Raja-Raja Yang Mepresentasikan Dzulqarnain3
Akhenaten
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Amenophis IV, Naphu rureya, Ikhnaton
Patung
Akhenaten di dekat seni Amarna
Pharaoh
Masa Pemerintahan
1353 SM –
1336 SM atau
1351– 1334 SM atau 1022-1006 SM (kronologi Baru) (Dinasti kedelapan belas Mesir)
1351– 1334 SM atau 1022-1006 SM (kronologi Baru) (Dinasti kedelapan belas Mesir)
Didahului
oleh
Amenhotep III
Digantikan
oleh
Smenkhkare? / Tutankhamun
Suami/istri
Nefertiti, Kiya, Maritaten?,
mungkin Ankhesenpaten, saudara perempuan yang tidak dikenal namanya.
Anak
Smenkhare? Meritaten,
Meketaten, Ankhesenpaaten, Neferneferuaten Tasherit,
Neferneferure, Setepenre,
Tutankhamun, Ankhesenpaten-ta-sherit?
Ayah
Amenhotep III
Ibu
Tiye
Wafat
1336 atau
1334 SM
Makam
Royal Tomb of Akhenaten KV55
Monumen
Akhetaten, Gempaaten, Hwt-Benben
Akhenaten dan keluarganya menyembah Aten
Akhenaten, juga dieja Echnaton, Akhenaton, Ikhnaton,
dan Khuenaten; artinya "roh Aten yang hidup") dikenal sebelum
tahun ke-5 pemerintahannya sebagai Amenhotep IV (kadang ditulis dengan
bentuk Yunani, Amenophis IV, dan berarti Amun dipuaskan), adalah
Firaun dinasti ke-18 Mesir, terutama dikenal karena mengubah sistem agama Mesir
menjadi monoteistis dengan menyembah dewa Aten. Ia adalah anak Amenhotep III
dengan istrinya Tiye dan bukan anak laki-laki tertua ayahnya. Ia mulanya tidak
direncanakan menjadi raja sampai kakak laki-lakinya Tuthmose meninggal. Amenhotep
IV menjadi raja setelah ayahnya Amenhotep III wafat setelah memerintah 38
tahun. Istri utama Akhenaten adalah Nefertiti, yang sekarang terkenal karena
patungnya di Altes Museum Berlin.
Permulaan pemerintahan
Amenhotep IV dimahkotai di Thebes dan disanalah ia
mulai membangun. Ia menghiasi gerbang selatan menuju daerah kuil Amun-Re dengan
gambar dirinya menyembah Re-Harakhti. Segera ia memerintahkan pembangunan kuil
untuk dewa Aten di Karnak Timur. Kuil ini disebut Gempaaten (“Aten yang
ditemukan dalam tanah milik Aten”). Gempaaten terdiri dari sejumlah bangunan,
termasuk istana dan bangunan bernama Hwt Benben yang dipersembahkan kepada ratu
Neferiti. Sejumlah kuil Aten yang dibangun di Karnak dalam periode ini termasuk
Rud-menu dan Teni-menu yang dibangun dekat Pylon ke-9. Selama
waktu ini ia tidak menekan penyembahan Amun, dan Imam Besar Amun masih aktif
pada tahun ke-4 pemerintahannya. The king appears as Amenhotep IV dalam
makam-makam sejumlah bangsawan di Thebes: Kheruef, Ramose dan makam Parennefer.
Perubahan Nama menjadi Akhenaten
Perubahan Nama menjadi Akhenaten
Pada hari ke-13, bulan ke-8, tahun
ke-5 pemerintahannya, raja tiba di lokasi kota baru, Akhetaten (sekarang
dikenal sebagai Amarna). Sebulan sebelumnya Amenhotep IV secara resmi mengganti
namanya menjadi Akhenaten. Amenhotep IV mengubah hampir semua gelar Firaunnya (5
fold Pharaoh titulery) pada tahun ke-5 itu. Nama yang tetap tidak diubah
hanyalah prenomen atau nama tahta.
Penemuan Kembali
Riwayat raja ini sama sekali hilang dari sejarah
sampai ditemukannya kembali kota Amarna pada abad ke-19. Kota Amarna, lokasi
Akhetaten, kota yang dibuat raja ini untuk dewa Aten, awalnya diekskavasi oleh
Flinder Petrie yang segera menumbuhkan ketertarikan dengan firaun yang aneh
ini, yang makamnya digali pada tahun 1907 oleh Edward R. Ayrton.
Akhenaten semakin terkenal karena penemuan di Valley of the kings, Luxor,
adanya makam raja Tutankhamun, yang terbukti adalah putra Akhenaten berdasarkan
tes DNA pada tahun 2010. Sebuah mummi yang ditemukan pada tahun 1907 telah
diidentifikasi sebagai Akhenaten. Orang ini dan Tutankhamun mempunyai hubungan
darah yang tidak diragukan, tetapi
identifikasi mummi KV55 sebagai Akhenaten masih dipertanyakan. Ketenaran modern
Akhenaten dan ratunya, Nefertiti, sebagian dari hubungannya dengan Tutankhamun,
sebagian dari caranya yang unik dan kualitas tinggi dari seni ukir serta gambar
yang dibuat pada zamannya, juga karena agama yang ia mulai.
Hubungan Internasional
Hubungan Internasional
Akhenaten dalam gaya khas periode Amarna.
Bukti penting pemerintahan dan kebijakan luar negeri
Akhenaten didapatkan dari penemuan kumpulan Surat Amarna, yaitu sejumlah besar
korespondensi diplomatik yang digali dari el-Amarna, kota modern dari
lokasi kuno Akhetaten. Korespondensi ini meliputi koleksi yang tak ternilai
dari tablet/lempengan tanah liat, yang dikirimkan kepada Akhetaten dari
berbagai pemimpin daerah di seluruh pos militer Mesir, dan dari pemimpin negara
asing (dikenali sebagai Raja-raja Agung atau "Great Kings") dari
Kerajaan Mitanni, Babylon, Asyur dan Hatti. Gubernur-gubernur dan raja-raja
jajahan Mesir juga sering menulis untuk meminta emas dari firaun, dan juga
mengeluh karena diacuhkan dan ditipu oleh raja.
Di awal pemerintahannya, Akhenaten berselisih dengan
raja Mitanni, Tushratta, yang mencoba membina hubungan dengan ayah
Akhenaten untuk melawan Hittit. Tushratta mengeluh dalam beberapa surat bahwa
Akhenaten mengiriminya patung berlapis emas, bukannya dari emas murni; di mana
patung-patung itu merupakan sebagian mas kawin yang diterima Tushratta untuk
memberikan putrinya Tadukhepa menjadi istri Amenhotep III dan kemudian
Akhenaten. Surat Amarna EA 27 mengawetkan keluhan Tushratta kepada Akhenaten
mengenai situasi ini.
Dari kumpulan surat-surat ini diketahui bahwa
Akhenaten memberi perhatian besar atas urusan bawahan-bawahannya di Kanaan dan
Siria. Akhenaten berhasil mempertahankan kekuasaan Mesir di Palestina dan
pantai Fenisia, sementara menghindari konflik dengan Kerajaan Hittit yang
semakin kuat di bawah pimpinan Suppiluliuma I. Satu-satunya provinsi perbatasan
Mesir yang Amurru di Siria melingkari sungai Orontes pindah ke tangan orang
Hittit ketika pemimpinnya, Aziru, membelot kepada Hittit. Berlawanan dengan
pandangan umum bahwa Akhenaten mengabaikan hubungan luar negeri, ia dikenal
memimpin paling sedikit satu penyerangan ke Nubia pada tahun ke-12 pemerintahannya
dan serangan ini disebut dalam Amada stela CG 41806 dan dalam sebuah stela
pendamping terpisah di Buhen.
Kematian, Pemakaman dan Pengantinya
Kematian, Pemakaman dan Pengantinya
Sarkofagus Akhenaten direkonstruksi dari pecahan-pecahan makam aslinya di
Amarna, sekarang di Egyptian Museum, Kairo.
Penampilan terkahir Akhenaten dan keluarga Amarna
adalah di makam Meryra II yang bertanggalkan bulan ke-2 tahun ke-12
pemerintahannya. Pada bulan Desember 2012, diumumkan bahwa inskripsi Tahun
16 III Akhet day 15 memuat penanggalan eksplisit pemerintahan Akhenaten
yang juga menyebutkan kehadiran ratu Nefertiti yang masih hidup, dan inksripsi
ini ditemukan dalam tambang batu kapur di Deir el-Bersha, sebelah utara Amarna.
Tulisan itu menyangkut proyek pembangunan di Amarna dan memberi bukti bahwa
Akhenaten dan Nefertiti masih hidup sebagai pasangan kerajaan setahun sebelum
matinya Akhenaten.
Fragmentari ushabti Akhenaten dari makam aslinya di Amarna, sekarang
di Brooklyn Museum.
Meskipun diterima bahwa Akhenaten mati pada tahun
ke-17 pemerintahannya, muncul pertanyaan apakah Smenkhkare menjadi raja muda
mungkin dua atau tiga tahun sebelumnya atau menjadi raja tunggal untuk beberapa
waktu dan ini belum jelas. Jika Smenkhkare menggantikan Akhenaten, dan menjadi
firaun tunggal, pemerintahannya tidaklah sampai setahun. Pengganti berikutnya
adalah Neferneferuaten, seorang firaun perempuan yang memerintah Mesir selama 2
tahun dan 1 bulan. Ia kemudian digantikan oleh Tutankhaten (kemudian berganti
nama menjadi Tutankhamun), sementara negara diatur oleh perdana menteri (Vizier)
utama yang kemudian menjadi firaun, Ay. Tutankhamun diyakini sebagai adik
laki-laki Smenkhkare dan putra Akhenaten, dengan Kiya meskipun ada pakar yang
menduga Tutankhamun mungkin saja putra Smenkhkare. Tes DNA pada tahun 2010
mengindikasikan bahwa Tutankhamun benar adalah putra Akhenaten. Diduga setelah
matinya Akhenaten, Nefertiti memerintah dengan nama Neferneferuaten. tetapi
pakar-pakar lain percaya pemimpin wanita ini adalah Meritaten. Sebuah stela
"Pemerintahan Bersama" (Co-Regency Stela), yang ditemukan
dalam sebuah makam di Amarna kemungkinan menunjukkan ratu Nefertiti sebagai
raja bersama, memerintah bersama Akhenaten, tetapi tidak pasti karena
nama-namanya dihapus dan diukir menjadi Ankhesenpaaten dan Neferneferuaten.
Dengan kematian Akhenaten, ibadah dewa Aten yang
didirikannya lambat laun kehilangan pengikut. Tutankhaten mengganti namanya
menjadi Tutankhamun pada tahun ke-2 pemerintahannya dan meninggalkan kota
Akhetaten, yang akhirnya menjadi puing-puing. Penggantinya, Ay dan kemudian
Horemheb, membongkar kuil yang dibangun Akhenaten, termasuk kuil di Thebes,
menggunakan bahannya untuk membangun kuil bagi mereka sendiri.
Akhirnya, Akhenaten, Neferneferuaten, Smenkhkare,
Tutankhamun, dan Ay dihapus dari daftar resmi firaun, sehingga hanya dilaporkan
bahwa Amenhotep III langsung digantikan oleh Horemheb. Ini dianggap upaya
Horemheb untuk menghapus jejak penyembahan Atenisme dan para firaun yang
berhubungan dari catatan sejarah. Nama Akhenaten tidak pernah muncul di daftar
raja-raja yang dibuat firaun-firaun sesudahnya dan baru di akhir abad ke-19
identitasnya ditemukan kembali dan catatan pemerintahannya disusun lagi oleh
para arkeolog.
Kronologi Baru
Kronologi Baru
David Rohl mendapatkan
argumen kuat mengenai tahun pemerintahan Akhenaten yang berbeda dengan
kronologi konvensional (yang diperkirakan berdasarkan penyamaan
"Sisak" dengan "Shoshenq I"). Argumen ini didasarkan pada
gerhana matahari yang terjadi pada sore hari menjelang matahari terbenam
(~pukul 18:09) pada tanggal 9 Mei 1012 SM, yang terlihat di kota kuno Ugarit.
Kejadian sangkat langka ini didapatkan tanggalnya dengan perhitungan terbalik
astronomi berdasarkan catatan pada Tablet KTU-1.78, dan berkaitan dengan
terbakarnya istana raja Nikmaddu II, penguasa Ugarit, yang disebut-sebut dalam
salah satu Surat Amarna(EA 151) yang dikirimkan oleh Abimilku, penguasa Tirus
kepada Akhenaten pada tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten, beberapa bulan
setelah ayahnya, Amenhotep III, mangkat. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
Akhenaten dinobatkan menjadi raja muda untuk memerintah bersama ayahnya pada
tahun 1022 SM. Amenhotep III mangkat pada tahun ke-11 pemerintahan bersama
dengan Akhenaten dan sejak tahun ke-12, Akhenaten memerintah sebagai penguasa
tunggal Mesir.
Berikut adalah tahun-tahun pemerintahan sejumlah raja
sebelum dan sesudah zaman Akhenaten:
- Ahmose
(25 tahun) - 1194-1170 SM
- Amenhotep
I (21 tahun) - 1170-1150 SM
- Thutmose
I (12 tahun) - 1150-1139 SM
- Thutmose
II (2 tahun) - 1139-1138 SM
- Thutmose
III (54 tahun) - 1138-1085 SM
- Hatshepsut
(15 tahun) - 1131-1116 SM (pemerintahan bersama Thutmose III)
- Amenhotep
II (27 tahun) - 1085-1059 SM
- Thutmose
IV (10 tahun) - 1059-1050 SM
- Amenhotep
III (37 tahun) - 1050-1012 SM (mangkat pada tahun ke-11 Akhenaten)
- Akhenaten (16
tahun) - 1022-1006 SM (memerintah bersama Amenhotep III selama 11 tahun)
- Neferneferuaten
- 1011-1007 SM (memerintah bersama Akhenaten selama 5 tahun)
- Smenkhkare
- 1006-1003 SM (memerintah bersama Akhenaten selama 1 tahun)
- Tutankhamun
- 1003-995 SM (memerintah sendiri selama 9 tahun)
- Ay -
995-990? (lama pemerintahan tidak diketahui pasti)
Ini membuat Akhenaten sezaman dengan Saul dan Daud di
Israel.
Referensi
1.
Akhenaten. dictionary.com. diarsipkan dari versi asli tanggal
14 October 2008. Diakses tanggal 2008-10-02.
2.
Akhenaten. Encyclopaedia Britannica.
3.
Beckerath (1997) p.190
4.
Clayton (2006), p.120
5.
Dominic Montserrat, Akhenaten: History, Fantasy and
Ancient Egypt, Psychology Press, 2003, pp 105, 111
6.
Akhenaten (king of Egypt) – Britannica Online
Encylopedia, Britannica.com.
Diakses tanggal 2012-08-25.
7.
Robert William Rogers, Cuneiform parallels to the Old
Testament, Eaton & Mains, 1912, p 252
8.
K.A Kitchen, On the reliability of the Old Testament,
Wm. B. Eerdmans Publishing, 2003. p 486 Google Books
9.
Joyce A. Tyldesley, Egypt: how a lost civilization was
rediscovered, University of California Press, 2005
10. Aldred,
Cyril, Akhenaten: King of Egypt ,Thames and Hudson, 1991 (paperback), ISBN
0-550-27621-8 p 259-268
11. Charles F.
Nims , The Transition from the Traditional to the New Style of Wall Relief
under Amenhotep IV, Journal of Near Eastern Studies, Vol. 32, No. 1/2 (Jan. -
Apr., 1973), pp. 181-187
12. Dodson,
Aidan, Amarna Sunset: Nefertiti, Tutankhamun, Ay, Horemheb, and the Egyptian
Counter-Reformation. The American University in Cairo Press. 2009, ISBN
978-977-416-304-3.
Islam di Miyanmar
Muslim di
desa Myanmar masih khawatir setelah serangan masjid.
Dari, BBC Indonesia
Image
copyright Reuters Image caption Warga Muslim berlindung di kantor polisi
setelah serangan pekan lalu.
Komunitas Muslim di satu desa di Myanmar merasa
khawatir setelah serangan terhadap masjid oleh penduduk setempat, menurut para
pejabat.
Puluhan polisi dikerahkan untuk menjaga desa di Burma
tengah itu menyusul ketegangan antar pemeluk agama setelah sekitar 200 pemeluk
Buddha menyerang satu masjid pekan lalu.
Image
copyright AFP Image caption Pengurus masjid menangis setelah menyaksikan tempat
ibadahnya hancur.
Serangan di desa Thuye Tha Mein yang terletak sekitar
64 kilometer dari Yangoon ini bermula dari cekcok akibat pembangunan sekolah
Islam di dalam masjid, menurut organisasi hak asasi Amnesty International.
Muslim di desa itu berlindung di kantor polisi
menyusul serangan tanggal 23 Juni lalu.
Amnesty juga menyerukan dilakukannya penyelidikan yang
menyeluruh terkait serangan yang menyebabkan satu orang luka-luka itu. Dalam
beberapa tahun terakhir, ketegangan agama meningkat di Myanmar dan sering
dipicu oleh pihak garis keras nasionalis Buddha dengan sasaran terutama Muslim.
Sejumlah komentar di Facebook BBC Burma terkait berita tentang serangan ini
antara lain dari Mohamad Faisal yang menulis, "Mengapa polisi baru menjaga
sekarang, Anda takut sama massa? Mengapa tidak dijaga sebelum serangan
terjadi?".
Image
copyright Facebook Image caption Banyak sentimen anti-Muslim dan juga kritikan
terhadap polisi di Facebook BBC Burma.
Komentar lain dari Chit Chit Mandalay yang mengatakan,
"Mengapa baru dijaga sekarang dan ini akan memancing kerusakan lagi,"
sementara Sun Power menulis, "Jangan kasar, hindari kekerasan dan kita
harus bersatu."
Rentan kekerasan
Namun banyak komentar anti-Islam dalam posting di BBC
Burma terkait berita serangan ini. Editor BBC Burma, Tin Htar Swe, mengatakan
masyarakat Burma sangat rasis dan ini akibat pemerintah militer sebelumnya yang
memainkan 'kartu nasionalis'.
Image
copyright AFP Image caption Amnesty Internasional mendesak pemerintah Burma
untuk melakukan penyelidikan menyeluruh.
"Pemerintah sebelumnya sengaja tidak mengambil
tindakan bila ada insiden dan akibatnya kekerasan komunal dan sektarian sangat
rentan... dan bisa terjadi dengan pemicu kecil apapun," kata Swe. Pemimpin
partai berkuasa Aung San Suu Kyi tambah Swe, saat ini menetapkan prioritas yang
lebih besar termasuk menjaga perdamaian dan konstitusi.
"Bila ia memulai membicarakan soal kekerasan,
akan timbul keributan (dalam pemerintahan)," tambahnya.
Suu Kyi, peraih Hadiah Nobel Perdamaian menghadapi
kritikan karena dianggap tidak mengambil sikap tegas terhadap Muslim, terutama
kelompok Rohingya yang banyak tinggal di negara bagian Rakhine. Suu Kyi sendiri
mengatakan meminta waktu di tengah upaya pemerintahan sipilnya untuk membangun
kepercayaan antar komunitas.
Win Shwe, sekretaris masjid, mengatakan kepada kantor
berita AFP, penduduk Muslim khawatir akan keselamatan mereka dan merencanakan
untuk pindah ke kota terdekat sampai ketegangan mereda.
"Situasi kami masih belum aman dan kami
merencanakan untuk pindah dari desa ini... kami masih takut," katanya
kepada AFP.
Raja-raja yang mencermikan Dzulqarnain Bag 2
Alexander Agung
Daripada Wikipedia, ensiklopedia
bebas
Alexander Agung
bertempur dengan Maharaja Parsi, Darius III (tiada dalam gambar). Gambar itu
merupakan sebahagian daripada lukisan Yunani Abad III, Mozek Alexander, yang
berasal dari Pompei tetapi kini telah hilang.
Alexander Agung atau Iskandar
Agung (Alexander III dari Kekaisaran Macedonia Greek, ditransliterasikan
sebagai Megas Alexandros;
Julai 323 SM ialah raja
Empayar Macedonia Greek (bahasa Greek), sebuah negara di daerah timur laut Greec
dan dianggap sebagai salah satu daripada pemerintah yang amat berjaya dalam
sejarah dunia. Beliau menakluk hampir seluruh dunia yang dikenali oleh orang
Yunani sebelum kematiannya.
Selepas
penyatuan kesemua negara kota Yunani di bawah pemerintahan ayahandanya, Philip
II dari Macedonia suatu tugas yang Iskandar terpaksa ulangi kerana orang Yunani
selatan memberontak selepas kematian Philip), Iskandar menakluk kaisar Parsi, termasuklah Anatolia,
Syria, Phoenecia, Gaza, Mesir, Bactria, serta Mesopotamia,
dan memperluaskan sempadan empayarnya sehingga kawasan Punjab.
Alexander menyerap orang-orang asing (bukan orang Macedonia dan Yunani) ke
dalam angkatan tentera dan pentadbirannya, dan oleh itu, menyebabkan sebilangan
cendekiawan memberikan penghargaan kepadanya untuk "polisi pergabungan". Beliau menggalakkan
perkahwinan antara askar-askarnya dengan orang-orang asing, serta turut
mengamalkan galakannya itu. Selepas dua belas tahun kempen tentera yang
berterusan, Alexander meninggal dunia, mungkin disebabkan oleh demam malaria atau tifoid,
atau juga virus ensafalistis. Penaklukannya
mengambil kira penempatan orang Yunani serta pemerintahan kawasan asing selama
berabad-abad lamanya dan tempoh itu dikenali sebagai Zaman Yunani. Alexander
terus dikenang dalam sejarah dan mitos kebudayaan Yunani serta bukan Yunani.
Semasa hidupnya dan khususnya, selepas kematiannya, kehandalan Alexander telah
menjadi ilham sebuah tradisi kesusasteraan yang mana beliau muncul sebagai wira
legenda dalam tradisi Achiles.
Gelaran yang
lain
Alexander juga
dikenali:
Dalam Arda Wiraz Namag, sebuah karya bahasa Parsi Zaman Pertengahan Zoroaster, sebagai "Alexander Keji" kerana penaklukan Empayar Parsi
serta pemusnahan ibu kota Persepoliks. Bagaimanapun, dalam tradisi Parsi
kemudian sehingga Iran pada hari ini, beliau telah dikenali sebagai Eskandar dan
juga disanjung sewaktu pembinaan Dinding Agung Sadd-e
Eskandar oleh Dinasti Parthia.
dalam
tradisi-tradisi Timur Tengah sebagai Dhul-Qarnayn
dalam bahasa Arab dan Dul-Qarnayim dalam
bahas Ibrani dan bahas Aramia (bertanduk dua),
kerana gambarnya pada duit-duit syiling yang ditempah semasa pemerintahannya
kelihatan seakan-akan dua tanduk biri-biri jantan Amun yang
merupakan salah satu daripada dewa Mesir.
sebagai Sikandar
dalam bahasa Hindi, istilah "Sikandar"
digunakan di India sebagai sinonim untuk "pakar"
atau "terlalu mahir".
Kehidupan Awal
Kehidupan Awal
Alexander Agung
ialah anak kepada Maharaja Philip II dari Raja Macedonia dan Puteri Olympias dari Epirus. Kononnya,
Menurut Plutarch (Alexander 3.1,3),
Olympias dibuntingkan oleh Zeus Ammon, dan
bukannya Philip yang takut akan Olympias dan
kegemaran Olympias untuk tidur dengan ular. (Namun ini tidak boleh diterima
seccara logik) Plutarch (Alexander 2.2-3) menceritakan bahawa kedua-dua
Philip dan Olympias bermimpi tentang anak yang akan dilahirkan. Olympias
bermimpi tentang dentuman guruh dan kilat yang memanah rahimnya. Dalam mimpi Philip, baginda mengecap
rahim isterinya dengan mohor singa. Berasa cemas oleh mimpi-mimpi itu, baginda
berunding dengan peramalnya, Aristander dari Telmessus,
yang menentukan bahawa isterinya hamil dan anaknya akan mempunyai sifat singa.
Menurut lima orang ahli sejarah kuno (Arrian, Curtias,
Diodorus, Justin dan Plutarch), selepas lawatannya ke tempat-tempat Amun di Siwa,
khabar-khabar tersebar bahawa ramalannya telah mendedahkan ayahanda Iskandar
sebagai Zeus, dan bukannya Philip. Menurut
Plutarch (Alexander 2.1), ayahandanya adalah dari keturunan Heracles melalui Caranus,
dan ibundanya dari keturunan Aeacus melalui Neoptolemus dan Achilles.
Aristotle ialah guru
peribadi Alexander. Beliau memberikan latihan yang teliti kepada Iskandar dalam
bidang retorik dan kesusasteraan serta
merangsangkan minatnya terhadap sains perubatan dan falsafah. Aristotle juga
memberikan beliau sebuah salinan Illiad dan sebilah pisau yang beliau sentiasa
sorokkan di bawah bantal pada waktu malam.
Kebangkitan
Macedonia
Ketika Philip
mengetuai serangan terhadap Byzantium pada 340 SM, Alexander yang berumur 16
tahun dilantik untuk memerintah Macedonia. Pada 339 SM, Philip mengambil isteri
kedua, dan menyebabkan ibunda Alexander, Olympias,
berasa sedih. Ini pula menyebabkan perkelahian antara Alexander dengan
ayahandanya, sehingga pewarisan takhta Alexander terhadap Macedonia
hampir-hampir terjejas.
Arca Alexander di Brithis Musium
Pada tahun 338
SM, Philip mencipta Liga Corinth. Alexander juga
membantu ayahandanya dalam Perang Chaeronea yang
berlaku pada tahun itu. Sayap pasukan askar berkuda yang diketuai oleh Iskandar
memusnahkan Kumpulan Suci dari Thebes, kor elit yang sebelum itu dianggap tidak
dapat dikalahkan. Philip berpuas hati dengan merampas Boeotia
daripada Thebes dan meninggalkan sekumpulan garison di dalam kubu kota.
Pada tahun 336
SM, Philip dibunuh sewaktu menyertai istiadat perkahwinan anak perempuannya, Cleopatra dari Macedonia, dengan Maharaja Alexander
dari Epirus. Pembunuhnya Pausanias yang
merupakan seorang bangsawan muda yang bersungut, dikatakan bekas kekasih Philip yang berdendam dengannya kerana baginda tidak
mengendahkan satu rungutan yang dikemukakan olehnya. Pada suatu masa,
pembunuhan Philip dianggap telah dirancang dengan pengetahuan dan penglibatan
Alexander atau Olympias. Lagi satu kemungkinan
adalah Darius III yang merupakan Maharaja Parsi yang baru sahaja menaiki
takhta. Plutarch menyebut sepucuk surat berang
dari Alexander kepada Darius yang menyalahkan Darius dan wazir agungnya, Bagoas, terhadap pembunuhan ayahandanya. Surat itu
menyatakan bahawa Darius ialah orang yang bercakap besar dengan bandar-bandar
Yunani tentang bagaimana baginda dapat membunuh Philip.
Selepas
kematian Philip, angkatan tentera
mengisytiharkan Alexander yang berumur 20 tahun sebagai maharaja baru untuk
Empayar Macedonia. Bandar-bandar Yunani seperti Athens dan Thebes, yang telah
dipaksa berikrar untuk taat setia kepada Philip, melihat maharaja baru itu
sebagai peluang untuk menuntut balik kemerdekaan penuh mereka. Alexander
bertindak dengan pantas dan Thebes, yang paling aktif menentanginya, menyerah
sewaktu baginda muncul di depan pintu kotanya. Orang-orang Yunani yang
berhimpun di Segenting Corinth, dengan
kekecualian Sparta yang tunggal, memilihnya sebagai komander untuk menentangi
Parsi. Darjah kebesaran itu dahulunya telah
dikurniakan kepada ayahandanya.
Pada tahun yang
berikut, yaitu 335 SM, Alexander berasa lapang untuk bertempur dengan Thrace dan Illyria
supaya dapat memperoleh Danube sebagai sempadan
utara untuk kerajaan Macedonia. Sewaktu baginda berkempen dengan berjaya di
utara, orang Thebes dan Athens
memberontak sekali lagi. Alexander bertindak balas dengan segera, dan sewaktu
bandar-bandar yang lain teragak-agak tentang apa yang hendak dibuat
selanjutnya, Thebes memutuskan untuk menentang
dengan segala keupayaan mereka pada kali ini. Penentangan itu sia-sia; pada
akhirnya, bandar itu ditewas dengan banyak petumpahan darah. Orang-orang Thebes
menghadapi penderitaan yang amat teruk sewaktu bandar mereka dibakar dan
wilayah mereka dibahagikan kepada bandar-bandar Boeotia.
Tambahan pula, kesemua orang-orang bandar itu dijual sebagai hamba, kecuali
bagi pendeta-pendeta, ketua-ketua parti pro-Macedonia dan keturunan-keturunan Pindar yang merupakan rumah tunggal yang tidak
dikacau. Pengakhiran Thebes menakutkan Athens untuk menyerah, dan Athens sanggup menerima desakan Alexander untuk
membuang semua ketua parti anti-Macedonia, terutamanya Demosthenes.
Tempo Penalukan Kejatuhan Empayar Parsi
Tempo Penalukan Kejatuhan Empayar Parsi
Angkatan
tentera Alexander melintasi Hellespont dengan
kira-kira 35,000 orang askar yang terdiri khusus
daripada orang Macedonia dan orang Yunani, dan termasuk juga sebilangan orang Thrace, Paionia dan Illyria.
Selepas kemenangan awal menentang angkatan Parsi dalam Perang Granicus, Alexander menerima penyerahan kalah oleh ibu
kota daerah Parsi serta perbendaharaan Sardis
dan menuju ke arah pantai Ionia. Di Halicarnassus, Alexander berjaya membuat pengepungan
yang pertama dari bayang yang berikutnya, dan akhirnya memaksa musuhnya, Memnon
dari Rhodes yang merupakan kapten askar upahan dan
Orontobates, pelindung Parsi dari Caria, untuk berundur melalui laut. Alexander
meninggalkan Caria dalam tangan Ada (perempuan) yang merupakan pemerintah Caria
sebelum digulingkan oleh adiknya, Pixodarus.
Dari Halicarnassus, Alexander menuju ke Lycia yang bergunung-ganang serta dataran Pamphylia, dan mengawal semua bandar di persisiran
pantai. Oleh sebab tiada pelabuhan yang utama dari Pamphylia,
Alexander menuju ke pedalaman.
Islam di Laos
Muslim Laos di Tengah Rezim
Komunis
Posted by
Hisyam Ad dien 10:20 PM
Laos adalah salah satu negara di kawasan Asia
Tenggara yang berbatasan dengan Myanmar dan Cina di sebelah barat laut, Vietnam
di timur, Kamboja di selatan, dan Thailand di sebelah barat. Dari Abad ke-14
hingga abad ke-18, negara ini disebut Lan Xang atau Negeri Seribu Gajah.
Beribu kota Vientiane, Laos dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pemerintahan komunis yang masih tersisa di dunia. Mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Buddha Theravada. Karena itu, tak mengherankan kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia TenggaraAgama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya, seperti Thailand dan Burma (Myanmar saat ini). Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw. Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tinggal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
Beribu kota Vientiane, Laos dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pemerintahan komunis yang masih tersisa di dunia. Mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Buddha Theravada. Karena itu, tak mengherankan kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia TenggaraAgama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya, seperti Thailand dan Burma (Myanmar saat ini). Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw. Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tinggal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan.
Di sini, mereka memiliki sebuah
masjid dengan ukuran yang sangat besar dan menjadi kebanggaan Muslim Laos.
Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid
ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya
Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk azan. Ornamen lain
adalah tulisan-tulisan dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan
Inggris, yang terdapat dalam masjid.
Selain
kelompok Muslim Chin Haw, ada lagi kelompok Muslim lainnya di Laos, yaitu
komunitas Tamil yang berasal dari selatan India. Muslim Tamil dikenal dengan
nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di Malaysia dan Phuket (Thailand).
Mereka masuk ke Vientiane melalui Saigon. Mereka juga memiliki sebuah masjid
yang bentuknya mirip dengan masjid di Tamil.
Para jamaah Muslim India Selatan inilah yang mendominasi masjid di
Vientiane. Di ibukota Laos ini, hanya terdapat dua buah masjid, yakni Masjid
Al-Azhar dan Masjid Al-Jamia. Masjid ini dibangun oleh kaum pendatang dari
India. Masjid ini tak pernah sepi dari jamaah. Apalagi pada perayaan Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha, masjid ini selalu dipenuhi oleh jamaah. Jamaah Muslim
ini kebanyakan berasal dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Walaupun berada di lingkungn padat dan
sebagian besar penduduknya pemeluk agama Buddha, aktivitas dan kegiatan
keagamaan di masjid ini berjalan normal. Bahkan, sebagian warga Vientiane
sangat akrab dengan komunitas Muslim di sini. Mereka semua mengetahui ada
masjid di daerah Prabang Road ini.
Hubungan antar agama di
Vientiane juga sangat baik. Bahkan, ketika adzan berkumandang, komunitas
non-Muslim di Vientiane tak merasa terganggu.
Masjid ini juga banyak dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara.
Jamaah tetap di masjid ini kebanyakan warga dari negara tetangga, juga para
diplomat dari negara Muslim di Vientiane, termasuk dari Malaysia, Indonesia,
dan Palestina. Bangunan masjid di Vientiane juga dilengkapi dengan bangunan
madrasah untuk anak-anak Muslim belajar agama Islam. Selain di Vientiane, ada lagi komunitas
Muslim lainnya di Laos. Namun, jumlahnya sangat sedikit. Umumnya, mereka lebih
memilih tinggal di kota kecil di luar Vientiane. Sebagian orang menyatakan ada
sebuah masjid kecil di Sayaburi, di tepi barat Mekong, tidak jauh dari Nan.
Sayaburi dulu pernah dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi orang asing.
Pengungsi Kamboja Laos merupakan salah satu negara
yang kaya dengan keberagaman etnis. Saat ini, jumlah penduduk Laos mencapai 6,2
juta jiwa. Setengah dari populasi penduduk Laos berasal dari etnis Lao atau
yang dikenal masyarakat lokalnya sebagai Lao Lum. Selain mendominasi dari segi
jumlah penduduk, mereka juga mendominasi pemerintahan dan komunitas masyarakat
di Laos. Mereka yang berasal dari etnis ini memiliki hubungan kekerabatan
dengan penduduk kawasan timur laut Thailand. Mereka berasal dari dataran rendah
Mekong yang hidup mendominasi di Vientiane dan Luang Prabang. Secara
tradisional, mereka juga mendominasi pemerintahan dan masyarakat Laos.
Keberagaman etnis ini juga tampak pada komunitas Muslim di sana. Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer Meraah.
Keberagaman etnis ini juga tampak pada komunitas Muslim di sana. Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi dari rezim Khmer Meraah.
Mereka melarikan diri ke negara
tetangga mereka, Laos, setelah pemimpin rezim, Pol Pot, menyerukan gerakan
pembersihan massal etnis Kamboja Cham Muslim dari tanah Kamboja. Sebagai
pengungsi, kehidupan mereka terbilang miskin. Selain itu, mereka mengalami
trauma akibat pengalaman hidup di bawah tekanan rezim Khmer sejak 1975.
Semua masjid di Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi. Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi yang diharamkan oleh Islam. Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang tinggal di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya.
Semua masjid di Kamboja dihancurkan. Mereka juga dilarang beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi. Sejarah pahit mengiringi kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi yang diharamkan oleh Islam. Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang tinggal di Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya.
Sementara
itu, sisanya berhasil bertahan dengan cara menyembunyikan identitas etnis
mereka dan juga keislamannya. Dari seluruh populasi Muslim Kamboja,
diperkirakan tujuh puluh persennya tewas akibat kelaparan dan pembantaian. Kini, di Laos, diperkirakan ada sekitar 200
orang Muslim asal Kamboja. Mereka memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid
Azhar atau yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini berlokasi di sebuah sudut di
distrik Chantaburi yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Vientiane.
Sebagai sebuah tempat ibadah, bangunan Masjid Kamboja ini memang terlihat
sederhana sekali.
Meski berjumlah sangat sedikit
dan tergolong miskin, mereka teguh memegang agama. Umumnya, mereka adalah
penganut Mahzab Syafi’i yang berbeda dengan komunitas Muslim Asia Selatan di
Vientiane yang menganut Mazhab Hanafi.
Mayoritas
berbisnis Saat ini,
sebagian besar Muslim di Vientiane bekerja sebagai pebisnis. Mereka berusaha di
bidang tekstil, ekspor-impor, atau melayani komunitas mereka sendiri dengan
menjadi penjual daging atau pemilik restoran halal. Beberapa restoran yang
dikelola oleh Muslim asal India terletak di kawasan Taj off Man Tha Hurat Road
dan dua atau tiga restoran halal lainnya berdiri di persimpangan Jalan Phonxay
dan Nong Bon Roads. Selain melayani komunitas Muslim, mereka juga menyediakan
jasa katering bagi petugas kedutaan yang beragama Islam. Sisanya, para pekerja
Muslim lokal di Vientiane bekerja di bagian tesktil di berbagai pasar di kota
ini, seperti di Talat Sao atau pasar pagi, di persimpangan jalan Lan Xang, dan
Khu Vieng. Kelompok ini merupakan
orang-orang yang percaya diri, ramah, dan giat bekerja meski mereka berbicara
bahasa Inggris tidak sebanyak mereka yang berasal dari Asia Selatan. Setiap
pertanyaan dalam bahasa Inggris yang tidak dimengerti akan mereka jawab dengan
kalimat bo hu atau "saya tidak mengerti" dalam bahasa Laos.
Selain bekerja di industri tekstil,
banyak Muslim Laos yang bekerja sebagai penjual daging. Ini mengingat kebutuhan
makanan yang sangat spesifik dari komunitas Muslim, yaitu penyembelihan secara
Islam. Untuk membedakan kios daging mereka dari kios daging lain yang menjual
daging babi, para penjual yang beragama Islam memasang lambang bulan sabit atau
tanda dalam bahasa Arab. Tanda ini
menunjukkan, selain pemiliknya Muslim, mereka hanya menyediakan daging halal.
Maklum saja, sebagai minoritas, sangat sulit bagi mereka untuk menemukan
makanan yang dijamin kehalalannya. Daging yang biasa dipasarkan adalah daging
babi.
Sumber:
www.globalmuslim.web.id
Muslim Laos, Minoritas yang tak Tertindas
Rep: Fitria
Andayani/ Red: Chairul Akhmad
lonelyplanet.com
Peta Laos.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada pertengahan dekade 60-an,
populasi Muslim di Laos hampir semuanya berasal dari Asia Selatan. Jumlahnya
ketika itu diperkirakan mencapai 7.000 orang.
Namun, peperangan yang pecah di Laos, membuat mereka hijrah ke negara lain.
Meski demikian, sejumlah Muslim Tamil tetap tinggal karena mereka miskin dan tidak punya uang untuk pindah ke tempat lain. Selanjutnya, pada 1980, Muslim asal Kamboja membanjiri Laos. Sebenarnya, Muslim Kamboja telah datang ke Laos pada 50 tahun sebelumnya. Namun, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja. Mereka pun lari ke Vientiane dan kebanyakan hidup dari menjual obat-obatan herbal yang mereka datangkan dari Kamboja.
Namun, peperangan yang pecah di Laos, membuat mereka hijrah ke negara lain.
Meski demikian, sejumlah Muslim Tamil tetap tinggal karena mereka miskin dan tidak punya uang untuk pindah ke tempat lain. Selanjutnya, pada 1980, Muslim asal Kamboja membanjiri Laos. Sebenarnya, Muslim Kamboja telah datang ke Laos pada 50 tahun sebelumnya. Namun, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja. Mereka pun lari ke Vientiane dan kebanyakan hidup dari menjual obat-obatan herbal yang mereka datangkan dari Kamboja.
Pertumbuhan lambat
Sayangnya, populasi Muslim di negeri ini tidak tumbuh
secara signifikan. Sejumlah kendala menghadang umat Islam di Laos. Seperti dikatakan Imam Masjid Azhar,
Vientiane, Muhammad Vina bin Ahmad Imam, di Laos tak ada satu pun buku
berbahasa Laos yang mendiskusikan tentang Islam. “Tidak ada seorang pun yang
berinisiatif untuk memproduksi literatur Islam,” ujarnya. Untuk memuaskan rasa
ingin tahunya tentang Islam, Muslim Laos hanya memiliki sedikit alternatif,
yakni buku bacaan Islam, termasuk Alquran, yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Thailand, bukan Laos. Meski bahasa Thailand cukup mirip dengan Laos, namun keadaan
ini ditakutkan dapat melunturkan ketertarikan orang Laos terhadap agama Islam. Di
tengah tantangan semacam itu, cukup mengangetkan bila ada orang Laos yang
mengetahui tentang Islam, bahkan memutuskan untuk meninggalkan agama lamanya
lalu menjadi Muslim. Kebanyakan dari mereka menjadi mualaf karena menikah
dengan Muslim.
Chek Lie, Muslimah Terakhir di Savannakhet Laos ?
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment