tinggal di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya.
Sementara itu, sisanya berhasil bertahan dengan cara menyembunyikan identitas etnis mereka dan juga keislamannya. Dari seluruh populasi Muslim Kamboja, diperkirakan tujuh puluh persennya tewas akibat kelaparan dan pembantaian.   Kini, di Laos, diperkirakan ada sekitar 200 orang Muslim asal Kamboja. Mereka memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid Azhar atau yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja.  Masjid ini berlokasi di sebuah sudut di distrik Chantaburi yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Vientiane. Sebagai sebuah tempat ibadah, bangunan Masjid Kamboja ini memang terlihat sederhana sekali. 
                 Meski berjumlah sangat sedikit dan tergolong miskin, mereka teguh memegang agama. Umumnya, mereka adalah penganut Mahzab Syafi’i yang berbeda dengan komunitas Muslim Asia Selatan di Vientiane yang menganut Mazhab Hanafi.
Mayoritas berbisnis Saat ini, sebagian besar Muslim di Vientiane bekerja sebagai pebisnis. Mereka berusaha di bidang tekstil, ekspor-impor, atau melayani komunitas mereka sendiri dengan menjadi penjual daging atau pemilik restoran halal. Beberapa restoran yang dikelola oleh Muslim asal India terletak di kawasan Taj off Man Tha Hurat Road dan dua atau tiga restoran halal lainnya berdiri di persimpangan Jalan Phonxay dan Nong Bon Roads. Selain melayani komunitas Muslim, mereka juga menyediakan jasa katering bagi petugas kedutaan yang beragama Islam. Sisanya, para pekerja Muslim lokal di Vientiane bekerja di bagian tesktil di berbagai pasar di kota ini, seperti di Talat Sao atau pasar pagi, di persimpangan jalan Lan Xang, dan Khu Vieng.  Kelompok ini merupakan orang-orang yang percaya diri, ramah, dan giat bekerja meski mereka berbicara bahasa Inggris tidak sebanyak mereka yang berasal dari Asia Selatan. Setiap pertanyaan dalam bahasa Inggris yang tidak dimengerti akan mereka jawab dengan kalimat bo hu atau "saya tidak mengerti" dalam bahasa Laos.
            Selain bekerja di industri tekstil, banyak Muslim Laos yang bekerja sebagai penjual daging. Ini mengingat kebutuhan makanan yang sangat spesifik dari komunitas Muslim, yaitu penyembelihan secara Islam. Untuk membedakan kios daging mereka dari kios daging lain yang menjual daging babi, para penjual yang beragama Islam memasang lambang bulan sabit atau tanda dalam bahasa Arab.  Tanda ini menunjukkan, selain pemiliknya Muslim, mereka hanya menyediakan daging halal. Maklum saja, sebagai minoritas, sangat sulit bagi mereka untuk menemukan makanan yang dijamin kehalalannya. Daging yang biasa dipasarkan adalah daging babi.

Sumber: www.globalmuslim.web.id
Muslim Laos, Minoritas yang tak Tertindas 
Rep: Fitria Andayani/ Red: Chairul Akhmad
lonelyplanet.com


Peta Laos.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada pertengahan dekade 60-an, populasi Muslim di Laos hampir semuanya berasal dari Asia Selatan. Jumlahnya ketika itu diperkirakan mencapai 7.000 orang.

Namun, peperangan yang pecah di Laos, membuat mereka hijrah ke negara lain.

Meski demikian, sejumlah Muslim Tamil tetap tinggal karena mereka miskin dan tidak punya uang untuk pindah ke tempat lain. Selanjutnya, pada 1980, Muslim asal Kamboja membanjiri Laos. Sebenarnya, Muslim Kamboja telah datang ke Laos pada 50 tahun sebelumnya.  Namun, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja. Mereka pun lari ke Vientiane dan kebanyakan hidup dari menjual obat-obatan herbal yang mereka datangkan dari Kamboja.
Pertumbuhan lambat
Sayangnya, populasi Muslim di negeri ini tidak tumbuh secara signifikan. Sejumlah kendala menghadang umat Islam di Laos.  Seperti dikatakan Imam Masjid Azhar, Vientiane, Muhammad Vina bin Ahmad Imam, di Laos tak ada satu pun buku berbahasa Laos yang mendiskusikan tentang Islam. “Tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk memproduksi literatur Islam,” ujarnya. Untuk memuaskan rasa ingin tahunya tentang Islam, Muslim Laos hanya memiliki sedikit alternatif, yakni buku bacaan Islam, termasuk Alquran, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Thailand, bukan Laos. Meski bahasa Thailand cukup mirip dengan Laos, namun keadaan ini ditakutkan dapat melunturkan ketertarikan orang Laos terhadap agama Islam. Di tengah tantangan semacam itu, cukup mengangetkan bila ada orang Laos yang mengetahui tentang Islam, bahkan memutuskan untuk meninggalkan agama lamanya lalu menjadi Muslim. Kebanyakan dari mereka menjadi mualaf karena menikah dengan Muslim. 

Chek Lie, Muslimah Terakhir di Savannakhet Laos ?

1 comment :

Post a Comment